Jakarta EKOIN.CO – Pemerintah Indonesia saat ini tengah mempertimbangkan tawaran kerja sama pertahanan dari Rusia, yang mencakup transfer teknologi rudal jarak pendek dan menengah. Kunjungan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu ke Jakarta pada akhir Juli 2025 menandai keseriusan Moskow dalam menjajaki peluang kemitraan strategis tersebut.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam pertemuan bilateral yang berlangsung di Kementerian Pertahanan RI, Shoigu membawa proposal menyeluruh yang mencakup lisensi produksi sistem rudal bagi industri pertahanan nasional. Dua perusahaan BUMN, PT Pindad dan PT Dahana, disebutkan dalam tawaran tersebut sebagai mitra potensial dalam produksi bersama.
Rusia juga menyatakan kesiapan untuk melakukan ekspor sistem rudal hasil kolaborasi dengan Indonesia ke negara-negara non-NATO. Hal ini dinilai dapat menjadi peluang strategis dalam penguatan kapasitas industri pertahanan dalam negeri sekaligus membuka pasar baru.
Dalam proposal tersebut, Moskow menawarkan berbagai jenis sistem pertahanan udara berbasis darat. Transfer teknologi penuh menjadi salah satu nilai utama dari tawaran ini, memungkinkan Indonesia mengembangkan dan memproduksi rudal secara mandiri di masa depan.
Selain itu, Rusia juga menjanjikan program pelatihan teknis bagi personel Indonesia serta pembangunan fasilitas produksi bersama di wilayah Indonesia. Skema pembiayaan fleksibel turut ditawarkan untuk meringankan beban fiskal pemerintah Indonesia.
Diplomasi Pertahanan dan Risiko Geopolitik
Kementerian Pertahanan RI belum memberikan keterangan resmi terkait sikap pemerintah atas tawaran tersebut. Namun, beberapa pejabat menyebutkan bahwa proses kajian mendalam tengah dilakukan, dengan melibatkan kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kementerian Luar Negeri dan BUMN pertahanan.
Seperti dilansir dari media Rusia TASS, Shoigu menegaskan bahwa Rusia ingin mempererat hubungan pertahanan dengan Indonesia secara jangka panjang dan setara. Ia juga menyampaikan bahwa kerja sama ini tidak ditujukan untuk merugikan negara ketiga manapun.
Di sisi lain, sejumlah analis menilai tawaran Rusia ini dapat mempengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sebab, negara-negara tersebut memiliki regulasi ketat terkait perdagangan sistem pertahanan dengan entitas yang menjalin hubungan militer dengan Rusia.
Salah satu kekhawatiran adalah potensi penerapan sanksi berdasarkan Undang-Undang Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) oleh Amerika Serikat, yang sebelumnya telah diterapkan kepada negara lain yang membeli alutsista dari Rusia.
Menurut peneliti pertahanan dari LIPI, Rusdi Hamzah, pemerintah Indonesia perlu berhati-hati dalam menimbang aspek politik luar negeri, terutama posisi netralitas Indonesia dalam konflik global. Ia menambahkan bahwa setiap langkah harus dikaji tidak hanya dari sisi teknis, namun juga dampak jangka panjang terhadap posisi Indonesia di kancah internasional.
Industri Dalam Negeri dan Kemandirian Pertahanan
Meski menghadapi tantangan diplomatik, tawaran ini juga membuka kemungkinan penguatan industri pertahanan nasional. Dengan lisensi produksi yang ditawarkan, PT Pindad dan PT Dahana dapat meningkatkan kemampuan manufakturnya, sekaligus memperluas jaringan mitra internasional.
Pemerintah Indonesia sendiri sebelumnya telah menargetkan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor pertahanan sebagai bagian dari upaya kemandirian pertahanan nasional. Transfer teknologi dari Rusia dapat membantu percepatan realisasi target tersebut.
