Semarang EKOIN.CO – Persidangan kasus korupsi dengan terdakwa mantan Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu atau Mbak Ita, dan suaminya Alwin Basri kembali menghadirkan pengakuan penting dari saksi yang pernah menjabat di lingkungan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang pada Rabu, 2 Juli 2025, Heni Arustiati mengungkapkan adanya pemberian uang dalam bentuk kado kepada Mbak Ita dan suaminya.
Pengakuan Heni disampaikan di hadapan majelis hakim saat ia bersaksi dalam sidang yang juga dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Heni menjabat sebagai mantan Kepala Sub Bidang Perimbangan Bapenda Kota Semarang. Dalam kesaksiannya, ia menyatakan mengetahui adanya pemberian uang senilai ratusan juta kepada terdakwa dan suaminya.
Menurut Heni, uang tersebut berasal dari iuran kebersamaan para pegawai Bapenda yang dikumpulkan setiap kali mendapatkan bonus dari hasil pemungutan pajak daerah. Ia menyebutkan bahwa dalam satu tahun, iuran tersebut bisa mencapai Rp4 miliar. Dana itulah yang kemudian disalurkan dalam bentuk kado berisi uang kepada sejumlah pihak, termasuk Mbak Ita.
Uang Iuran Pegawai Dijadikan Kado
Heni menceritakan bahwa pada satu kesempatan, ia melihat Kepala Bidang Pengawasan dan Pengembangan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Bapenda Kota Semarang, Sarifah, tengah membungkus kado yang isinya uang. Saat itu, Heni sempat bercanda bahwa kado tersebut untuk dirinya. Namun Sarifah menjawab bahwa kado itu untuk “Bu Wali”, merujuk pada Mbak Ita.
“Saya pernah tahu setoran uang ke Bu Ita saat Bu Sarifah sedang membungkus kado isinya uang sebesar 300 juta. Saya ajak bercanda itu kado buat saya? Bu Sarifah bilang kado itu untuk Bu Wali (Mbak Ita),” ungkap Heni dalam persidangan.
Selain untuk Mbak Ita, menurut Heni, juga terdapat bungkusan kado lain yang diperuntukkan bagi Alwin Basri dengan nominal Rp200 juta. Ia menambahkan bahwa Sarifah memberitahukan langsung mengenai isi dan tujuan dari bungkusan tersebut.
“Saya mengetahui hal itu karena diberitahu oleh Bu Sarifah. Soal proses pemberian tidak tahu. Bungkusan itu diserahkan Bu Kabag (Sarifah) ke Bu Iin (Indriyasari), habis itu tidak tahu,” ujarnya lebih lanjut.
Jaksa KPK Tampilkan Bukti Kado Uang
Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum dari KPK, Rio Vernika, turut menunjukkan sebuah bungkusan kado yang dimaksud oleh Heni. Ketika bungkusan tersebut diperlihatkan di hadapan majelis hakim dan para pihak, Heni langsung membenarkan bahwa itu adalah bungkusan yang ia lihat sebelumnya.
Saat terdakwa Mbak Ita diberi kesempatan untuk menanggapi pernyataan saksi, ia mempertanyakan waktu kejadian pemberian kado tersebut. Ia menanyakan apakah kejadian itu berlangsung pada bulan Desember 2022. Namun Heni mengaku lupa kapan persisnya peristiwa itu terjadi.
“Saya lupa,” jawab Heni singkat saat ditanya oleh Mbak Ita.
Terdakwa lainnya, Alwin Basri, ketika diminta tanggapannya oleh hakim, menyatakan bahwa dirinya tidak keberatan dengan keterangan yang diberikan oleh Heni dalam sidang tersebut. Ia tidak menampik maupun membantah isi pernyataan tersebut.
Pernyataan Heni menjadi sorotan penting dalam sidang kali ini karena memperkuat dugaan adanya aliran dana tidak sah yang mengalir kepada Mbak Ita dan suaminya dari lingkungan Bapenda Kota Semarang. Nilai uang yang disebut dalam bentuk kado itu cukup besar, yakni mencapai total Rp500 juta.
Heni tidak menyebutkan secara detail kapan kejadian tersebut terjadi, namun ia menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum dirinya dimutasi dari posisi sebelumnya. Ia juga mengaku tidak mengetahui secara langsung proses penyerahan uang tersebut kepada Mbak Ita maupun suaminya.
Nama Indriyasari juga muncul dalam kesaksian Heni. Ia disebut sebagai pihak yang menerima bungkusan dari Sarifah, namun kelanjutannya tidak diketahui oleh saksi. Peran Indriyasari dalam alur pemberian uang ini belum dijelaskan lebih lanjut dalam sidang tersebut.
Sementara itu, jaksa KPK terus menelusuri alur dana yang berasal dari iuran pegawai Bapenda tersebut. Sidang sebelumnya juga telah mengungkap dugaan bahwa sistem iuran ini telah berlangsung lama dan menghasilkan miliaran rupiah dalam setiap tahunnya.
Sebagaimana diberitakan oleh TribunJateng.com, sidang kasus korupsi ini juga sempat memunculkan nama mantan Wali Kota Semarang sebelumnya, Hendrar Prihadi. Dalam sidang sebelumnya, Mbak Ita menyebut bahwa Hendrar juga menerima aliran dana seperti dirinya. Namun hal tersebut belum dikonfirmasi lebih lanjut oleh pihak terkait.
KPK masih terus mendalami apakah dana yang dikumpulkan melalui iuran pegawai Bapenda ini hanya digunakan untuk kepentingan pribadi pejabat tertentu atau juga melibatkan pihak-pihak lain. Penelusuran aliran dana menjadi salah satu fokus utama dalam sidang lanjutan.
Meskipun proses hukum masih berjalan, kesaksian Heni telah memperjelas bahwa sistem bonus dan iuran internal di lingkungan Bapenda memiliki celah untuk disalahgunakan. Ke depan, hal ini menjadi perhatian serius bagi sistem pengawasan keuangan daerah.
Sidang kasus korupsi Mbak Ita dan Alwin Basri akan dilanjutkan dalam waktu dekat. Agenda sidang berikutnya dijadwalkan untuk memeriksa saksi lainnya dari jajaran Pemkot Semarang. Pihak pengadilan belum memberikan keterangan pasti mengenai tanggal sidang lanjutan tersebut.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Sebagai langkah antisipatif, transparansi dalam sistem bonus dan insentif di lembaga pemerintah daerah perlu diperkuat. Sistem iuran yang tidak memiliki dasar hukum jelas harus dihentikan agar tidak membuka peluang penyalahgunaan wewenang.
Pemerintah Kota Semarang dan instansi pengawasan internal diharapkan segera mengevaluasi ulang seluruh mekanisme pengelolaan dana insentif dan bonus, khususnya di lingkungan Bapenda. Hal ini penting guna mencegah pembentukan kultur setoran yang tidak sesuai aturan.
Perlu adanya pelaporan rutin dan pengawasan ketat atas distribusi bonus dan iuran pegawai. Semua transaksi keuangan di lingkup pemerintahan daerah sebaiknya dilakukan secara transparan dan terdokumentasi untuk menjaga akuntabilitas.
Masyarakat juga memiliki peran penting dengan mengawasi proses penyaluran dana publik. Dengan keterlibatan aktif warga, maka potensi penyelewengan dana seperti dalam kasus ini dapat ditekan secara signifikan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa tata kelola keuangan daerah harus dijaga ketat dan akuntabel. Kejujuran dan integritas aparatur negara menjadi pondasi utama untuk membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa. (*)