Gaza EKOIN.CO – Juru bicara sayap militer Hamas menyatakan bahwa Israel menolak perjanjian gencatan senjata yang mencakup pembebasan seluruh tawanan yang masih ditahan di Gaza. Hal ini disampaikan dalam sebuah video pra-rekaman berdurasi hampir 20 menit oleh Abu Obeida, yang telah lama dikenal sebagai juru bicara Brigade Izzuddin Al-Qassam. Pernyataan tersebut dirilis pada Jumat, 19 Juli 2025.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam video itu, Abu Obeida menyebutkan bahwa Hamas telah menawarkan kesepakatan komprehensif selama beberapa bulan terakhir. Kesepakatan itu, menurutnya, memungkinkan pembebasan semua tawanan yang saat ini berada di Gaza. Namun, tawaran tersebut ditolak oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta para menteri sayap kanan di kabinetnya.
Menurut Abu Obeida, penolakan itu menunjukkan bahwa pemerintah Israel tidak benar-benar peduli terhadap nasib para tawanannya sendiri. Ia menuding bahwa sebagian besar dari mereka adalah tentara yang dikorbankan demi kepentingan politik internal Israel. “Sudah menjadi jelas bagi kita bahwa pemerintah kriminal Netanyahu tidak memiliki kepentingan nyata dalam tawanan karena mereka adalah tentara,” katanya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa Hamas mendukung sebuah kesepakatan yang tidak hanya membebaskan para tawanan, tetapi juga menjamin berakhirnya perang, penarikan pasukan Israel dari wilayah Gaza, serta masuknya bantuan kemanusiaan tanpa hambatan bagi rakyat Palestina yang tengah terkepung.
Hamas Ultimatum Israel soal Gencatan Senjata
Abu Obeida menambahkan bahwa jika Israel menarik diri dari putaran pembicaraan tidak langsung yang tengah berlangsung di Qatar, maka Hamas tidak akan menjamin akan kembali ke perundingan. Termasuk kesepakatan parsial yang saat ini dibahas yang mencakup kemungkinan pembebasan 10 tawanan dalam periode 60 hari.
Ia mengungkapkan bahwa Hamas saat ini masih menahan sekitar 50 orang di Gaza. Dari jumlah tersebut, sekitar 20 diyakini masih hidup. Namun, tidak ada jaminan kapan atau apakah mereka akan dibebaskan tanpa tercapainya kesepakatan yang mencakup seluruh tuntutan pihaknya.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pernyataan terbarunya menyebutkan bahwa akan ada 10 tawanan lainnya yang segera dibebaskan dari Gaza. Hal itu ia sampaikan saat jamuan makan malam bersama anggota parlemen di Gedung Putih pada hari yang sama.
“Kami mendapatkan sebagian besar sandera kembali. Kami akan memiliki 10 lainnya datang dalam waktu dekat, dan kami berharap itu selesai dengan cepat,” ujar Trump dalam kesempatan tersebut.
Namun, pernyataan Trump itu tidak diikuti dengan konfirmasi waktu yang pasti maupun rincian tentang mekanisme pembebasan para tawanan yang ia maksud. Pemerintah Israel pun belum memberikan tanggapan resmi terhadap klaim dari presiden AS tersebut.
Konflik Berlanjut di Tengah Kebuntuan Diplomatik
Hingga kini, belum ada kemajuan signifikan dalam upaya mediasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat. Berulang kali pernyataan tentang kedekatan kesepakatan diumumkan, namun tidak satu pun yang benar-benar terwujud.
Abu Obeida dalam pesannya yang dirilis Jumat juga mengingatkan bahwa pasukannya siap untuk menghadapi perang dalam jangka waktu yang lama. Ia menegaskan bahwa Hamas akan terus melakukan penyergapan terhadap pasukan Israel di Gaza dengan tujuan membunuh atau menangkap mereka.
