Washington EKOIN.CO – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan reposisi dua kapal selam bertenaga nuklir milik negaranya menyusul pernyataan provokatif dari Dmitry Medvedev, mantan presiden Rusia. Langkah ini diumumkan pada Sabtu, 2 Agustus 2025, melalui akun media sosial Truth Social milik Trump. Dalam pernyataannya, Trump menegaskan bahwa langkah tersebut diambil sebagai respons atas ancaman implisit yang disampaikan Medvedev mengenai sistem nuklir otomatis Rusia yang dikenal sebagai ‘Dead Hand’.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Trump menulis, “Berdasarkan pernyataan yang sangat provokatif dari Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev…, saya telah memerintahkan dua Kapal Selam Nuklir untuk diposisikan di wilayah yang tepat, untuk berjaga-jaga jika pernyataan bodoh dan provokatif ini lebih dari sekadar itu.” Pernyataan itu dikutip dari laporan Deutsche Welle (DW).
Trump juga menambahkan bahwa, “Kata-kata sangat penting, dan seringkali dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan, saya harap ini tidak termasuk dalam contoh tersebut.” Pengumuman ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan global, termasuk eskalasi konflik antara Rusia dan Ukraina.
Medvedev peringatkan sistem nuklir otomatis Rusia
Sebelumnya, Dmitry Medvedev menyampaikan kritik keras terhadap ancaman Trump yang berniat memberikan sanksi kepada pembeli minyak Rusia, termasuk India. Menurut Medvedev, ancaman tersebut adalah bagian dari “permainan ultimatum” yang berisiko memicu perang antara Moskow dan Washington.
Dalam unggahan di Telegram pada Kamis, 1 Agustus 2025, Medvedev menyatakan, “Jika beberapa kata dari mantan presiden Rusia memicu reaksi gugup dari presiden Amerika Serikat yang mulia dan berkuasa, maka Rusia melakukan segalanya dengan benar dan akan terus melanjutkan jalannya sendiri.”
Ia juga memperingatkan Trump untuk tidak melupakan keberadaan sistem ‘Dead Hand’ milik Rusia, yang dirancang untuk meluncurkan serangan nuklir balasan secara otomatis jika kepemimpinan negara lumpuh akibat serangan.
Istilah ‘Dead Hand’ atau dalam bahasa Rusia disebut Mertvaya Ruka, merujuk pada sistem kendali senjata nuklir otomatis era Soviet. Sistem ini mampu menginisiasi peluncuran rudal balistik antar benua (ICBM) tanpa memerlukan komando manusia, sebagai langkah pertahanan terakhir.
Eskalasi konflik dan dampaknya di Ukraina
Langkah reposisi kapal selam AS terjadi ketika serangan udara Rusia terhadap Ukraina meningkat tajam. Pada Jumat, 1 Agustus 2025, ibu kota Ukraina, Kyiv, mengalami serangan gelombang rudal dan drone. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 31 orang dan melukai lebih dari 150 orang lainnya.
Sebagai bentuk belasungkawa, pemerintah Ukraina menetapkan hari berkabung nasional pada hari berikutnya. Media lokal melaporkan bahwa infrastruktur sipil menjadi target utama serangan, termasuk rumah sakit dan permukiman warga sipil.
Sementara itu, Trump dilaporkan memberikan ultimatum kepada Presiden Rusia Vladimir Putin untuk segera menghentikan serangan tersebut dan menyepakati gencatan senjata dalam beberapa hari mendatang, atau menghadapi sanksi ekonomi tambahan dari AS.
Ketegangan ini memperkeruh hubungan diplomatik antara kedua negara adidaya, yang sebelumnya sudah renggang sejak konflik Ukraina dimulai. Ancaman sanksi baru dari AS menjadi bagian dari tekanan internasional agar Rusia menghentikan invasinya.
Selain itu, tindakan Trump juga memicu reaksi beragam dari berbagai pemimpin dunia. Beberapa menyuarakan keprihatinan atas potensi eskalasi konflik berskala global, mengingat keterlibatan langsung senjata nuklir dalam retorika kedua pihak.
Komentar Trump tentang reposisi kapal selam nuklir ini menandai kembalinya strategi “deterrence” atau pencegahan dalam kebijakan pertahanan AS, di mana keberadaan senjata strategis digunakan sebagai bentuk ancaman diam terhadap lawan.
Kendati demikian, tidak disebutkan secara rinci lokasi pasti di mana kapal selam nuklir tersebut diposisikan. Pentagon sejauh ini belum memberikan tanggapan resmi terkait reposisi tersebut.
Medvedev yang kini menjabat sebagai wakil ketua Dewan Keamanan Rusia dikenal sebagai tokoh senior dengan pengaruh besar dalam lingkaran kekuasaan Kremlin. Ia menjadi salah satu tokoh kunci dalam strategi pertahanan Rusia pasca invasi Ukraina.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran atas potensi miskomunikasi militer di kawasan Eropa Timur dan Atlantik Utara. Beberapa analis memperingatkan risiko salah perhitungan dapat menyebabkan insiden serius antara kekuatan militer kedua negara.
Kementerian Pertahanan AS belum merilis informasi tambahan mengenai kapal selam yang dimaksud Trump, namun pengamat militer menduga kapal tersebut berasal dari kelas Ohio, yang mampu membawa rudal balistik nuklir Trident II.
Secara paralel, NATO juga memantau perkembangan ini dengan seksama, mengingat dampak strategisnya terhadap stabilitas keamanan di Eropa. Sekjen NATO menyatakan akan mengadakan pertemuan darurat jika situasi semakin memburuk.
Dalam pernyataan tambahan, Trump menyebut bahwa ia berharap tindakan ini cukup untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan “mengembalikan akal sehat” dalam diskusi diplomatik antara kedua negara.
Konflik verbal antara Trump dan Medvedev dalam media sosial semakin menunjukkan bagaimana diplomasi modern dapat beralih menjadi konfrontasi terbuka hanya melalui unggahan digital.
Sementara itu, komunitas internasional menyerukan dialog damai guna meredakan ketegangan dan mencegah meluasnya dampak terhadap negara lain yang terdampak konflik, terutama di kawasan Asia dan Timur Tengah.
dari situasi ini menunjukkan betapa cepat ketegangan dapat meningkat antara dua negara bersenjata nuklir. Respons cepat seperti reposisi kapal selam mencerminkan ketegangan yang tinggi, namun juga menunjukkan keinginan Trump mempertahankan posisi tegas.
bagi komunitas internasional adalah untuk mendorong deeskalasi melalui jalur diplomatik, mencegah penyalahgunaan sistem otomatis seperti ‘Dead Hand’ yang dapat mengancam seluruh dunia. Komunikasi terbuka antara AS dan Rusia perlu dipertahankan.
Peran media sosial dalam diplomasi perlu diperhatikan agar tidak menjadi pemicu konflik yang tidak diinginkan. Selain itu, peningkatan pengawasan dan peringatan dini terhadap pergerakan senjata strategis menjadi semakin penting.
Penguatan badan internasional seperti PBB dan IAEA sangat dibutuhkan untuk mencegah kemungkinan eskalasi nuklir akibat ketegangan politik. Negara-negara netral juga dapat berperan sebagai penengah dalam konflik ini.
Terakhir, keamanan global harus menjadi tanggung jawab bersama dengan menempatkan prinsip kemanusiaan dan keselamatan sipil di atas kepentingan politik jangka pendek yang berpotensi destruktif. (*)