RABAT, MAROKO – EKOIN.CO – Pemerintah Kerajaan Maroko secara resmi melarang penyembelihan hewan kurban dalam perayaan Idul Adha tahun 2025, menyusul krisis ekonomi berkepanjangan dan kerusakan sektor pertanian akibat kekeringan selama tujuh tahun terakhir. Keputusan ini diumumkan secara nasional melalui surat dari Raja Mohammed VI pada Februari lalu dan menjadi langkah pertama sejenis sejak masa pemerintahan Raja Hassan.
Larangan tersebut berlaku secara menyeluruh di seluruh wilayah Maroko, termasuk di kota-kota besar seperti Rabat, Casablanca, dan Marrakesh. Idul Adha tahun ini jatuh pada 7 Juni 2025 dan biasanya menjadi puncak kegiatan keagamaan tahunan bagi masyarakat Muslim, termasuk dengan menyembelih domba sebagai bagian dari ritual ibadah.
Dalam surat kerajaan yang dibacakan oleh menteri urusan Islam, disebutkan bahwa keputusan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari beban ekonomi yang berat. “Melakukannya dalam situasi sulit seperti ini akan menyebabkan kerugian nyata bagi banyak rakyat kita, terutama mereka yang berpenghasilan terbatas,” demikian bunyi surat tersebut.
Krisis Domba dan Dampaknya pada Harga
Maroko mengalami penurunan populasi domba hingga 38 persen akibat kekeringan panjang yang menggerus pasokan pakan dan meningkatkan biaya pemeliharaan. Akibatnya, harga domba melonjak signifikan hingga mencapai sekitar US$ 600 per ekor pada tahun lalu.
Dengan nilai tersebut, harga domba melampaui kemampuan rata-rata warga. Sebagai perbandingan, upah minimum bulanan di Maroko pada tahun 2025 hanya sebesar 3.100 dirham atau sekitar US$ 335, menjadikan pembelian domba nyaris mustahil bagi banyak keluarga.
Pemerintah menyebut kondisi ini sebagai alasan utama pelarangan kurban secara nasional. Langkah ini dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap daya beli masyarakat miskin dan menengah yang selama ini kesulitan memenuhi kebutuhan pokok.
Peran Simbolik Raja sebagai Amir al-Muminin
Sebagai Amir al-Muminin atau Pemimpin Orang Beriman, Raja Mohammed VI memiliki otoritas spiritual dan politik untuk mengatur urusan keagamaan di Maroko. Dalam kapasitas tersebut, ia menyatakan bahwa kurban tahun ini akan dilakukan atas nama seluruh rakyat oleh pihak kerajaan.
Langkah ini sekaligus menunjukkan posisi raja sebagai pemersatu di tengah krisis yang sedang berlangsung, serta sebagai bentuk solidaritas kepada rakyatnya. Penekanan ini menjadi penting dalam budaya politik dan agama di Maroko.
Sebelumnya, keputusan serupa pernah diambil oleh Raja Hassan, ayah dari Mohammed VI, yang membatalkan penyembelihan kurban sebanyak tiga kali sepanjang pemerintahannya, salah satunya setelah konflik bersenjata dengan Aljazair tahun 1963.
Krisis Pertanian dan Solusi Pemerintah
Sektor pertanian Maroko juga tengah menghadapi tantangan serius. Menteri Pertanian Ahmed El Bouari dalam jumpa pers pada 22 Mei 2025 menyatakan bahwa pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar 700 juta dirham atau sekitar US$ 76,5 juta guna mendukung restrukturisasi sektor peternakan.
Dana tersebut akan digunakan untuk membatalkan utang lebih dari 50.000 peternak kecil dan membantu mereka memulihkan kondisi ekonomi serta memperbaiki rantai pasok hewan ternak di masa mendatang.
Langkah-langkah ini diambil bersamaan dengan penguatan sistem irigasi, pemberian bantuan teknis, dan distribusi pakan alternatif agar peternak dapat bertahan dalam kondisi cuaca yang ekstrem.
Ekonom: Pembatalan Kurban Bisa Jadi Solusi
Mohammed Jadri, seorang ekonom dan direktur Observatory of Government Action, menganggap bahwa pelarangan kurban tahun ini dapat memberikan manfaat jangka pendek. Ia mengatakan, “Kita tahu saat ini bahwa daya beli banyak warga negara telah menurun drastis. Oleh karena itu, membatalkan Idul Adha dapat menyelamatkan mereka dari pengeluaran sumber daya keuangan.”
Menurutnya, kebijakan ini juga menjadi momen evaluasi terhadap sistem ekonomi nasional yang selama ini masih bergantung pada sektor pertanian tradisional yang rentan terhadap perubahan iklim.