Direktur Utama PT Pindad, Abraham Mose, mengatakan bahwa perusahaan siap menerima alih teknologi dari negara manapun sepanjang sesuai dengan kebijakan nasional dan peraturan yang berlaku. Ia menegaskan komitmen Pindad dalam mendukung kebijakan pemerintah untuk memproduksi alutsista secara mandiri.
Namun demikian, proses alih teknologi memerlukan waktu, biaya, dan sumber daya manusia yang memadai. Oleh karena itu, keberhasilan kerja sama seperti ini bergantung pada konsistensi kebijakan, pengawasan, serta dukungan anggaran dari negara.
Menurut laporan media Kommersant, Rusia sebelumnya telah menawarkan teknologi serupa kepada beberapa negara di Asia dan Afrika. Namun, implementasi kerja sama tersebut kerap mengalami hambatan administratif dan pembiayaan.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai bahwa kerja sama militer dengan Rusia tidak serta merta membawa risiko, namun harus disertai perencanaan diplomasi yang matang. Menurutnya, Indonesia bisa menekankan posisi non-blok dalam semua kerja sama strategis.
Saat ini, pembahasan kerja sama antara Rusia dan Indonesia masih pada tahap awal. Proses negosiasi akan terus berlanjut dan kemungkinan memakan waktu berbulan-bulan sebelum mencapai kesepakatan akhir, jika disetujui oleh kedua pihak.
Kesimpulan dari tawaran Rusia ini akan sangat bergantung pada kalkulasi manfaat ekonomi, teknis, serta diplomatik. Pemerintah Indonesia juga perlu mempertimbangkan reaksi negara-negara mitra strategis dalam mengambil keputusan akhir.
Indonesia memiliki pengalaman kerja sama pertahanan dengan berbagai negara, termasuk Korea Selatan, Prancis, dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, keputusan menerima atau menolak tawaran Rusia dapat berdampak pada arah kebijakan pertahanan nasional di masa mendatang.
Jika tawaran ini diterima, Indonesia berpeluang menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang memproduksi sistem rudal Rusia secara lokal. Namun, jika ditolak, pemerintah perlu mencari alternatif lain untuk mencapai target kemandirian pertahanan.
Sampai saat ini, belum ada tenggat waktu yang ditetapkan untuk pengambilan keputusan resmi. Proses evaluasi teknis, ekonomi, dan politik terus berlangsung di tingkat kementerian terkait.
Kerja sama ini membuka peluang besar bagi penguatan industri pertahanan dalam negeri, namun juga menuntut kehati-hatian dalam menjaga keseimbangan diplomatik dan stabilitas nasional.
Sebagai pemerintah Indonesia menghadapi pilihan strategis yang tidak mudah. Tawaran Rusia menjanjikan peningkatan kapasitas teknologi dan industri, tetapi juga berisiko menimbulkan dampak diplomatik yang perlu diantisipasi secara menyeluruh.
Evaluasi menyeluruh perlu mempertimbangkan semua aspek, termasuk keamanan nasional, potensi sanksi ekonomi, serta implikasi jangka panjang dalam politik luar negeri. Keputusan akhir sebaiknya diambil dengan pendekatan kolaboratif antar-lembaga, mengutamakan kepentingan nasional jangka panjang.
untuk pemerintah adalah memastikan bahwa semua proses pengambilan keputusan bersifat transparan dan berdasarkan data teknis serta kajian strategis. Selain itu, komunikasi terbuka kepada publik juga penting agar kebijakan ini dapat diterima luas oleh masyarakat.
Pemerintah juga perlu mempersiapkan langkah mitigasi jika keputusan yang diambil berdampak pada hubungan dagang atau diplomatik dengan negara lain. Diplomasi aktif dan fleksibel dapat menjadi kunci untuk menjaga posisi netral Indonesia.
Akhirnya, pemerintah harus menjaga fokus pada peningkatan kapasitas pertahanan nasional tanpa mengorbankan prinsip kebijakan luar negeri yang bebas aktif. Kerja sama apapun harus mendukung kepentingan Indonesia dan memperkuat kedaulatan nasional secara berkelanjutan. (*)