Teheran,– EKOIN.CO – Ketegangan antara Iran dan Israel terus memuncak setelah pernyataan tegas dari pemerintah Iran yang menyatakan tidak akan menyetujui gencatan senjata. Pernyataan tersebut diungkapkan langsung oleh Juru Bicara Pemerintah Iran, Ali Bahadori Jahromi, dalam konferensi pers di Teheran pada Minggu, 16 Juni 2025.
Ali Bahadori menyampaikan bahwa Iran tidak akan berhenti melawan Israel hingga “akhir agresi dan pendudukan” benar-benar terwujud. “Kami tidak akan berunding untuk gencatan senjata apa pun dengan rezim Zionis. Perlawanan akan berlanjut sampai tujuan tercapai,” ujarnya, dikutip dari Mehr News Agency.
Pernyataan ini memperkuat posisi Iran sebagai salah satu aktor regional yang menolak pendekatan diplomatik dengan Israel. Pemerintah Iran menegaskan bahwa mereka berdiri bersama kelompok perlawanan di Palestina dan Lebanon.
Seperti dilansir dari Al Jazeera, Iran juga menyatakan bahwa seluruh faksi perlawanan yang mereka dukung memiliki hak penuh untuk melawan pendudukan Israel tanpa batas waktu. Hal ini menyiratkan bahwa konflik di kawasan kemungkinan besar akan terus berlanjut dalam waktu lama.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Iran menegaskan bahwa tidak ada pembicaraan langsung maupun tidak langsung dengan Israel, dan bahwa semua upaya perundingan hanya akan digunakan untuk memperkuat strategi perlawanan.
Dalam beberapa minggu terakhir, Iran meningkatkan bantuan militernya kepada milisi bersenjata di Gaza dan Hizbullah di Lebanon. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa pengiriman rudal dan drone dari Iran ke kawasan telah meningkat drastis sejak bulan Mei 2025.
Israel menanggapi langkah Iran dengan memperketat blokade di Jalur Gaza dan melakukan serangan udara terhadap target-target yang diduga terkait Iran di Suriah dan Lebanon. Militer Israel juga dalam siaga tinggi menghadapi kemungkinan serangan langsung dari wilayah Iran.
Ketegangan ini makin memanas setelah serangan roket dari Gaza yang menewaskan dua warga sipil Israel pekan lalu. Pemerintah Israel menyalahkan Iran sebagai dalang utama dari serangan tersebut, meski tidak ada klaim langsung dari Teheran.
Seorang pejabat senior Israel yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan kepada The Times of Israel, “Iran sedang bermain api, dan kami tidak akan diam jika serangan terus berlangsung.” Ia juga menegaskan bahwa segala opsi termasuk tindakan militer langsung terhadap Iran masih terbuka.
Di sisi lain, pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dalam pidatonya di hadapan para ulama di Qom, menyebut bahwa perjuangan rakyat Palestina adalah jihad suci. “Selama pendudukan belum berakhir, tidak ada gencatan senjata sejati. Dunia harus tahu siapa yang menjadi penjajah,” katanya.
Reaksi dari masyarakat internasional pun mulai terdengar. Beberapa negara Eropa menyerukan deeskalasi konflik dan mendesak kedua pihak untuk segera membuka jalur diplomatik. Namun, hingga kini, belum ada tanggapan positif dari Teheran maupun Tel Aviv.
PBB melalui Juru Bicaranya, Stéphane Dujarric, menyatakan keprihatinan atas eskalasi yang terjadi. “Kami sangat khawatir akan memburuknya situasi kemanusiaan di kawasan. Korban sipil terus bertambah dan ini tidak bisa dibiarkan,” ujarnya di New York.
Namun demikian, Sekretaris Jenderal PBB belum mendapatkan persetujuan Dewan Keamanan untuk mengirim tim mediasi karena perbedaan sikap antaranggota tetap.
Menurut pengamat Timur Tengah dari Universitas Teheran, Dr. Reza Pahlavi, Iran sedang memainkan strategi jangka panjang dengan memanfaatkan jaringan perlawanan regional. “Iran tidak sekadar bereaksi, ini adalah bagian dari strategi geopolitik yang telah disiapkan sejak lama,” katanya kepada Press TV.
Beberapa analis keamanan regional memperkirakan bahwa pernyataan Iran akan memicu babak baru konfrontasi terbuka. Kemungkinan serangan balasan langsung dari Israel menjadi lebih besar, apalagi jika ada korban dari pihak Israel dalam jumlah besar.
