Teheran, EKOIN.CO – Parlemen Iran secara tegas menyatakan bahwa negaranya tidak akan melanjutkan negosiasi nuklir dengan Amerika Serikat hingga prasyarat tertentu terpenuhi. Pernyataan itu disampaikan melalui media pemerintah Iran, seperti dilansir oleh Reuters pada Rabu, 16 Juli 2025.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut laporan tersebut, parlemen Iran menilai AS menggunakan perundingan sebagai taktik manipulatif yang menutupi serangan militer mendadak dari Israel terhadap Teheran. Dalam pernyataan itu ditegaskan bahwa selama prasyarat belum dipenuhi, tidak ada pembicaraan baru yang bisa dilakukan.
Meski demikian, tidak dijelaskan secara rinci apa saja prasyarat yang dimaksud. Namun, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi sebelumnya menyatakan bahwa salah satu syarat utama adalah jaminan tidak akan ada serangan militer lebih lanjut terhadap Iran.
Bulan lalu, Israel dan Amerika Serikat dikabarkan melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran. Keduanya mengklaim bahwa fasilitas tersebut digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir. Iran sendiri membantah tuduhan itu dan menyatakan bahwa program nuklirnya hanya untuk keperluan sipil.
Ketegangan meningkat pasca-serangan terhadap fasilitas nuklir
Negosiasi antara Teheran dan Washington telah dilakukan secara tidak langsung dan dimediasi oleh Oman. Hingga saat ini, tercatat lima putaran pembicaraan yang dilakukan sebelum terjadinya konflik udara selama 12 hari.
Namun, proses negosiasi tersebut menemui jalan buntu. AS menuntut agar Iran menghentikan program pengayaan uranium yang dilakukan di dalam negeri, namun Iran menolak tuntutan tersebut.
Araghchi dalam pernyataan pekan lalu kembali menegaskan bahwa Iran tidak akan menyetujui perjanjian yang menghentikan pengayaan uranium. Ia juga menyatakan bahwa negaranya tidak bersedia mendiskusikan isu lain di luar nuklir, termasuk program rudal balistik Iran.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump dalam pernyataan terbaru menyebut bahwa dirinya tidak terburu-buru untuk bernegosiasi. Ia menegaskan bahwa fasilitas nuklir Iran sudah “dihancurkan”, yang membuat tekanan diplomatik terhadap Teheran semakin kuat.
Trump juga mengungkapkan bahwa AS telah berkoordinasi dengan tiga negara Eropa—Prancis, Inggris, dan Jerman—untuk menetapkan batas waktu tercapainya kesepakatan pada akhir Agustus 2025.
Ultimatum Eropa dan potensi sanksi internasional
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, menambahkan bahwa jika hingga akhir Agustus tidak ada perkembangan signifikan dalam perundingan, maka mekanisme snapback dari sanksi Dewan Keamanan PBB akan diaktifkan.
Mekanisme snapback ini akan menghidupkan kembali sanksi internasional yang sebelumnya dicabut ketika kesepakatan nuklir dicapai pada 2015. Tindakan tersebut akan menambah tekanan terhadap ekonomi Iran yang telah terguncang.
Iran sendiri bersikukuh bahwa mereka memiliki hak untuk mengembangkan program nuklir sipil. Mereka menganggap tuntutan untuk menghentikan pengayaan uranium sebagai bentuk tekanan yang tidak adil.
Situasi ini memperlihatkan bahwa ketegangan antara Iran dan negara-negara Barat belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Keputusan parlemen Iran untuk menangguhkan negosiasi merupakan langkah strategis yang menunjukkan ketidaksediaan mereka untuk berkompromi tanpa jaminan keamanan.
Amerika Serikat tampaknya akan terus memperkuat tekanan diplomatik dan ekonomi terhadap Teheran. Sementara itu, negara-negara Eropa masih berharap dapat mempertahankan jalur diplomasi untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Ketegangan ini juga berimplikasi pada stabilitas kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Konflik yang lebih luas bisa muncul jika diplomasi gagal dan sanksi internasional diberlakukan kembali.
Sampai saat ini, belum ada tanggapan resmi dari Israel terkait pernyataan terbaru parlemen Iran. Namun sebelumnya, Israel telah menyatakan bahwa mereka akan terus mengambil langkah pre-emptive terhadap ancaman nuklir dari Teheran.
Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas internasional yang menginginkan solusi damai dan pengawasan terhadap program nuklir Iran. Peran negara-negara penengah seperti Oman juga menjadi semakin penting dalam situasi ini.
Langkah parlemen Iran sekaligus menjadi sinyal bahwa negosiasi ke depan akan lebih sulit. Diperlukan pendekatan baru untuk membuka kembali jalur dialog yang saat ini menemui jalan buntu.
Di sisi lain, rakyat Iran juga terdampak oleh ketegangan ini. Tekanan ekonomi akibat sanksi dan ketidakpastian politik menambah beban kehidupan sehari-hari masyarakat.
Situasi geopolitik yang memanas memaksa negara-negara lain untuk bersiap menghadapi berbagai kemungkinan, termasuk ketidakstabilan energi global jika konflik terus berkembang.
Iran hingga kini belum menjelaskan lebih jauh mengenai strategi diplomatik lanjutan. Namun keputusan parlemen menunjukkan bahwa posisi Teheran dalam isu ini tetap keras dan menuntut perlakuan setara di panggung internasional.
Kondisi negosiasi nuklir antara Iran dan Amerika Serikat berada dalam titik kritis setelah parlemen Iran menolak melanjutkan dialog sebelum prasyarat tertentu terpenuhi. Penolakan tersebut menambah kompleksitas hubungan kedua negara, apalagi setelah serangan terhadap fasilitas nuklir Iran. Meski belum jelas prasyarat yang dimaksud, tekanan dari AS dan sekutu Eropanya terus meningkat menjelang tenggat waktu pada akhir Agustus.
Langkah parlemen tersebut tidak hanya memperlihatkan posisi negosiasi yang keras, tetapi juga menunjukkan keprihatinan Iran terhadap ancaman keamanan yang dirasakannya. Di sisi lain, upaya diplomatik yang telah dilakukan melalui Oman belum menunjukkan hasil berarti. Posisi Iran yang menolak pembahasan isu rudal dan mempertahankan hak atas pengayaan uranium menjadi batu sandungan utama.
Dalam konteks ini, komunitas internasional perlu mempertimbangkan pendekatan baru agar jalur diplomasi tetap terbuka. Jika tidak, risiko eskalasi militer atau sanksi internasional kembali menjadi ancaman nyata. Negara-negara regional seperti Oman dan Turki berpotensi memainkan peran penting sebagai penengah.
Pemerintah di seluruh dunia juga harus memperhatikan dampak jangka panjang dari konflik ini, khususnya pada stabilitas kawasan dan ekonomi global. Peran PBB dan badan internasional lainnya diharapkan lebih aktif untuk mencegah krisis yang lebih luas.
Akhirnya, semua pihak harus mengedepankan dialog dan menjauhi provokasi lebih lanjut. Jalan menuju perdamaian masih terbuka jika ada komitmen bersama untuk menjaga keamanan, saling menghormati, dan menegakkan prinsip keadilan di panggung internasional. (*)