Tel Aviv EKOIN.CO – Mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, menyerukan pengunduran diri Benjamin Netanyahu atas kebijakan militernya di Gaza yang dinilainya tidak manusiawi dan tidak strategis. Pernyataan itu disampaikan Olmert pada akhir Mei 2025, di tengah eskalasi perang yang menelan ribuan korban sipil.
Olmert menyebut serangan militer Israel di Gaza sebagai bentuk “perang penghancuran” yang bukan hanya gagal mencapai tujuannya, tapi juga memperburuk reputasi Israel di mata internasional. Ia mengkritik pendekatan Netanyahu yang menurutnya mengabaikan dimensi diplomasi dan kemanusiaan.
Menurutnya, Netanyahu telah mengubah struktur pemerintahan menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan pribadi, bukan sebagai mekanisme solusi jangka panjang. Olmert juga mengatakan Israel telah kehilangan arah dalam operasi militer saat ini.
Pernyataan keras itu dilansir oleh The Guardian dan Times of India pada 27 Mei 2025, menyusul meningkatnya tekanan dari komunitas internasional terhadap aksi militer Israel di Gaza. Olmert menilai kepemimpinan Netanyahu sebagai sumber utama dari berbagai kebijakan destruktif.
“Sudah cukup,” ujar Olmert. Ia menyerukan pembentukan pemerintahan baru yang lebih moderat, mampu membuka ruang dialog, serta berani mengakui kegagalan operasi militer terhadap Hamas.
Pernyataan Olmert menggambarkan kegelisahan yang kini juga mencuat di kalangan elite Israel. Ia bukan satu-satunya mantan pemimpin yang menyatakan kekhawatiran atas arah kepemimpinan Netanyahu.
Naftali Bennett, mantan perdana menteri lain, turut mendesak agar Netanyahu segera mundur. Ia mengatakan masa jabatan Netanyahu yang terlalu lama telah memperdalam polarisasi politik dan sosial di Israel.
“Negara ini butuh pembaruan,” ucap Bennett seperti dikutip dari media lokal Israel. Ia menyebut krisis Gaza dan tekanan dari dalam negeri sebagai bukti bahwa sistem politik butuh penyegaran menyeluruh.
Para pengamat politik menyatakan bahwa seruan dari Olmert dan Bennett merupakan indikasi serius adanya ketidakpuasan struktural terhadap pemerintahan saat ini. Mereka memperingatkan bahwa kegagalan kebijakan Netanyahu dapat memperbesar kerusakan jangka panjang di kawasan.
Sementara itu, sebagian warga Israel yang terdampak perang terus menuntut tanggung jawab atas meningkatnya korban jiwa dan kehancuran sipil.
Kritik tajam terhadap strategi militer
Olmert secara eksplisit menyebut bahwa strategi militer saat ini tidak hanya tidak efektif, tapi juga “tidak bermoral.” Ia menekankan pentingnya kembali pada pendekatan politik yang mengutamakan penyelesaian damai.
Menurut Olmert, Israel tidak bisa terus menerus melakukan pembalasan tanpa strategi keluar yang jelas. Ia menuding Netanyahu sebagai pemimpin yang menjalankan pemerintahan dalam isolasi.
“Dunia melihat dan menilai. Kita akan menghadapi konsekuensi jangka panjang,” tambah Olmert dalam wawancaranya dengan The New Yorker.
Di sisi lain, pemerintahan Netanyahu belum menunjukkan tanda-tanda akan mengubah pendekatannya. Bahkan, pejabat senior militer masih mendukung eskalasi serangan terhadap Gaza.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran baru, terutama dari kelompok HAM dan negara-negara Barat yang sebelumnya menjadi sekutu erat Israel.
Beberapa negara Eropa telah menyuarakan kritik terhadap operasi militer Israel, terutama setelah laporan korban sipil terus meningkat. Seruan agar Netanyahu mundur pun makin meluas.
