Jakarta, EKOIN.CO – Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro mengatakan bahwa perbuatan penyiksaan dan penghukuman yang kejam adalah tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau sepengetahuan aparat penegak hukum, tidak sekedar tindakan “maladministrasi”, tapi benar-benar melanggar hukum dan hak asasi manusia.
“Mereka yang sedang berhadapan dengan hukum, baik sebagai tersangka, terdakwa, maupun yang sudah berstatus narapidana, tetap melekat pada mereka hak-hak fundamental untuk diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabatnya sebagai manusia,” kata Johanes dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (25/6).
Menurutnya, MenkoPolkam, Menko Kumham Imipas, Kapolri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Menteri Imipas, Menteri HAM, Menteri Hukum, dan semua pimpinan Kementerian atau Lembaga (K/L) harus menunjukkan langkah yang konkrit dan serius dalam upaya pencegahan penyiksaan dan perlakuan yang kejam dan merendahkan martabat manusia.
“Kapolri harus dapat memastikan jajarannya, khususnya penyidik, untuk meninggalkan cara-cara lama yang tidak relevan lagi, dan melanggar HAM dalam mengungkap suatu tindak kejahatan,” ujarnya.
“Mengejar “pengakuan” tersangka dengan tindak kekerasan atau penyiksaan adalah “peradaban masa lalu” yang justru merendahkan martabat institusi penegakan hukum,” sambungnya.
Sekaligus, kata dia, hal tersebut tidak memberikan hasil yang dapat diandalkan, dan dapat merusak upaya pengumpulan data atau pemeriksaan selanjutnya, serta dapat mendorong tersangka untuk mengatakan apa pun yang menurutnya ingin didengar oleh penyelidik. Ujung-ujungnya adalah ketidakadilan atau “peradilan yang sesat”.
“Maka diperlukan ketegasan Penuntut Umum (jaksa) dan Pengadilan (majelis hakim) untuk dapat menghukum pelaku penyiksaan dan perlakuan yang kejam, seberat-beratnya, lebih-lebih ketika dilakukan oleh APH (Aparat Penegak Hukum),” ucapnya.
“Proses hukum terhadap mereka harus transparan dan akuntabel. Sudah saatnya instansi penegak hukum “membersihkan” diri dari APH yang merusak citra institusi penegak hukum,” tambah dia.
Ia menjelaskan, dari aspek tata kelola aduan, semua institusi penegakan hukum yang merampas kebebasan seseorang karena persoalan hukum, wajib untuk membuka akses seluas-luasnya bagi mereka, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan aduan dan laporan ke lembaga atau instansi pengawas, baik internal maupun eksternal, termasuk ke Ombudsman RI.
“Divisi Propam harus berani tegas dalam menindak anggotanya yang melanggar, apalagi tindakan yang dapat dikategorikan penyiksaan atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Aduan tindak kekerasan aparat harus ditindaklanjuti secara profesional dan memenuhi rasa keadilan,” tegasnya.
Ombudsman RI menanti lahirnya “wajah baru” penegakan hukum yang adil, transparan, dan jauh dari tindakan-tindakan penyiksaan, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat manusia.
Cukuplah 27 tahun menanti, implementasi UNCAT secara konsisten.
Terakhir, Ombudsman RI mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan pembentukan NPM sekaligus meratifikasi Protokol Opsional CAT (Opcat), agar langkah-langkah pencegahan penyiksaan dapat makin jelas, kuat, dan berdampak. ()