JAKARTA EKOIN.CO – Sejumlah tokoh nasional tampak menunjukkan dukungan nyata kepada Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dalam sidang pembacaan pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 9 Juli 2025. Dukungan ini dihadirkan langsung dalam bentuk kehadiran di ruang sidang oleh tokoh-tokoh publik dari berbagai latar belakang, termasuk mantan calon presiden Anies Baswedan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam sidang yang digelar untuk mendengarkan pembelaan dari terdakwa kasus korupsi impor gula tersebut, Anies Baswedan terlihat hadir bersama sejumlah tokoh bangsa lainnya. Mereka antara lain mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, serta dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Saut Situmorang dan Bambang Widjojanto.
Tokoh-tokoh lain yang hadir termasuk mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, politikus senior PPP Habil Marati, serta mantan Komisaris Ancol Geisz Chalifah. Hadir pula pakar hukum tata negara Refly Harun dan pakar hukum pidana UI, Dr. Gandjar Laksamana Bonaprapta.
Dari kalangan aktivis masyarakat sipil, Ketua Umum Gerakan Rakyat Sahrin Hamid dan Laode Basir juga tampak berada di antara hadirin. Kehadiran mereka menurut Anies bukan karena arahan atau instruksi dari siapa pun, melainkan murni karena panggilan nurani.
“Di ruang sidang pembacaan pleidoi Tom itu, kita menyaksikan kehadiran yang tulus dari tokoh-tokoh bangsa dengan beragam latar berdiri bersama, tanpa dikomando, tanpa pamrih, mereka hadir karena panggilan nurani,” ujar Anies melalui akun Instagram-nya, dikutip Sabtu, 12 Juli 2025.
Anies menyatakan bahwa saat keadilan dipertaruhkan, keberpihakan terhadap kebenaran menjadi tanggung jawab moral semua pihak. Ia pun menyampaikan penghormatan dan apresiasi kepada para tokoh yang datang langsung mendukung.
Dukungan Moral yang Konsisten
Anies juga menyoroti keberadaan sejumlah warga yang secara konsisten hadir di setiap persidangan Tom Lembong. Menurutnya, mereka datang tanpa sorotan kamera, tidak mengangkat suara, tetapi menyampaikan pesan kuat melalui kehadiran.
Ia menggambarkan bahwa dukungan tersebut tidak hanya bersifat simbolis, tetapi mencerminkan harapan rakyat yang tetap mempercayai jalannya hukum dan peradilan yang adil. Anies mengungkapkan bahwa ruang sidang saat ini tengah menjadi ujian bagi masa depan keadilan di Indonesia.
“Kita doakan Tom, dan kita doakan negeri ini. Agar ruang sidang tetap menjadi tempat kebenaran ditegakkan. Di ruang sidang ini, masa depan keadilan kita sedang diuji,” ujar mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Tom Lembong sebelumnya ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus dugaan korupsi terkait importasi gula. Ia didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Jaksa penuntut umum menuntut Tom dengan pidana penjara selama tujuh tahun serta denda sebesar Rp750 juta subsider enam bulan kurungan. Dalam tuntutan tersebut, jaksa menyatakan bahwa Tom tidak menunjukkan penyesalan atas tindakannya.
Kerugian Negara dan Tanggapan Tom
Menurut penjelasan jaksa, Tom Lembong memang tidak memperoleh keuntungan pribadi dari tindakan yang dilakukan. Namun, ia dinilai telah memberikan penugasan dan persetujuan impor kepada pihak-pihak tertentu yang akhirnya menguntungkan korporasi.
Dalam replik yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat, 11 Juli 2025, jaksa menyebutkan bahwa perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp578,1 miliar. Fakta tersebut menjadi dasar tuntutan berat terhadap Tom.