Olmert mengajak Amerika Serikat dan sekutunya untuk tidak memberi cek kosong kepada Israel dalam menjalankan operasi militernya. Ia berharap tekanan dari luar bisa membuka jalan bagi transisi politik internal.
Sementara itu, komunitas internasional mendorong dimulainya gencatan senjata dan pembukaan koridor kemanusiaan. Namun, kebijakan pemerintah Israel masih menunjukkan resistensi.
Olmert mengatakan satu-satunya solusi adalah pembentukan pemerintahan baru tanpa Netanyahu. Menurutnya, Israel butuh kepemimpinan yang mampu membaca arah sejarah dan bukan mengulang kesalahan masa lalu.
Ia menekankan bahwa pengunduran diri Netanyahu bukan sekadar tuntutan politik, tapi kebutuhan moral dan strategis.
Pemerintah Netanyahu belum menanggapi secara langsung pernyataan Olmert. Namun, juru bicara militer menyebut bahwa semua operasi dijalankan demi keamanan nasional.
Beberapa tokoh politik dari partai koalisi menyebut kritik Olmert sebagai “tidak berdasar dan melemahkan negara di saat perang.” Mereka meminta masyarakat tetap percaya pada pemerintah.
Meski begitu, kritik dari tokoh senior seperti Olmert memberi tekanan moral yang besar bagi pemerintahan. Seruan ini mendapat sambutan dari beberapa tokoh muda dalam parlemen Israel.
Di sisi lain, jajaran oposisi mulai menyusun wacana pembentukan pemerintahan darurat nasional tanpa Netanyahu. Langkah ini masih dalam tahap pembicaraan awal.
Sementara itu, perdebatan internal di kabinet Netanyahu semakin intens, terutama mengenai durasi dan arah operasi militer di Gaza.
Reputasi internasional Israel dipertaruhkan
Dalam wawancaranya, Olmert mengingatkan bahwa setiap hari yang berlalu tanpa penyelesaian damai akan memperburuk posisi Israel secara diplomatik.
Beberapa lembaga internasional mulai menyelidiki potensi pelanggaran HAM dalam operasi di Gaza. Laporan awal menyebut adanya pemboman terhadap fasilitas sipil.
Netanyahu, menurut Olmert, telah kehilangan kepercayaan publik dan internasional. Oleh karena itu, transisi pemerintahan diperlukan secepatnya.
Seruan ini menjadi momentum refleksi bagi masyarakat dan elite politik Israel yang semakin terbelah. Keputusan politik dalam beberapa pekan ke depan akan menentukan arah masa depan negara tersebut.
Konflik Gaza terus berlangsung, sementara tekanan moral dan politik terhadap Netanyahu semakin kuat.
Situasi ini mencerminkan krisis kepercayaan yang mendalam terhadap pemerintahan saat ini. Ketika suara-suara kritis datang dari mantan perdana menteri sendiri, jelas bahwa masalah bukan lagi sekadar perbedaan strategi, tetapi menyangkut arah moral dan keberlanjutan negara.
Masyarakat internasional juga perlu lebih aktif dalam mendorong resolusi damai, bukan sekadar menekan pihak tertentu tanpa solusi jangka panjang. Dukungan terhadap warga sipil, baik di Israel maupun Gaza, harus menjadi prioritas.
Seruan pengunduran diri Netanyahu sebaiknya dijadikan kesempatan untuk membuka ruang dialog politik yang lebih sehat. Langkah itu bisa memulihkan kepercayaan publik dan membuka jalan menuju stabilitas.
Israel membutuhkan pemimpin yang mampu merangkul keberagaman pandangan dan menyeimbangkan kepentingan keamanan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pengulangan pendekatan kekerasan terbukti tidak menyelesaikan konflik.
Penting bagi masyarakat sipil, akademisi, dan media untuk terus mengawasi dan menyuarakan prinsip keadilan serta kemanusiaan dalam menyikapi konflik berkepanjangan ini. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v