Jadri menyarankan agar ke depan pemerintah mempercepat program diversifikasi ekonomi, sehingga rakyat tidak terlalu tergantung pada sektor yang sangat dipengaruhi oleh cuaca.
Reaksi Warga dan Dampak Sosial
Sejumlah warga Maroko menyampaikan rasa kecewa namun dapat memahami kebijakan kerajaan tersebut. “Ini memang sulit karena Idul Adha adalah momen suci, tapi saya juga tidak sanggup membeli domba,” ujar Souad, warga Casablanca.
Warga lainnya, Ahmed dari Fes, menyampaikan harapannya agar tahun depan keadaan membaik dan kurban bisa dilakukan seperti biasa. “Semoga musim hujan datang dan harga kembali normal,” katanya.
Banyak keluarga akhirnya memilih untuk memperingati Idul Adha dengan doa dan makan bersama tanpa melakukan penyembelihan. Hal ini menjadi momen reflektif yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Pernyataan Resmi Pemerintah dan Lembaga Keagamaan
Kementerian Urusan Islam menegaskan bahwa tidak ada sanksi bagi warga yang tetap menyembelih secara pribadi, namun menyarankan untuk mengikuti arahan kerajaan demi solidaritas nasional.
Lembaga ulama tertinggi Maroko juga mendukung kebijakan ini, menyatakan bahwa agama Islam memberikan kelonggaran dalam situasi darurat. “Hukum kurban bisa tidak diwajibkan apabila keadaan ekonomi atau bencana alam terjadi,” ungkap salah satu perwakilannya dalam konferensi pers.
Dampak Internasional dan Solidaritas Regional
Kebijakan Maroko ini menjadi sorotan dunia Islam karena termasuk langka. Beberapa negara di Afrika Utara mulai berdiskusi mengenai keberlanjutan tradisi keagamaan di tengah krisis lingkungan.
Sejumlah organisasi kemanusiaan dari negara tetangga menawarkan bantuan logistik untuk meringankan dampak sosial larangan ini, termasuk paket sembako sebagai pengganti daging kurban.
Pemerintah Maroko sebaiknya tetap konsisten memberikan bantuan kepada peternak kecil dan memastikan bahwa dukungan itu benar-benar menjangkau lapisan paling bawah. Transparansi distribusi dana restrukturisasi perlu diawasi secara ketat agar tidak terjadi kebocoran atau salah sasaran.
Upaya peningkatan ketahanan pangan harus dilanjutkan dengan riset pertanian adaptif terhadap perubahan iklim. Institusi pendidikan tinggi di bidang pertanian juga bisa dilibatkan dalam proyek penelitian nasional.
Selain bantuan ekonomi, edukasi tentang fleksibilitas hukum Islam dalam berkurban dapat terus disosialisasikan, agar warga tidak merasa kehilangan makna spiritual dalam Idul Adha.
Masyarakat juga diharapkan tetap menjaga nilai berbagi dan gotong royong melalui cara-cara lain di luar penyembelihan hewan. Pemberian sembako, makanan siap saji, atau berbagi dalam bentuk lain tetap dapat menjaga semangat hari raya.
Sebagai negara mayoritas Muslim, Maroko bisa menjadi contoh bahwa pelaksanaan ibadah tetap bisa disesuaikan dengan konteks sosial ekonomi tanpa mengurangi nilai-nilai keagamaannya.
Larangan penyembelihan kurban di Maroko tahun 2025 merupakan langkah berani dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam dua dekade terakhir. Keputusan ini mencerminkan kepedulian pemimpin negara terhadap kondisi ekonomi rakyatnya.
Dengan langkah itu, negara ingin mencegah warga terjerat beban finansial tambahan di tengah keterbatasan ekonomi dan bencana kekeringan yang berkepanjangan. Meski pahit, kebijakan ini membawa pesan solidaritas nasional.
Implementasi bantuan untuk peternak dan restrukturisasi sektor agrikultur harus dilaksanakan secara berkelanjutan, bukan hanya menjadi solusi sementara menjelang hari raya.
Masyarakat internasional perlu mencermati langkah Maroko sebagai bahan refleksi tentang pelaksanaan ibadah yang relevan dengan situasi zaman. Tradisi tetap penting, namun perlindungan terhadap kesejahteraan rakyat adalah prioritas.
Di masa depan, Maroko dan negara-negara lain dapat mengembangkan pendekatan ibadah yang lebih adaptif, tanggap terhadap perubahan iklim, serta tidak melupakan dimensi sosial dari ajaran Islam.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v