Pangandaran, EKOIN.CO – Kasus penggunaan uang tabungan siswa oleh pensiunan guru bernama Cicih dari SD Negeri 1 Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, kembali mencuat setelah beberapa tahun mengendap.
Uang senilai Rp 343.900.000 diduga telah digunakan oleh yang bersangkutan untuk keperluan membuka usaha pribadi sebelum tahun 2017.
Menurut penjelasan dari Kepala Bidang SD Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pangandaran, Darso, peristiwa ini terjadi saat Cicih masih aktif menjadi guru. Ia diduga memakai uang tabungan siswa sebagai modal usaha yang sayangnya gagal membuahkan hasil.
“Saya memang tidak tahu secara detil, tapi menurut informasi sebelum tahun 2017 lalu, si guru itu ada usaha,” ujar Darso saat dihubungi pada Selasa, 24 Juni 2025, dikutip dari Tribun Jabar.
“Niatnya mungkin baik, ada usaha, dia pinjam uang tabungan untuk modal, tapi nyatanya usahanya itu tidak berhasil. Makanya, menjadi utang guru itu,” sambungnya.
Dana Tabungan Dipakai Modal Usaha
Darso menegaskan bahwa pemakaian uang tabungan siswa untuk keperluan pribadi tidak dapat dibenarkan dalam situasi apa pun. Bahkan, peminjaman dalam nominal kecil pun tidak diperbolehkan tanpa persetujuan orang tua murid.
“Itu hal yang tidak diperbolehkan, jangankan sampai sebesar itu. Itu tidak boleh,” tegas Darso. Ia mengungkap bahwa sebelumnya ada pula kepala sekolah yang mencoba meminjam uang tabungan murid untuk keperluan pernikahan seorang guru, namun ditolak langsung olehnya.
“Contoh, ada kepala sekolah mau pinjam uang karena ada guru yang mau nikahan, pinjam uang sebesar Rp 3 juta, saya bilang kalau mau pinjam silakan pinjam di luar,” jelasnya. Darso menekankan bahwa uang tabungan siswa adalah titipan dari orang tua dan tidak boleh digunakan sembarangan.
Menurutnya, jika benar-benar membutuhkan dana, seharusnya guru mencari pinjaman dari lembaga resmi seperti koperasi atau bank, bukan dari dana murid yang menjadi hak anak-anak dan wali murid.
“Kalau mau pinjam, silakan di luar, ke bank atau koperasi. Maka, alhamdulillah bisa tercegah,” ungkap Darso. Namun, karena kejadian ini terjadi di masa lalu, tepatnya sebelum 2017, pihak Disdikpora tidak memiliki kewenangan langsung untuk menindak lebih lanjut.
Orang Tua Murid Masih Menunggu
Sementara itu, para orang tua murid yang anak-anaknya menjadi korban dalam kasus ini masih bersabar menanti itikad baik dari Cicih. Salah satu orang tua murid, Eful (40), mengaku memiliki tabungan anaknya senilai sekitar Rp 29 juta yang belum dikembalikan hingga sekarang.
“Kita masih tetap menunggu. Kan, kemarin itu pihak sekolah diberi waktu selama seminggu untuk musyawarah antara kepala sekolah lama dan kepala sekolah baru,” kata Eful saat dihubungi via WhatsApp pada Sabtu, 21 Juni 2026.
Namun setelah satu minggu berlalu tanpa perkembangan yang signifikan, para orang tua murid mulai kehilangan kesabaran dan berencana mendatangi sekolah secara langsung.
“Jadi, kita akan datang langsung jika nanti tidak ada kabar,” tegasnya. Meski demikian, Eful mengaku belum tahu apakah orang tua akan membawa masalah ini ke jalur hukum.
“Saya mah gimana hasil kesepakatan orang tua. Karena, bagaimana pun kita selalu musyawarah dengan orang tua lain,” tambahnya.
Kepala SD Negeri 1 Mekarsari saat ini, Ade Haeruman, menjelaskan bahwa pihak sekolah sudah beberapa kali memanggil Cicih untuk membicarakan penyelesaian utang tersebut. Namun belum ada solusi konkret.
“Kalau untuk guru yang bersangkutan, itu sudah sering dipanggil. Jawabannya, sudah mau dijual asetnya tapi belum ada yang membeli,” ujar Ade.
Ia juga mengungkapkan bahwa nilai aset yang rencananya dijual oleh Cicih tidak mencukupi untuk menutup seluruh nilai utang. Upaya cicilan pun masih terbatas pada potongan gaji ke-13.
“Ya, masih kurang (asetnya). Paling nyicil dari gaji ke-13. Sisanya, dari pihak keluarga yang bersangkutan harus bertanggung jawab untuk membantu kekurangannya,” pungkasnya.
