Jakarta, EKOIN.CO – Sejumlah pabrik pengolahan dan pemurnian nikel atau smelter milik investor asing, terutama dari China, dilaporkan menghentikan aktivitas operasionalnya sejak beberapa waktu terakhir. Fenomena ini terjadi menyusul anjloknya harga nikel global serta penurunan permintaan dari China, yang selama ini menjadi pasar utama nikel Indonesia.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Laporan terbaru menyebutkan bahwa 28 lini produksi dari beberapa smelter nikel di Indonesia telah berhenti beroperasi. Penutupan tersebut berasal dari empat pabrik smelter yang terpaksa menghentikan seluruh kegiatan produksinya karena tidak lagi mampu menanggung kerugian akibat harga nikel yang rendah.
Penurunan harga nikel dunia disebut sebagai faktor utama yang membuat sejumlah smelter gulung tikar. Harga nikel global mengalami tren pelemahan sejak awal 2024, dipengaruhi oleh melimpahnya pasokan dan menurunnya aktivitas industri di China.
Dampak Penutupan Smelter terhadap Industri Lokal
Akibat penutupan tersebut, ribuan pekerja yang bergantung pada sektor ini terancam kehilangan mata pencaharian. Hal ini turut memicu kekhawatiran di kalangan pemerintah daerah maupun pusat, mengingat industri nikel menjadi salah satu penyumbang besar devisa negara.
Menurut laporan yang dikutip dari CNBC Indonesia, kondisi ini menimbulkan efek domino terhadap berbagai sektor, termasuk jasa logistik, penyedia alat berat, dan sektor energi yang selama ini menopang operasional smelter.
Hingga akhir Juli 2025, data menunjukkan bahwa permintaan nikel dari China menurun drastis karena adanya perlambatan pembangunan infrastruktur di negara tersebut. Perlambatan ini menyebabkan kebutuhan bahan baku, termasuk nikel, ikut berkurang secara signifikan.
Smelter yang tutup sebagian besar berlokasi di Sulawesi dan Maluku, dua kawasan yang selama ini menjadi pusat pengolahan nikel nasional. Investor dari China diketahui mendominasi pembangunan dan pengoperasian pabrik-pabrik smelter tersebut.
Selain itu, beban biaya operasional yang tinggi semakin memperparah kondisi. Harga listrik, air, dan bahan bakar yang naik dalam beberapa bulan terakhir membuat margin keuntungan semakin tipis.
Respons Pemerintah dan Prospek Industri Nikel
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui juru bicara resminya menyatakan bahwa pihaknya sedang memantau situasi dan berupaya merumuskan kebijakan agar operasional smelter dapat kembali stabil.
“Kami sedang mengevaluasi insentif dan dukungan yang dapat diberikan kepada industri pengolahan nikel agar bisa bertahan di tengah tekanan harga global,” kata juru bicara ESDM sebagaimana dikutip dari media nasional.
Di sisi lain, pemerintah juga mendorong diversifikasi pasar ekspor nikel untuk mengurangi ketergantungan terhadap China. Beberapa negara di Asia dan Eropa disebut menjadi target potensial dalam beberapa bulan ke depan.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyampaikan bahwa situasi saat ini merupakan tantangan besar bagi keberlanjutan industri. Mereka mendesak pemerintah memberikan stimulus agar industri tidak mengalami penurunan lebih dalam.
Menurut pengamat industri pertambangan dari Universitas Gadjah Mada, kondisi ini berpotensi memperlambat program hilirisasi yang tengah gencar dilakukan pemerintah. Hilirisasi membutuhkan dukungan dari smelter aktif agar rantai nilai nikel bisa berjalan optimal.
Lebih jauh, jika penutupan smelter terus berlanjut, target ekspor produk turunan nikel bisa meleset. Pemerintah sebelumnya menargetkan peningkatan ekspor produk olahan nikel untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Meskipun demikian, beberapa smelter masih bertahan dengan kapasitas produksi yang dikurangi. Mereka memilih langkah efisiensi sembari menunggu pemulihan harga nikel global.
Pemerintah menyatakan akan melakukan dialog dengan para investor untuk mencari solusi bersama. Langkah ini diharapkan bisa menjaga iklim investasi tetap kondusif di sektor pertambangan.
Ke depan, pemerintah berencana menetapkan harga patokan untuk bijih nikel agar stabilitas harga di tingkat hilir dapat terjaga. Kebijakan ini sedang dibahas lintas kementerian.
Sementara itu, sejumlah pekerja smelter mengaku khawatir terhadap masa depan mereka. Mereka berharap pemerintah dan perusahaan segera memberikan kepastian terkait nasib pekerjaan mereka.
Kondisi pasar nikel global saat ini diperkirakan masih fluktuatif hingga akhir tahun. Beberapa analis memperkirakan pemulihan harga baru terjadi awal 2026.
Secara umum, tantangan industri nikel saat ini sangat kompleks, baik dari sisi eksternal seperti harga global, maupun dari sisi internal seperti efisiensi dan regulasi.
Penutupan smelter juga menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam menyusun strategi hilirisasi jangka panjang. Keberlanjutan industri harus dipastikan agar manfaat ekonomi bisa dirasakan lebih luas.
Untuk saat ini, upaya kolaboratif antara pemerintah, investor, dan pekerja menjadi kunci agar industri nikel Indonesia tidak mengalami stagnasi berkepanjangan.
dari kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada satu pasar ekspor membuat industri sangat rentan terhadap fluktuasi global. Diversifikasi pasar menjadi strategi penting ke depan.
Industri nikel juga perlu meningkatkan efisiensi dan inovasi agar bisa bertahan dalam tekanan ekonomi. Penggunaan teknologi modern menjadi bagian dari solusi jangka panjang.
Pemerintah disarankan menetapkan kebijakan harga bijih nikel domestik yang stabil agar industri hilir tidak terguncang oleh harga global yang tidak menentu.
Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia di sektor pengolahan nikel akan memperkuat daya saing industri dalam negeri secara keseluruhan.
Perlu pula adanya dukungan investasi dari dalam negeri agar ketergantungan pada investor asing dapat dikurangi, sehingga industri bisa lebih tangguh dalam menghadapi dinamika global. (*)