Gaza EKOIN.CO – Harian The New York Times akhirnya mengguncang narasi media arus utama Barat setelah memuat opini yang secara eksplisit menyebut tindakan militer Israel di Jalur Gaza sebagai genosida. Artikel tersebut ditulis oleh Raz Segal, seorang pakar genosida sekaligus mantan tentara Israel, yang menyampaikan kesimpulan tegas mengenai agresi Israel terhadap rakyat Palestina.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Segal dalam opininya merujuk pada serangan terhadap kamp pengungsi Al-Mawasi pada September 2024, tempat lebih dari satu juta warga Palestina mengungsi sebelum wilayah itu dibom. Ia menulis, “Saya bisa mengenali satu orang ketika saya melihatnya. Israel sedang melakukan genosida terhadap rakyat Palestina.”
Opini ini menjadi sorotan karena untuk pertama kalinya The New York Times menggunakan istilah “genosida” dalam konteks Gaza, padahal sebelumnya mereka sangat berhati-hati dan menghindari istilah tersebut dalam laporan redaksionalnya. Langkah ini menandai pergeseran penting dalam pemberitaan salah satu media paling berpengaruh di dunia.
Sejak perang dimulai pada Oktober 2023, sebagian besar media Barat memilih istilah seperti “konflik”, “perang”, atau “serangan balasan” ketika meliput kehancuran di Gaza. Padahal, berbagai organisasi hak asasi manusia dan pejabat PBB telah berulang kali memperingatkan bahwa yang terjadi di sana dapat dikategorikan sebagai genosida.
Menurut data terbaru, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 58.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 139.000 orang. Infrastruktur kota dihancurkan, dan lebih dari 70% penduduk kehilangan tempat tinggal. Meskipun demikian, narasi genosida baru mulai terdengar dari media besar belakangan ini.
Memo internal The New York Times sebelumnya bahkan melarang penggunaan kata-kata seperti “genosida” atau “pembersihan etnis”. Instruksi ini menunjukkan tingkat kehati-hatian editorial yang tinggi terhadap isu Palestina dan Israel, serta tekanan politik yang mungkin mereka hadapi.
Raz Segal dikenal sebagai akademisi terkemuka dalam bidang studi genosida. Ia bukan hanya mengkritik dari sudut pandang keilmuan, tapi juga dari perspektif orang dalam, sebagai mantan prajurit yang pernah bertugas dalam struktur militer Israel. Pendapatnya memiliki bobot moral dan akademik yang tidak bisa diabaikan.
Segal menekankan bahwa genosida bukan hanya soal jumlah korban, tetapi juga niat untuk menghancurkan kelompok tertentu secara sistematis. Dalam kasus Gaza, menurutnya, niat tersebut terlihat jelas dari pola serangan dan pilihan target militer Israel.
Ia juga mengkritik sikap pasif komunitas internasional, termasuk pemerintah dan media besar di Barat, yang terlalu lama bungkam atau ragu untuk mengakui realitas di lapangan. Menurutnya, keberpihakan diam-diam ini justru memperparah penderitaan rakyat Palestina.
Dampak dari opini ini sangat besar, terutama karena diterbitkan oleh The New York Times, media yang selama ini menjadi acuan banyak jurnalis dan pembuat kebijakan di dunia Barat. Hal ini membuka ruang bagi diskusi lebih luas dan berani mengenai perlakuan Israel terhadap warga Gaza.
Pergeseran bahasa dalam media besar seperti ini bisa memengaruhi tekanan internasional terhadap Israel, termasuk kemungkinan penyelidikan dan pertanggungjawaban hukum berdasarkan Konvensi Genosida yang disahkan PBB tahun 1948.
Opini Raz Segal juga turut memicu perdebatan di media sosial, baik dari kalangan aktivis HAM, pengamat Timur Tengah, maupun publik biasa yang selama ini mengikuti perkembangan konflik Gaza. Banyak yang menyambut tulisan tersebut sebagai langkah penting menuju keadilan.