Di sisi lain, masyarakat menyoroti lemahnya sistem pengawasan keuangan sekolah, terutama terhadap dana tabungan siswa. Kasus ini menjadi peringatan bagi pihak sekolah agar lebih ketat dalam menjaga integritas keuangan dan transparansi.
Meskipun peristiwa ini sudah terjadi cukup lama, dampaknya masih sangat terasa bagi orang tua dan siswa yang merasa dirugikan secara langsung. Tidak hanya dari sisi materi, tetapi juga dari segi kepercayaan kepada institusi pendidikan.
Para orang tua berharap ada tanggung jawab moral dari Cicih dan keluarganya untuk segera menyelesaikan utang tersebut tanpa menunggu tekanan hukum yang lebih besar.
Dalam kasus ini, tidak hanya menyangkut satu atau dua siswa, namun puluhan anak yang kehilangan tabungan hasil jerih payah mereka selama bersekolah di SD Negeri 1 Mekarsari.
Masyarakat dan pihak terkait mendesak agar ada jalan tengah yang manusiawi namun tetap adil bagi kedua belah pihak, mengingat usia Cicih yang sudah pensiun dan kemungkinan keterbatasan ekonominya saat ini.
Kasus ini menyiratkan perlunya regulasi tertulis yang lebih kuat mengenai pengelolaan dana sekolah, agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh individu yang memiliki akses terhadap dana tersebut.
Pengawasan rutin dari Dinas Pendidikan serta keterlibatan aktif komite sekolah dapat menjadi langkah preventif dalam mencegah kasus serupa terjadi di masa mendatang.
Darso sendiri mengatakan bahwa langkah ke depan adalah memastikan tidak ada lagi celah bagi oknum guru atau kepala sekolah untuk mengakses uang tabungan siswa tanpa persetujuan kolektif wali murid.
Kasus ini seharusnya dijadikan pelajaran bersama bahwa niat baik pun bisa berujung petaka jika dilakukan dengan cara yang salah, terutama menyangkut uang dan kepercayaan publik.
Pihak sekolah dan orang tua di SD Negeri 1 Mekarsari kini tengah berupaya mencari titik temu yang adil, baik dari sisi kemanusiaan maupun hukum.
Namun sampai sekarang, belum ada kepastian apakah Cicih mampu menyelesaikan kewajibannya, mengingat keterbatasan harta dan usia pensiunnya.
Kondisi ini membuat banyak pihak terombang-ambing antara perasaan iba dan tuntutan atas hak anak-anak yang selama ini menabung dengan harapan untuk masa depan mereka.
Semakin lama kasus ini berlarut, semakin besar pula tekanan publik terhadap instansi pendidikan dan mantan guru yang bersangkutan.
Harapan masyarakat hanya satu: keadilan dan kepastian. Tidak perlu dipidana jika bisa diselesaikan dengan musyawarah, tetapi hak siswa tetap harus dipulihkan.
Tindakan penegakan hukum tetap menjadi pilihan terakhir apabila seluruh jalur mediasi dan kekeluargaan tidak membuahkan hasil yang adil dan tuntas.
Masalah ini pun menyentuh dimensi moral dan integritas seorang guru sebagai panutan, bukan hanya sekadar pelaku dalam kasus keuangan.
Dalam dunia pendidikan, tanggung jawab bukan hanya mengajar, tapi juga menjadi contoh dalam pengelolaan kepercayaan dan amanah publik.
Guru adalah pelita kehidupan, dan pelita itu tidak boleh redup karena kesalahan yang merugikan masa depan anak-anak didik.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya sistem keuangan sekolah yang transparan dan terawasi. Disdikpora di setiap daerah perlu memperkuat regulasi internal agar pengelolaan dana siswa tidak hanya bergantung pada kejujuran individu.
Sekolah harus membentuk tim audit internal atau bekerja sama dengan koperasi resmi untuk menyimpan dana tabungan siswa. Partisipasi komite sekolah dan wali murid juga harus diperkuat dalam pengambilan keputusan menyangkut dana kolektif. Pengawasan bukan sekadar kontrol, tetapi perlindungan terhadap hak-hak anak.
Uang tabungan siswa adalah amanah suci yang tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan apa pun. Meski mungkin niat awalnya baik, penyalahgunaan dana tersebut tetap merupakan pelanggaran.
Kasus di Pangandaran harus menjadi refleksi serius bagi dunia pendidikan agar menjaga marwah dan integritasnya. Penyelesaian secara kekeluargaan tetap diutamakan, namun tidak boleh mengabaikan hak-hak para siswa. Jika jalan damai tidak membuahkan hasil, jalur hukum adalah keniscayaan demi tegaknya keadilan.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v