Tangerang Selatan EKOIN.CO –
Harga beras yang terus merangkak naik membuat sejumlah warga di wilayah Ciputat, Tangerang Selatan, mulai mengurangi jumlah pembelian mereka. Fenomena ini tampak jelas di Pasar Cantik, di mana pedagang dan pembeli mulai menyesuaikan diri dengan lonjakan harga kebutuhan pokok tersebut.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Ihsan (31), seorang pedagang beras di Pasar Cantik, menyampaikan bahwa sejak harga beras meningkat, penjualan turut menurun. Warga tidak lagi membeli dalam jumlah seperti biasanya. “Mereka belanjanya jadi berkurang gitu. Kalau dulu beli dua liter, sekarang belinya satu liter,” ujarnya kepada Kompas.com pada Rabu (23/7/2025).
Untuk mempertahankan pelanggannya, Ihsan memilih tidak menaikkan harga jual beras di tokonya. Ia hanya mengambil keuntungan tipis demi menjaga keberlanjutan usahanya. “Kami untung paling cuma Rp 500 sampai Rp 1.000 per liter, enggak terlalu tinggi. Per karung paling untung Rp 20.000 sampai Rp 30.000,” imbuhnya.
Konsumen Kurangi Pembelian, Pedagang Tahan Harga
Di tempat yang sama, Fadil (20), penjaga toko beras lainnya, membenarkan penurunan pembelian dari pelanggan tetap. Menurutnya, lonjakan harga terjadi secara bertahap sejak dua hingga tiga bulan terakhir. Harga beras medium yang semula Rp 11.000 per liter kini menjadi Rp 12.000, sedangkan jenis pulen naik dari Rp 12.000 menjadi Rp 13.000.
“Langganan tetap sekarang banyak yang jarang beli. Yang biasanya beli 10 sampai 15 liter, sekarang paling beli lima liter. Ada juga yang udah enggak kelihatan lagi belanjanya,” terang Fadil. Ia menambahkan bahwa pihaknya tidak dapat menurunkan harga karena pasokan dari agen juga sudah mahal.
Menurut Fadil, margin keuntungan yang diperoleh dari satu karung beras kini sangat kecil. “Kalau di kita sudah mentok di harga segitu karena kita juga ambil keuntungannya sedikit dari satu karung itu,” katanya. Hal ini membuat para pedagang berada di posisi sulit, harus menjaga harga agar tetap terjangkau sambil mengimbangi harga dari agen.
Para pedagang berharap pemerintah dapat turun tangan untuk mengendalikan harga beras. Menurut mereka, jika kondisi ini berlanjut, maka daya beli masyarakat akan semakin menurun dan berdampak pada kelangsungan usaha pedagang kecil di pasar tradisional.
Harga Nasional Lampaui Batas HET
Berdasarkan data panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Selasa (22/7/2025) pukul 15.00 WIB, harga beras medium secara nasional tercatat naik 15,1 persen menjadi Rp 14.388 per kilogram. Angka ini telah melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 12.500 per kg.
Sementara itu, harga beras premium naik 8,13 persen menjadi Rp 16.111 per kg, juga melampaui HET nasional sebesar Rp 14.900 per kg. Kenaikan ini menunjukkan adanya tekanan harga yang cukup signifikan di seluruh lapisan pasar.
Untuk beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), meskipun hanya naik 0,23 persen menjadi Rp 12.529 per kg, angka tersebut tetap berada di atas HET SPHP sebesar Rp 12.500 per kg. Kenaikan tipis ini tetap berdampak pada belanja masyarakat kelas menengah ke bawah.
Jika dilihat dari zonasi wilayah, di Zona I harga beras medium naik 10,9 persen menjadi Rp 13.864 per kg. Di Zona II naik 11,44 persen menjadi Rp 14.599 per kg, sedangkan di Zona III kenaikannya lebih tajam yakni 23,67 persen ke posisi Rp 16.695 per kg.
Adapun harga beras premium di Zona I naik 3,76 persen menjadi Rp 15.460 per kg. Di Zona II naik 7,32 persen menjadi Rp 16.528 per kg dan di Zona III melonjak 14,68 persen hingga menyentuh Rp 18.120 per kg. Sementara harga beras SPHP justru mengalami penurunan di ketiga zona masing-masing sebesar 1,81 persen, 1,68 persen, dan 0,57 persen.
Kondisi ini menandakan tekanan terhadap harga beras tidak hanya dirasakan di pasar tradisional, tetapi juga merata di berbagai lapisan pasar nasional. Dengan naiknya harga secara bertahap selama beberapa bulan terakhir, masyarakat pun mulai menyusun ulang strategi belanja sehari-hari mereka.
Di tengah dinamika ini, peran pemerintah menjadi krusial untuk menjaga stabilitas harga beras yang merupakan salah satu kebutuhan pokok utama. Intervensi seperti operasi pasar atau subsidi harga menjadi langkah yang dinantikan agar tidak memberatkan rakyat kecil.
Stabilisasi harga pangan juga dibutuhkan agar inflasi tetap terkendali. Jika harga terus meningkat, risiko penurunan konsumsi domestik bisa terjadi, yang pada akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
Harga yang berada di atas HET bisa menurunkan daya beli masyarakat, terutama di wilayah-wilayah dengan ketergantungan tinggi terhadap beras sebagai makanan pokok. Situasi ini tidak hanya berdampak pada konsumen, tapi juga terhadap stabilitas usaha kecil menengah di sektor perdagangan pangan.
Jika tren ini tidak ditangani segera, maka potensi masalah sosial juga dapat muncul akibat ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan dasar. Oleh sebab itu, sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha sangat diperlukan untuk mencari solusi terbaik.
Pemerintah didorong untuk memperkuat sistem distribusi beras dan memastikan bahwa program subsidi dan bantuan sosial benar-benar menjangkau lapisan masyarakat yang paling terdampak. Langkah konkret diharapkan dapat segera dilakukan agar kestabilan harga kembali tercapai.
Situasi yang dihadapi para pedagang dan konsumen saat ini mencerminkan tantangan dalam pengelolaan pasokan pangan nasional. Kenaikan harga yang berkelanjutan tanpa solusi nyata akan memperburuk ketimpangan ekonomi di masyarakat.
kondisi melonjaknya harga beras menunjukkan perlunya upaya serius dan berkelanjutan dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Harga yang terkendali akan menjaga keseimbangan antara kepentingan produsen, pedagang, dan konsumen.
Kebijakan stabilisasi yang menyeluruh perlu segera diterapkan untuk mencegah dampak lebih luas. Pemerintah dapat mengoptimalkan cadangan beras nasional dan memperkuat operasi pasar dengan pendekatan yang merata dan tepat sasaran.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat mengenai pola konsumsi alternatif juga dapat menjadi solusi jangka panjang, agar ketergantungan pada satu jenis bahan pokok tidak terlalu tinggi. Ini bisa membuka ruang bagi konsumsi pangan lokal yang lebih variatif.
Sinergi antara semua pemangku kepentingan diperlukan agar masalah ini tidak berlarut-larut. Tidak hanya pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah, distributor, dan pelaku pasar harus bergerak cepat dan terkoordinasi.
Dengan komitmen dan langkah konkret, maka diharapkan harga beras dapat kembali normal dan daya beli masyarakat bisa pulih secara bertahap tanpa mengorbankan pelaku usaha kecil di sektor pangan. (*)