Sementara itu, pemerintah Israel belum memberikan respons resmi terhadap opini Segal atau pemuatan istilah “genosida” oleh The New York Times. Namun, sebelumnya mereka kerap membantah tuduhan semacam ini dan menyebut serangan mereka sebagai upaya membela diri.
Organisasi internasional seperti Human Rights Watch dan Amnesty International sebelumnya telah merilis laporan yang menyatakan adanya kemungkinan pelanggaran hukum humaniter internasional oleh Israel dalam perang di Gaza. Kini laporan-laporan tersebut menemukan resonansi baru di media besar.
Penilaian ulang terhadap terminologi yang digunakan media penting, karena penggunaan istilah seperti “genosida” membawa konsekuensi moral dan hukum yang berat. Ia bukan hanya label, melainkan seruan terhadap kewajiban internasional untuk bertindak.
Perubahan sikap editorial ini bisa menjadi tekanan moral bagi media Barat lainnya untuk juga meninjau ulang kebijakan pemberitaan mereka, khususnya terkait konflik Israel-Palestina yang selama ini dinilai tidak berimbang oleh banyak pengamat.
Lebih jauh, ini juga bisa mendorong para jurnalis untuk lebih berani menggunakan terminologi yang sesuai dengan realitas dan tidak semata mengikuti garis kebijakan politik dari redaksi atau negara asal media tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, opini Segal di The New York Times mencerminkan meningkatnya kesadaran global mengenai urgensi menghentikan kekerasan dan penderitaan yang tak berkesudahan di Jalur Gaza. Tulisan ini menjadi pengingat bahwa media memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan kebenaran apa adanya.
dari tulisan tersebut bukan hanya tentang Gaza, tapi juga mengenai peran media dalam menyuarakan keadilan dan menghentikan kekejaman. Ketika kebenaran akhirnya diberi tempat, maka harapan akan tanggung jawab dan keadilan pun muncul kembali.
Perubahan istilah oleh media sebesar The New York Times menandai momen penting dalam sejarah konflik Gaza. Ia membuktikan bahwa tekanan publik dan suara akademisi bisa mengubah arah narasi meskipun perlahan. Inilah awal dari kemungkinan tanggung jawab global yang lebih serius terhadap tragedi kemanusiaan ini.
Kebungkaman media arus utama dalam konflik Gaza selama ini menghambat pemahaman publik internasional terhadap kenyataan yang terjadi. Penggunaan istilah yang lebih lembut membuat publik gagal melihat dimensi genosida yang terjadi secara sistematis. Kini, opini Segal membongkar tembok sunyi itu dan memaksa publik untuk menghadapinya secara lebih jujur.
Respons media terhadap opini ini perlu dipantau dengan saksama. Apakah media Barat lain akan mengikuti langkah serupa atau tetap bertahan pada sikap hati-hati? Jawabannya bisa memengaruhi bagaimana komunitas internasional bersikap terhadap Israel ke depan.
Publik internasional juga memiliki peran penting dalam mendorong media agar lebih bertanggung jawab. Tekanan publik, terutama dari pembaca dan aktivis, bisa menjadi pendorong bagi media untuk mengubah arah kebijakan redaksional mereka. Transparansi dan keberanian jurnalis dibutuhkan dalam kondisi seperti ini.
Ke depan, penting bagi komunitas akademik, jurnalis, dan lembaga HAM untuk terus bekerja sama dalam membongkar narasi yang menyembunyikan kebenaran. Upaya ini harus berkelanjutan agar tidak hanya menjadi sorotan sesaat yang segera tenggelam oleh isu-isu lain.
Media memiliki tanggung jawab moral dan historis dalam membentuk persepsi publik. Langkah The New York Times menunjukkan bahwa ada titik di mana etika jurnalistik mengalahkan tekanan politik. Dan mungkin, inilah yang akan membuka jalan menuju keadilan bagi rakyat Gaza. (*)