Teheran, EKOIN.CO – Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengecam Amerika Serikat karena dianggap telah mengganggu proses diplomasi nuklir dengan cara yang merusak kestabilan kawasan. Dalam konferensi video yang berlangsung pekan ini, Araghchi menyampaikan keberatan Iran terhadap upaya Eropa yang mempertimbangkan kembali penerapan mekanisme snapback terhadap Teheran. Konferensi tersebut dihadiri mitranya dari Prancis, Jerman, dan Inggris, serta Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam pernyataannya, Araghchi menyoroti keputusan sepihak Amerika Serikat yang keluar dari perjanjian nuklir tahun 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kesepakatan tersebut sebelumnya dimediasi oleh Uni Eropa dan menjadi acuan utama dalam pengawasan program nuklir Iran.
Araghchi menyebut bahwa AS telah merusak arsitektur diplomatik yang disepakati secara multilateral, dengan menyulitkan jalan keluar damai dari ketegangan nuklir. Ia juga mengimbau negara-negara Eropa untuk tidak lagi mengandalkan kebijakan tekanan dan sanksi sebagai pendekatan utama.
Eropa Pertimbangkan Snapback, Iran Beri Peringatan
Ketentuan snapback dalam JCPOA memberi hak kepada negara penandatangan untuk memberlakukan kembali sanksi PBB terhadap Iran jika dinilai melanggar isi kesepakatan. Saat ini, Prancis, Jerman, dan Inggris disebut tengah mempertimbangkan penggunaan mekanisme tersebut.
Menurut laporan dari berbagai media internasional, keputusan itu kemungkinan akan diumumkan menjelang akhir Agustus. Wacana ini menuai protes keras dari Teheran yang melihat langkah itu sebagai bentuk ketidakadilan dan berisiko besar terhadap hubungan bilateral.
Araghchi memperingatkan bahwa jika mekanisme snapback dijalankan, maka kerusakan hubungan Iran dengan Eropa akan “tidak dapat diperbaiki”. Peringatan ini disampaikannya dalam forum yang sama dan menyasar secara khusus ketiga negara Eropa yang disebut-sebut mendukung gagasan snapback.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa pendekatan seperti ini akan mendorong Iran untuk mengambil langkah-langkah pembalasan yang dapat mengubah arah diplomasi secara permanen. “Kebijakan usang seperti ini tidak akan menghasilkan solusi,” kata Araghchi.
Ketegangan Memuncak Pasca Serangan Israel
Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat meningkat setelah serangan udara mendadak yang dilakukan Israel pada 13 Juni lalu. Insiden tersebut menyebabkan pecahnya konflik selama 12 hari yang menewaskan lebih dari seribu warga Iran, termasuk ilmuwan nuklir dan pejabat militer senior.
Iran menuduh Amerika Serikat terlibat langsung dalam serangan tersebut, baik dalam bentuk intelijen maupun dukungan taktis. Teheran juga menyebut bahwa tiga fasilitas nuklir utama Iran turut diserang oleh AS di tengah kekacauan tersebut.
Peristiwa ini terjadi hanya dua hari sebelum putaran keenam negosiasi antara Iran dan AS yang dijadwalkan berlangsung di Muscat, Oman. Rangkaian perundingan itu pun tertunda tanpa kejelasan jadwal lanjutan hingga saat ini.
Pemerintah Iran menilai, penundaan tersebut bukan hanya sebagai akibat perang, namun juga sebagai taktik politik yang disengaja oleh AS untuk menghindari komitmen baru dalam kerangka JCPOA.
“Amerika telah menghancurkan kepercayaan internasional yang dibangun susah payah,” ujar Araghchi. Ia juga mendesak Uni Eropa untuk tidak membiarkan AS mendikte arah kebijakan kawasan, khususnya dalam isu nuklir.
Dalam pertemuan virtual tersebut, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa tidak secara eksplisit menanggapi tudingan Iran, namun menyampaikan bahwa Eropa berkomitmen terhadap perdamaian dan stabilitas.
Ketiga negara Eropa disebut masih dalam proses evaluasi data dan laporan pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengenai aktivitas nuklir Iran sebelum mengambil keputusan soal snapback.
Sementara itu, pihak Amerika Serikat belum memberikan tanggapan resmi atas pernyataan Araghchi, terutama terkait tudingan keterlibatan mereka dalam serangan Israel terhadap Iran.
Pengamat menyebut bahwa isu ini berpotensi memperpanjang ketegangan di kawasan Teluk dan mengganggu jalannya negosiasi nuklir internasional yang selama ini dijembatani oleh Eropa.
Kesepakatan JCPOA yang ditandatangani pada 2015 bertujuan membatasi program nuklir Iran agar tetap bersifat damai, dengan imbalan pencabutan sejumlah sanksi internasional.
Namun sejak AS keluar dari perjanjian tersebut pada 2018, dan memberlakukan kembali sanksi ekonomi, Iran mulai mengurangi kepatuhan terhadap batasan-batasan teknis yang diatur dalam JCPOA.
Langkah sepihak AS itu pun menjadi sumber perselisihan berkepanjangan antara Washington dan negara-negara anggota lainnya yang masih berharap kesepakatan itu dapat diselamatkan.
Iran menyatakan tetap terbuka untuk negosiasi asalkan tidak ada tekanan atau ancaman baru yang diberlakukan terhadap mereka oleh Eropa maupun AS.
Situasi ini menunjukkan bahwa masa depan JCPOA dan upaya diplomasi nuklir masih berada dalam ketidakpastian tinggi, dengan banyak negara menunggu hasil sikap Eropa dalam beberapa minggu ke depan.
Sebagai langkah antisipatif, Iran dilaporkan mulai mengintensifkan komunikasi bilateral dengan negara-negara non-Barat untuk memperkuat dukungan terhadap posisi diplomatik mereka.
dari pernyataan Iran dalam forum tersebut menegaskan bahwa perdamaian hanya dapat tercapai jika semua pihak menghormati kesepakatan dan tidak menggunakan tekanan sebagai instrumen utama.
Iran berharap negara-negara Eropa dapat mempertimbangkan kembali kebijakan mereka dan menghindari langkah-langkah yang dapat memperburuk situasi.
Teheran juga menegaskan bahwa keterlibatan AS dalam konflik regional semakin mempersempit ruang dialog dan melemahkan proses negosiasi internasional yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Mekanisme snapback sebaiknya tidak diperlakukan sebagai senjata politik, melainkan sebagai opsi terakhir jika semua jalur diplomatik telah gagal sepenuhnya.
Komunitas internasional didorong untuk menjaga kerangka JCPOA sebagai platform bersama dalam membangun stabilitas jangka panjang di kawasan Timur Tengah.
dari Iran mencakup pentingnya mendorong pendekatan diplomasi yang setara, menolak standar ganda, dan memperkuat peran organisasi internasional dalam mengawasi implementasi kesepakatan.
Para pemimpin dunia diminta untuk mendorong AS kembali ke meja perundingan dengan itikad baik dan menghentikan kebijakan konfrontatif yang selama ini menghambat kemajuan.
Negara-negara Eropa diminta untuk mengutamakan dialog terbuka dan bukan retorika tekanan, agar kredibilitas dan stabilitas kawasan tetap terjaga.
Iran menyerukan penghentian tindakan militer sepihak yang hanya akan memperburuk ketegangan dan memperlemah kepercayaan internasional terhadap kesepakatan multilateral.
Terakhir, semua pihak diharapkan dapat kembali menjadikan JCPOA sebagai landasan perdamaian, bukan medan konflik politik internasional yang terus-menerus berlangsung. (*)