Tanggapan keras disampaikan Tom Lembong di hadapan majelis hakim. Ia mempertanyakan sikap jaksa yang dinilainya tidak mempertimbangkan fakta-fakta persidangan. Tom bahkan mengkritik Kejaksaan Agung secara terbuka dalam sidang tersebut.
“Apakah ini dunia khayalan, dunia imajinasi, atau apakah ini Kejaksaan Agung Republik Indonesia?” ucap Tom Lembong dengan nada kecewa.
Ia menegaskan bahwa tuntutan jaksa sama sekali tidak mencerminkan isi persidangan yang sebenarnya. Menurutnya, jaksa telah mengabaikan banyak bukti dan keterangan saksi yang menyatakan dirinya tidak terlibat langsung dalam pelanggaran hukum.
“Tapi, satu pun saya tidak temukan penyesuaian dalam surat tuntutan yang mencerminkan fakta yang diungkap dalam persidangan. Jadi, saya agak heran saja apakah ini memang pola kerja daripada Kejaksaan Agung?” tambahnya.
Sidang lanjutan kasus ini dijadwalkan akan digelar dalam waktu dekat dengan agenda pembacaan putusan oleh majelis hakim. Perhatian publik masih tertuju pada kelanjutan kasus ini, terutama karena menyangkut nama besar serta dukungan luas yang ditunjukkan oleh masyarakat.
Kehadiran tokoh-tokoh nasional dan warga di ruang sidang secara berkelanjutan menjadi sorotan penting dalam dinamika peradilan kasus ini. Sorotan itu menguatkan kesan bahwa proses peradilan terhadap Tom Lembong tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga menyentuh aspek moral dan sosial.
Sidang ini pun menjadi panggung perlawanan simbolik terhadap proses hukum yang dinilai tidak sepenuhnya mempertimbangkan aspek keadilan. Banyak pihak menilai bahwa sidang Tom Lembong telah menjadi cermin bagi proses hukum di Indonesia secara lebih luas.
Dengan putusan yang akan segera dibacakan, nasib hukum Tom Lembong berada di tangan majelis hakim. Namun, pesan-pesan dari ruang sidang, baik yang diucapkan maupun yang diam, telah memperkuat makna dari setiap proses peradilan.
Anies dan para tokoh lainnya tak hanya menunjukkan dukungan individual, melainkan membentuk solidaritas moral terhadap seseorang yang mereka anggap layak dibela. Di tengah ketidakpastian, harapan terhadap keadilan tetap menyala di ruang sidang itu.:
Kasus yang melibatkan Tom Lembong menunjukkan bagaimana hukum dan keadilan menjadi isu sentral dalam kehidupan demokrasi. Dengan banyaknya tokoh bangsa yang hadir di ruang sidang, masyarakat diingatkan bahwa kepedulian terhadap keadilan adalah tugas bersama. Kehadiran mereka bukan sekadar bentuk simpati, melainkan sinyal kuat atas kepedulian terhadap transparansi hukum.
Respons publik atas tuntutan yang tidak sesuai fakta persidangan juga mencerminkan harapan besar terhadap reformasi hukum. Sikap kritis Tom di persidangan memperkuat pesan bahwa proses hukum harus berdasarkan bukti, bukan asumsi. Di tengah proses yang berjalan, masyarakat menanti keputusan yang adil dari majelis hakim.
Dukungan konsisten dari warga juga memperlihatkan bahwa kepercayaan terhadap peradilan masih ada, walau diuji. Mereka menjadi simbol bahwa partisipasi publik dalam proses hukum penting bagi demokrasi. Dalam kasus ini, kehadiran mereka menjadi semacam pengawas moral dari proses hukum yang sedang berlangsung.
Dengan waktu pembacaan putusan semakin dekat, kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya integritas dalam setiap tahap hukum. Bagaimana hakim memutuskan akan menjadi tolok ukur komitmen terhadap kebenaran dan keadilan. Harapan publik kini tertuju pada keputusan akhir yang memihak pada fakta dan nilai keadilan.
(*)