Yerusalem, EKOIN.CO – Sebanyak 25 negara Barat sekutu Amerika Serikat (AS), termasuk Inggris dan Prancis, secara terbuka mengutuk tindakan militer Israel di Jalur Gaza. Negara-negara tersebut menyerukan penghentian segera atas operasi militer yang telah menyebabkan ratusan korban jiwa, terutama saat warga Gaza sedang mencari bantuan kemanusiaan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pernyataan bersama ini dirilis pada Selasa, 22 Juli 2025, dan dikutip dari Reuters. Negara-negara penandatangan menyebut situasi di Gaza sebagai “mengerikan”, khususnya menyusul insiden penembakan terhadap nyaris 800 warga sipil yang sedang mengantre bantuan di sekitar fasilitas Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF).
Model bantuan Israel dinilai picu ketidakstabilan
Pernyataan bersama tersebut menyoroti model distribusi bantuan yang diterapkan oleh pemerintah Israel. Menurut mereka, model ini berisiko tinggi, mengabaikan martabat kemanusiaan, serta mendorong ketegangan dan ketidakstabilan. “Model pemberian bantuan pemerintah Israel berbahaya, memicu ketidakstabilan, dan merampas martabat manusia warga Gaza,” demikian isi pernyataan para menteri luar negeri.
Wilayah tempat terjadinya insiden penembakan berada di bawah pengawasan Israel dan AS, setelah sebelumnya berada dalam jaringan kemanusiaan yang dipimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam konteks ini, pernyataan tersebut menilai bahwa Israel telah gagal melindungi warga sipil.
Negara-negara Barat itu juga menuduh Israel menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan penting. Oleh karena itu, mereka mendesak pemerintah Israel untuk mematuhi hukum humaniter internasional serta mencabut semua pembatasan akses terhadap bantuan dan organisasi kemanusiaan.
“Israel harus segera mencabut pembatasan guna memungkinkan aliran bantuan dan agar organisasi kemanusiaan dan PBB dapat beroperasi dengan aman dan efektif,” tambah pernyataan itu.
Desakan gencatan senjata dan peringatan Five Eyes
Lebih lanjut, ke-25 negara tersebut menyatakan kesiapan mereka untuk mengambil langkah tambahan guna mendukung upaya gencatan senjata dan mencari jalur diplomatik yang dapat menjamin perdamaian serta keamanan jangka panjang bagi warga Israel dan Palestina.
Dari daftar tersebut, 20 merupakan negara-negara Eropa, ditambah Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Menariknya, empat dari lima anggota aliansi intelijen Five Eyes juga termasuk di dalamnya. Kelompok ini dikenal sebagai mitra utama AS dalam kerja sama pertukaran informasi rahasia.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Israel memberikan tanggapan keras terhadap pernyataan tersebut. Mereka menyebut bahwa pernyataan itu tidak mencerminkan kenyataan di lapangan serta akan mengirimkan sinyal yang keliru kepada Hamas.
“Pernyataan itu gagal memfokuskan tekanan pada Hamas dan gagal mengakui peran dan tanggung jawab Hamas atas situasi tersebut,” bunyi tanggapan resmi dari Israel.
Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, juga telah berbicara dengan mitranya dari Inggris, David Lammy, membahas kondisi kawasan, termasuk situasi di Gaza. Dalam pembicaraan itu, Saar menyatakan bahwa Hamas merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas penderitaan penduduk serta perpanjangan konflik.
“Hamas telah menyebabkan bencana kemanusiaan di Gaza, dan mereka yang mendesak gencatan senjata tanpa menyebut Hamas akan membuat situasi semakin memburuk,” ujar Saar.
Di pihak lain, Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, turut menyampaikan pendapatnya. Ia menyebut pernyataan ke-25 negara tersebut sebagai “menjijikkan” dan menganggap bahwa menyalahkan Israel atas konflik saat ini adalah bentuk irasionalitas.
“Hamas telah menolak setiap usulan gencatan senjata. Menyalahkan Israel dalam situasi ini tidak masuk akal dan sangat tidak bertanggung jawab,” kata Huckabee.
Sementara itu, media lokal Palestina dan lembaga bantuan internasional melaporkan bahwa serangan Israel pada akhir pekan lalu menyasar wilayah tempat warga Gaza mengantre bantuan makanan dan medis. Lokasi tersebut sebelumnya telah ditandai sebagai zona kemanusiaan.
PBB belum memberikan pernyataan resmi terkait insiden terakhir ini. Namun, sejumlah organisasi HAM dan pengamat independen menyatakan bahwa insiden tersebut berpotensi melanggar hukum internasional terkait perlindungan terhadap warga sipil.
Situasi di Gaza terus memburuk, dengan laporan PBB menyebutkan lebih dari 1,8 juta penduduk sipil kini hidup dalam kondisi tanpa pasokan air bersih, listrik, serta layanan medis dasar. Ketegangan meningkat seiring meningkatnya tekanan internasional terhadap Israel.
Beberapa negara dalam kelompok tersebut telah mengusulkan resolusi baru di Dewan Keamanan PBB, mendorong dilakukannya investigasi independen atas serangan yang terjadi. Namun belum ada kepastian kapan resolusi itu akan diajukan secara resmi.
Seruan ini menjadi satu dari sedikit upaya diplomatik skala besar dari negara-negara sekutu AS yang menantang kebijakan militer Israel secara langsung. Meski demikian, pengaruh nyata dari pernyataan tersebut masih belum terlihat di lapangan.
Israel tetap melanjutkan operasi militernya dengan dalih membongkar infrastruktur Hamas di seluruh Jalur Gaza. Namun, serangan tersebut seringkali menimbulkan dampak besar bagi warga sipil.
gelombang kritik internasional terhadap Israel semakin besar, bahkan dari negara-negara yang selama ini dikenal sebagai sekutunya. Respons keras dari pihak Israel menandakan bahwa kebuntuan politik dan diplomatik masih akan terus berlanjut, sementara kondisi warga Gaza semakin memprihatinkan.
Langkah diplomatik perlu ditingkatkan agar eskalasi konflik bisa ditekan. Negara-negara yang mengutuk Israel telah membuka ruang dialog baru, yang setidaknya bisa menjadi tekanan politik agar kekerasan berhenti.
Dukungan terhadap Gaza dari komunitas internasional harus diiringi dengan pengawasan yang kuat terhadap pendistribusian bantuan. Hal ini krusial untuk menjamin efektivitas dan keamanan proses kemanusiaan di lapangan.
PBB dan organisasi multilateral lainnya diharapkan lebih aktif dalam menengahi konflik serta memastikan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak dibiarkan begitu saja tanpa konsekuensi.
Diplomasi kemanusiaan harus menjadi prioritas utama dalam menyikapi krisis ini. Perdamaian hanya bisa tercapai jika semua pihak bersedia tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional dan mengutamakan keselamatan warga sipil di atas segalanya. (*)