Teheran, EKOIN.CO — Pemerintah Iran secara resmi menghentikan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mulai Rabu, 25 Juni 2025, setelah 12 hari konflik bersenjata dengan Israel. Langkah ini disahkan melalui rancangan undang-undang yang disetujui oleh mayoritas anggota parlemen Iran, sebagai reaksi atas serangan terhadap fasilitas nuklir mereka.
Sebanyak 221 dari 290 anggota parlemen Iran menyetujui RUU tersebut, dengan satu abstain dan sisanya tidak hadir dalam pemungutan suara. Undang-undang ini akan membatasi inspeksi dan pengawasan oleh IAEA di semua fasilitas nuklir Iran.
Langkah itu diambil menyusul serangkaian serangan udara Israel yang menurut pemerintah Iran merusak beberapa infrastruktur penting di situs nuklir Natanz dan Fordow.
RUU itu menginstruksikan penghentian pemasangan kamera pengawas, pembatasan kunjungan langsung oleh pengawas IAEA, serta penghentian laporan berkala yang selama ini dikirim ke lembaga internasional tersebut.
Juru bicara Komite Keamanan Nasional Parlemen Iran mengatakan, “Langkah ini bersifat sementara hingga keamanan total dapat dijamin untuk semua fasilitas nuklir Iran.”
Mohammad Baqer Qalibaf, Ketua Parlemen Iran, mengatakan IAEA telah kehilangan kredibilitas internasional karena tidak mengambil sikap terhadap serangan yang dilakukan Israel terhadap infrastruktur sipil dan ilmiah Iran.
“Iran tidak bisa bekerja sama dengan lembaga yang membiarkan fasilitas ilmiah kami diserang tanpa kecaman,” kata Qalibaf dalam sidang parlemen, seperti dikutip dari kantor berita Nournews.
Langkah Iran ini dikhawatirkan akan semakin memperburuk ketegangan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa.
IAEA sendiri menyatakan keprihatinannya atas kebijakan baru Iran dan mendesak negara tersebut untuk tetap membuka akses terhadap fasilitas nuklir guna memastikan kegiatan yang dilakukan bersifat damai.
Rafael Grossi, Direktur Jenderal IAEA, meminta Iran agar mengizinkan pemasangan kembali perangkat pengawasan dan inspeksi penuh sesegera mungkin demi transparansi global.
“Kami harus bisa memastikan bahwa program nuklir Iran tidak digunakan untuk tujuan militer,” ujar Grossi dalam konferensi pers di Wina, Austria.
Selama 12 hari konflik yang berlangsung antara awal hingga pertengahan Juni 2025, Israel melakukan lebih dari 100 serangan udara terhadap target yang diklaim sebagai bagian dari sistem militer dan program nuklir Iran.
Iran membalas dengan menembakkan rudal balistik dan drone ke beberapa wilayah Israel, termasuk Tel Aviv dan Haifa, serta pangkalan AS di Irak dan Suriah.
Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyebut perlawanan negaranya sebagai “kemenangan besar atas kekuatan kolonial dan zionis”, meskipun banyak korban jatuh dari pihak sipil dan militer Iran.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan serangan yang dilakukan berhasil “melumpuhkan kemampuan militer dan nuklir Iran secara signifikan.”
Namun laporan intelijen dari Washington dan Tel Aviv menunjukkan bahwa kerusakan terhadap program nuklir Iran hanya bersifat sementara. Beberapa fasilitas bawah tanah tetap utuh dan hanya rusak sebagian.
Fasilitas pengayaan uranium Natanz mengalami kerusakan pada sistem listrik dan ventilasi, sementara Fordow, yang berada di kedalaman gunung, hampir tidak terpengaruh oleh serangan.
Selain kerusakan fisik, serangan Israel juga menewaskan sedikitnya 14 ilmuwan nuklir Iran, termasuk dua tokoh senior yang terlibat dalam pengembangan sentrifugal generasi terbaru.
Iran menyatakan telah mempercepat proses pemulihan dan akan membangun kembali fasilitas yang rusak dengan teknologi lebih canggih.
Pemerintah Iran juga memperingatkan bahwa mereka akan mempercepat pengayaan uranium jika tekanan internasional tidak segera dihentikan.
Dalam konferensi pers di Teheran, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, menyatakan bahwa negaranya tetap berkomitmen pada Non-Proliferation Treaty (NPT), tetapi akan “menyesuaikan implementasinya” sesuai kebutuhan nasional.
Langkah penghentian kerja sama dengan IAEA memicu kekhawatiran di berbagai negara, termasuk Jerman dan Prancis, yang menyerukan agar Iran tetap membuka jalur diplomatik.
Amerika Serikat melalui Departemen Luar Negeri menyebut tindakan Iran sebagai “langkah mundur yang berbahaya dan dapat mempercepat isolasi internasional.”
Konflik yang berlangsung selama hampir dua minggu itu menewaskan lebih dari 600 warga Iran dan 28 warga Israel. Ribuan lainnya mengalami luka-luka dan kerusakan infrastruktur di kedua negara cukup parah.
Israel kini menghadapi krisis logistik akibat penggunaan besar-besaran amunisi selama operasi militer. Beberapa laporan menyebut cadangan senjata tertentu mencapai titik kritis.
Situasi ini menyebabkan permintaan darurat kepada AS untuk bantuan militer tambahan. Namun bantuan tersebut belum disetujui secara resmi oleh Kongres AS.
Kondisi di wilayah perbatasan Lebanon dan Suriah juga masih tegang akibat pergerakan milisi pro-Iran yang mendekati posisi Israel.
Di dalam negeri, protes terhadap kebijakan luar negeri pemerintah Iran muncul di beberapa kota besar, meski ditekan oleh aparat keamanan.
Sementara itu, opini publik di Israel terbelah antara mereka yang mendukung kebijakan keras Netanyahu dan mereka yang khawatir akan dampak jangka panjangnya.
Konflik ini menjadi salah satu eskalasi terbesar antara Iran dan Israel dalam satu dekade terakhir dan menunjukkan betapa rapuhnya stabilitas kawasan Timur Tengah.
Para analis internasional menyebut penghentian kerja sama Iran dengan IAEA sebagai pertanda awal kembalinya krisis nuklir global.
Meski demikian, belum ada pernyataan resmi dari PBB mengenai langkah selanjutnya terkait situasi di Iran.
Berbagai pihak menyerukan diadakannya pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB untuk membahas kemungkinan penyelesaian politik.
Diplomasi regional yang sebelumnya berjalan melalui Oman dan Qatar kini terhenti karena tidak adanya kesediaan kedua pihak untuk mengalah.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan pecahnya perang terbuka dalam skala lebih luas di kawasan Timur Tengah, terutama jika AS atau negara Teluk ikut campur.
Iran menegaskan bahwa mereka tidak berniat memulai perang, namun akan mempertahankan diri dengan semua kekuatan yang ada.
Israel, di sisi lain, menyatakan bahwa mereka akan melancarkan gelombang serangan baru jika program nuklir Iran kembali dilanjutkan tanpa pengawasan.
Ketegangan yang sedang berlangsung ini menunjukkan betapa pentingnya peran lembaga internasional seperti IAEA dalam menjaga stabilitas dan kepercayaan global.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v