Pesan tersebut menjadi pernyataan publik pertama Abu Obeida sejak awal Maret. Ia menyampaikan bahwa perlawanan bersenjata Hamas tidak akan berhenti selama tuntutan mereka belum dipenuhi secara penuh oleh Israel.
Pernyataan ini datang di tengah meningkatnya tekanan dari keluarga para tawanan terhadap pemerintah Israel, yang mendesak agar pemerintah bersedia mencapai kesepakatan apapun demi mengakhiri penderitaan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan.
Sementara itu, kelompok hak asasi manusia internasional terus menyerukan gencatan senjata segera dan pembukaan koridor kemanusiaan di Gaza. Mereka memperingatkan bahwa kondisi masyarakat sipil di wilayah tersebut semakin memburuk akibat blokade berkepanjangan.
Dalam waktu bersamaan, militer Israel tetap melanjutkan operasi darat dan udara di beberapa wilayah Gaza, meskipun negosiasi masih berlangsung di belakang layar. Belum ada sinyal bahwa operasi tersebut akan dihentikan dalam waktu dekat.
Laporan dari Al Jazeera dan beberapa media internasional lainnya juga mencatat bahwa serangan udara terbaru Israel pada akhir pekan lalu telah menimbulkan puluhan korban jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak. Situasi di lapangan disebut semakin memprihatinkan.
Ketidakpastian politik di Israel juga menjadi salah satu hambatan utama dalam tercapainya kesepakatan damai. Sejumlah analis mencatat bahwa perbedaan tajam di antara koalisi pemerintahan membuat langkah strategis seperti perjanjian gencatan senjata sulit untuk disepakati.
Di tengah kebuntuan tersebut, tekanan dari komunitas internasional diprediksi akan terus meningkat. Dewan Keamanan PBB dijadwalkan mengadakan sidang darurat pekan depan untuk membahas situasi Gaza dan masa depan negosiasi antara Israel dan Hamas.
dari dinamika terbaru ini menunjukkan bahwa prospek perdamaian antara kedua belah pihak masih jauh dari kenyataan. Hamas telah menyatakan sikapnya secara terbuka, namun Israel tampaknya belum memberikan sinyal perubahan posisi.
Sementara harapan masyarakat internasional tetap tinggi terhadap diplomasi, kenyataan di lapangan menunjukkan eskalasi kekerasan masih terus terjadi. Situasi ini membuat warga sipil di kedua belah pihak tetap berada dalam bahaya yang nyata.
Peluang untuk terwujudnya kesepakatan besar akan sangat tergantung pada kemauan politik dari masing-masing pihak, serta tekanan yang diberikan oleh mediator internasional yang terlibat dalam proses negosiasi.
Ketegangan ini tidak hanya berdampak pada wilayah Gaza dan Israel, tetapi juga memicu ketidakstabilan di kawasan yang lebih luas, termasuk di wilayah perbatasan Lebanon dan Suriah.
Dalam kondisi seperti ini, komunitas internasional perlu mengambil langkah lebih tegas untuk mendorong pihak-pihak terkait menuju meja perundingan dengan niat yang sungguh-sungguh.
Langkah prioritas yang dapat ditempuh adalah dengan memperkuat tekanan diplomatik terhadap Israel agar lebih terbuka terhadap solusi menyeluruh. Selain itu, dukungan terhadap upaya mediasi Qatar dan Mesir perlu diperluas dengan partisipasi PBB secara aktif.
Penting juga untuk terus menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Gaza yang menderita akibat blokade dan konflik bersenjata berkepanjangan. Distribusi bantuan harus dipastikan tepat sasaran tanpa keterlibatan pihak militer.
Saran utama bagi semua pihak adalah memprioritaskan keselamatan warga sipil dan menjadikan perlindungan hak asasi manusia sebagai landasan utama dalam setiap kesepakatan yang mungkin akan dicapai.
Kesepakatan damai hanya dapat terwujud jika kedua pihak menunjukkan komitmen terhadap solusi jangka panjang yang adil dan berkelanjutan, bukan semata demi keuntungan politik sementara. (*)