Nawnghkio EKOIN.CO – Militer Myanmar berhasil merebut kembali kota strategis Nawnghkio dari pasukan pemberontak pada Rabu siang, 17 Juli 2025. Kota ini sebelumnya dikuasai oleh kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA) selama hampir 11 bulan sejak Juli 2024.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Kemenangan ini menandai pergeseran besar dalam konflik berkepanjangan di Myanmar timur laut, di mana aliansi milisi etnis telah berhasil menguasai sebagian besar wilayah sejak ofensif mereka dimulai pada akhir 2023. Kawasan tersebut memiliki nilai strategis karena menjadi jalur utama perdagangan antara Myanmar tengah dan China.
Surat kabar milik pemerintah Myanmar Alinn yang dikutip oleh The Associated Press menyebutkan bahwa perebutan Nawnghkio selesai pada Rabu siang. Kota ini juga berada di jalur menuju Pyin Oo Lwin, kota garnisun militer penting. Proses perebutan kembali kota ini memakan waktu hampir setahun operasi militer.
Laporan itu menyertakan foto-foto tentara Myanmar yang berpose di depan bangunan pemerintahan, rumah sakit, serta pasar setelah kota dinyatakan berhasil dikuasai. Disebutkan pula bahwa sebanyak 171 jenazah anggota TNLA dan sekutunya ditemukan di lokasi, dan sejumlah besar amunisi disita.
Militer Myanmar menyampaikan bahwa saat ini mereka sedang berupaya memulihkan administrasi sipil, menyingkirkan ranjau darat, dan memastikan kembalinya penduduk yang mengungsi karena pertempuran. Belum ada tanggapan resmi dari pihak TNLA mengenai pernyataan tersebut.
Militer Rebut Nawnghkio Usai 11 Bulan Konflik
Dalam pernyataan yang dirilis pada hari yang sama, TNLA mengakui telah memindahkan kantor administrasi sipil mereka dari Nawnghkio. Langkah itu diambil karena operasi ofensif militer dalam beberapa bulan terakhir menyulitkan mereka menjalankan tugas secara efektif.
Myanmar telah mengalami perang saudara sejak militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Sejak saat itu, militer menghadapi perlawanan dari berbagai kelompok etnis bersenjata dan gerakan pro-demokrasi seperti Pasukan Pertahanan Rakyat.
Aliansi Tiga Persaudaraan, yang mencakup TNLA, Tentara Aliansi Demokrasi Nasional Myanmar, dan Tentara Arakan, telah memperjuangkan otonomi lebih luas dari pemerintah pusat selama beberapa dekade. Setelah kudeta 2021, mereka secara longgar bersekutu dengan kelompok perlawanan sipil.
Sejak Oktober 2023, aliansi ini melancarkan serangan besar di Myanmar timur laut, dekat perbatasan China, dan wilayah barat negara itu. Mereka merebut sejumlah kota strategis yang memaksa militer untuk mengadopsi strategi bertahan dan meninggalkan banyak posisi penting.
Keberhasilan aliansi tersebut dalam merebut wilayah memberikan dorongan moral dan meningkatkan kekuatan strategis mereka di lapangan. Namun, perebutan kembali Nawnghkio menunjukkan militer Myanmar belum sepenuhnya kehilangan kendali di kawasan kunci.
Ketegangan Regional dan Perhatian Internasional
China disebut berusaha menjaga hubungan baik dengan kedua pihak, baik militer Myanmar maupun kelompok pemberontak. Namun, Beijing menyuarakan kekhawatiran bahwa konflik bersenjata yang meluas dapat mengganggu stabilitas Myanmar.
Myanmar merupakan sekutu penting China di Asia Tenggara, khususnya karena keterlibatan Beijing dalam proyek investasi besar di bidang mineral, energi, dan infrastruktur yang tersebar di kawasan konflik. Instabilitas dapat membahayakan kepentingan strategis tersebut.
Kemenangan militer Myanmar di Nawnghkio dapat dianggap sebagai upaya memperkuat posisi tawar mereka dalam konflik yang telah berlangsung selama lebih dari tiga tahun. Namun, belum jelas apakah perebutan ini akan memicu serangan balasan dari pihak TNLA.
Konflik yang terjadi di Myanmar tidak hanya melibatkan kelompok bersenjata dan militer, tetapi juga berdampak pada jutaan warga sipil yang terpaksa mengungsi dan kehilangan akses terhadap layanan dasar. Situasi kemanusiaan menjadi sorotan organisasi internasional.
Sejauh ini belum ada pernyataan dari pemerintah Myanmar atau perwakilan internasional mengenai langkah diplomatik untuk meredakan konflik. Sebagian besar wilayah konflik tetap berada di luar jangkauan pengawasan independen.
Meskipun militer berhasil merebut kembali Nawnghkio, kehadiran kelompok pemberontak di daerah lain tetap kuat. Banyak wilayah di Myanmar utara dan barat yang masih berada di bawah kendali kelompok-kelompok bersenjata etnis.
Pemulihan administrasi dan pengembalian warga ke Nawnghkio diperkirakan akan menghadapi tantangan besar. Selain keamanan, infrastruktur di kota tersebut juga mengalami kerusakan akibat pertempuran yang berlangsung hampir setahun.
Sementara itu, komunitas internasional terus memantau perkembangan di Myanmar dengan cermat. Negara-negara tetangga ASEAN juga belum menyepakati tindakan bersama dalam merespons konflik yang berlarut-larut ini.
Kondisi keamanan di wilayah timur laut Myanmar masih belum stabil. Sejumlah kelompok bersenjata lain dilaporkan terus melakukan serangan sporadis di wilayah perbatasan dan dekat pusat-pusat militer.
Secara umum, konflik internal Myanmar belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Perebutan Nawnghkio oleh militer bisa menjadi titik balik, namun juga dapat memicu eskalasi baru dari pihak perlawanan.
Kemenangan militer di Nawnghkio memberikan mereka ruang manuver untuk merebut kembali kota-kota strategis lainnya. Namun, tantangan dari aliansi milisi yang terkoordinasi masih sangat besar di banyak wilayah.
dari perkembangan ini menunjukkan bahwa perang saudara Myanmar masih jauh dari penyelesaian. Perebutan satu kota tidak serta-merta mengakhiri konflik yang melibatkan banyak kepentingan politik, etnis, dan regional.
Upaya militer dalam menormalkan kembali kehidupan di Nawnghkio perlu dikawal ketat, terutama dalam memastikan keselamatan warga sipil dan akses kemanusiaan yang memadai. Proses rekonsiliasi dan pembangunan pascakonflik juga harus menjadi prioritas.
bagi komunitas internasional, terutama negara-negara ASEAN dan PBB, adalah mendorong negosiasi damai yang inklusif. Mengabaikan konflik ini hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Myanmar.
Masyarakat sipil, terutama yang berada di wilayah konflik, perlu mendapat perlindungan maksimal dari kekerasan dan pelanggaran HAM. Peningkatan pengawasan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan mendesak dilakukan.
Dalam jangka panjang, stabilitas di Myanmar akan sangat bergantung pada keinginan semua pihak untuk menyelesaikan konflik secara politik, bukan hanya melalui kekuatan militer. Dialog nasional inklusif sangat diperlukan.
Myanmar menghadapi titik kritis dalam sejarahnya. Perebutan Nawnghkio harus menjadi momen refleksi, bukan sekadar simbol kemenangan militer, agar perdamaian dapat kembali tumbuh di tanah yang telah lama dilanda konflik. (*)