Tel Aviv EKOIN.CO – Dua mantan anggota Unit 8200 militer Israel, Dean Leitersdorf dan Moshe Shalev, meluncurkan teknologi kecerdasan buatan (AI) terbaru bernama Mirage. Teknologi ini dipublikasikan melalui perusahaan yang mereka dirikan, Decart, dan diklaim mampu memodifikasi video real-time menjadi konten berkualitas tinggi. Namun, menurut laporan Ynet yang dikutip oleh Al Mayadeen, teknologi tersebut diduga memiliki potensi untuk disalahgunakan dalam operasi intelijen rahasia.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Teknologi Mirage pertama kali diperkenalkan melalui sebuah demo bertajuk Oasis pada tahun 2024. Dengan teknologi ini, video bisa diubah secara menyeluruh namun tetap tampak alami, sehingga informasi palsu pun sulit terdeteksi oleh publik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait kemungkinan penggunaan Mirage untuk keperluan spionase atau propaganda oleh pihak tertentu, terutama Israel.
Decart dan investasi besar di baliknya
Sejak awal kemunculannya, Decart langsung menarik perhatian investor global. Dalam waktu dua bulan pertama, perusahaan ini berhasil mengumpulkan dana investasi sebesar 53 juta dolar Amerika Serikat. Selain itu, Decart juga mengamankan dana jaminan senilai 500 juta dolar AS untuk mendukung valuasi perusahaannya di masa depan.
Salah satu investor penting adalah Zeev Ventures, perusahaan layanan rekaman audio-video milik Oren Zeev, seorang warga Amerika-Israel. Kehadiran investor besar ini memperkuat posisi Decart sebagai pemain utama di bidang teknologi AI global. Perusahaan ini pun bertekad membangun laboratorium AI tercanggih dengan dukungan tenaga ahli teknologi terkemuka dari Israel.
Leitersdorf, salah satu pendiri Decart, menyatakan ambisinya untuk menjadikan Mirage sebagai produk AI unggulan dengan target satu miliar pengguna global. Perusahaan pun memposisikan diri sebagai tulang punggung pengembangan AI masa depan, dengan fokus utama pada kualitas dan efisiensi.
Keterlibatan Technion dan dampak terhadap Palestina
Technion, institusi teknologi terkemuka Israel, turut terlibat dalam pengembangan AI Mirage. Mereka menjalin kemitraan penelitian dengan Decart untuk mempercepat inovasi dan pemanfaatan teknologi baru ini. Namun, sejarah Technion memunculkan kontroversi, terutama terkait perannya dalam proyek-proyek militer Israel.
Beberapa fakultas di Technion diketahui terlibat dalam pengembangan teknologi militer, seperti pengendalian jarak jauh buldoser lapis baja Caterpillar D9. Teknologi ini digunakan oleh militer Israel untuk menghancurkan rumah-rumah warga Palestina, yang menjadi bagian dari kebijakan kontroversial di wilayah pendudukan.
Technion juga memiliki hubungan dengan produsen senjata seperti Elbit Systems dan perusahaan keamanan serta intelijen Israel lainnya. Keterlibatan ini memunculkan kekhawatiran bahwa pengembangan AI seperti Mirage dapat memperkuat dominasi militer dan intelijen Israel di wilayah konflik.
Selain itu, pemanfaatan teknologi video AI yang mampu menghasilkan informasi palsu dapat memperburuk situasi keamanan siber global. Jika digunakan untuk manipulasi informasi, teknologi Mirage dapat menciptakan narasi palsu yang sulit dilacak kebenarannya oleh publik internasional.
Mirage sendiri memiliki kemampuan merender ulang video dalam kualitas tinggi, memungkinkan manipulasi konten visual tanpa deteksi. Potensi ini bisa dimanfaatkan oleh pihak militer atau intelijen untuk menyamarkan operasi atau menciptakan propaganda dalam skala luas.
Potensi penggunaan untuk propaganda global
Kemampuan AI Mirage juga membuka jalan bagi penyebaran disinformasi secara global. Teknologi ini memungkinkan produksi video yang tampak realistis namun berisi pesan palsu atau direkayasa. Hal ini dinilai berisiko tinggi terhadap keamanan informasi dan kepercayaan publik.
Dalam konteks geopolitik, teknologi seperti Mirage bisa digunakan untuk mendukung kepentingan negara tertentu, termasuk Israel, dalam operasi spionase atau pengaruh politik. Hal ini menjadi perhatian serius bagi komunitas internasional, terutama negara-negara yang menjadi target pengaruh atau intelijen.
Keberadaan investor besar dan jaringan mitra teknologi menjadikan Decart sebagai perusahaan strategis dalam ekosistem AI global. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penggunaan teknologi Mirage menjadi penting untuk mencegah penyalahgunaan yang berdampak luas.
Laporan Al Mayadeen menekankan bahwa penggunaan teknologi AI untuk manipulasi video tidak hanya berisiko pada tingkat individu, tetapi juga terhadap keamanan nasional negara-negara lain. Karena itu, pemanfaatan Mirage perlu mendapatkan pengawasan ketat dari lembaga internasional.
peluncuran teknologi AI Mirage oleh Decart menghadirkan tantangan baru dalam dunia digital. Meskipun teknologi ini membawa inovasi, dampak terhadap privasi, keamanan, dan informasi publik tetap menjadi perhatian utama.
Kemungkinan penyalahgunaan teknologi AI untuk menciptakan disinformasi menjadi sorotan penting. Pengawasan dari lembaga internasional dibutuhkan agar penggunaan AI tetap dalam koridor etika dan hukum internasional.
Selain itu, keterlibatan lembaga seperti Technion dalam pengembangan AI militer memerlukan transparansi dan evaluasi mendalam. Potensi ancaman terhadap masyarakat sipil harus diantisipasi melalui regulasi teknologi yang ketat.
Perusahaan seperti Decart harus menjunjung tinggi tanggung jawab sosial dalam penggunaan teknologi canggih. Pendekatan berbasis etika dan kepentingan publik perlu diutamakan di atas ambisi bisnis semata.
Langkah selanjutnya adalah membangun kerangka kerja internasional yang mengatur pemanfaatan AI untuk mencegah penyebaran informasi palsu. Kolaborasi antarnegara sangat diperlukan agar teknologi seperti Mirage tidak menjadi alat penindasan baru di era digital. (*)