Situasi ini memicu kekhawatiran di kalangan negara-negara Teluk yang khawatir konflik tersebut meluas ke wilayah mereka. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah meningkatkan patroli militer di kawasan perairan Teluk.
Di dalam negeri Iran sendiri, dukungan terhadap pemerintah atas sikap tegas terhadap Israel tergolong tinggi. Demonstrasi anti-Israel digelar di berbagai kota seperti Teheran, Mashhad, dan Isfahan, dengan massa membawa spanduk bertuliskan “Palestina Merdeka adalah Kemenangan Islam”.
Pemerintah Iran juga melibatkan media nasional untuk menyebarkan narasi perlawanan terhadap Israel. Siaran televisi dan radio menayangkan program khusus mengenai penderitaan warga Palestina dan perlunya jihad melawan pendudukan.
Sementara itu, pemerintah Israel terus meminta dukungan dari Amerika Serikat untuk meningkatkan sistem pertahanan rudal Iron Dome, serta mempercepat pengiriman bantuan militer tambahan dari Washington.
Presiden AS Joe Biden telah mengadakan pembicaraan telepon dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terkait situasi ini. Gedung Putih menyatakan bahwa AS tetap mendukung hak Israel untuk membela diri namun mengimbau agar serangan terhadap warga sipil dapat dihindari.
Namun, hubungan Iran-AS juga kembali memburuk menyusul pernyataan Iran bahwa kehadiran militer Amerika di Timur Tengah adalah bagian dari “agenda imperialisme global”.
Pernyataan keras itu membuat negosiasi nuklir Iran yang sebelumnya sempat mencair kembali membeku. Pejabat Uni Eropa yang terlibat dalam perundingan nuklir menyebut situasi saat ini sebagai “keruntuhan total proses diplomatik.”
Sementara itu, rakyat Palestina yang menjadi korban utama konflik ini terus menderita. Bantuan kemanusiaan sulit masuk ke Gaza karena blokade ketat, dan rumah sakit di wilayah itu mengalami kekurangan pasokan medis yang akut.
Data dari WHO menunjukkan lebih dari 6.000 orang luka-luka dan lebih dari 1.200 meninggal dunia sejak eskalasi meningkat awal Juni lalu. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak.
Di Lebanon selatan, ketegangan juga meningkat karena Hizbullah melancarkan serangan balasan terhadap posisi militer Israel di perbatasan. Warga sipil di wilayah perbatasan kedua negara sudah mulai dievakuasi.
Iran menyatakan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok di wilayah tersebut adalah respons sah atas pendudukan dan serangan militer Israel.
Pemerintah Iran menyebut perlawanan bukan hanya milik Palestina, tapi juga merupakan kewajiban seluruh umat Islam dunia. Hal ini menjadi salah satu narasi utama dalam pidato-pidato pejabat tinggi Iran dalam beberapa minggu terakhir.
Hingga kini, belum ada tanda-tanda meredanya ketegangan. Justru, banyak pihak memperkirakan konflik ini akan memasuki fase yang lebih luas dengan dampak regional dan internasional yang signifikan.
Keengganan Iran untuk duduk dalam meja perundingan dan sikap keras Israel untuk menyerang balik dapat memperpanjang penderitaan warga sipil di kawasan.
Dalam kondisi saat ini, dibutuhkan ketegasan dari komunitas internasional untuk menekan kedua pihak agar menghentikan konflik bersenjata. Negara-negara dengan pengaruh besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China harus mengambil inisiatif konkret untuk membuka jalur diplomasi.
Selain itu, perlindungan terhadap warga sipil harus dijadikan prioritas dalam setiap kebijakan luar negeri yang berkaitan dengan konflik Israel-Iran. Akses kemanusiaan perlu segera dibuka di Gaza dan wilayah konflik lainnya.
Organisasi regional seperti Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam juga perlu lebih aktif mendorong solusi damai yang adil, serta menengahi dengan pendekatan kolektif, bukan hanya kecaman verbal.
Masyarakat dunia harus diberikan informasi yang seimbang tentang situasi ini agar tidak terjebak dalam polarisasi politik dan agama. Media harus mengedepankan data dan kemanusiaan, bukan sekadar propaganda.
Akhirnya, penting bagi seluruh pemimpin dunia untuk mengingat bahwa perang bukan hanya soal militer dan politik, tetapi juga soal nyawa manusia yang tidak ternilai. Setiap keputusan yang diambil harus mempertimbangkan masa depan generasi yang akan datang. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v