Washington DC EKOIN.CO – Amerika Serikat kembali diguncang gelombang protes besar-besaran yang tersebar di lebih dari 1.600 titik pada Kamis, 17 Juli 2025. Aksi tersebut merupakan respons terhadap kebijakan kontroversial Presiden Donald Trump dalam masa jabatan keduanya. Ribuan warga dari berbagai negara bagian turun ke jalan dalam unjuk rasa bertajuk “Good Trouble Lives On”, menentang berbagai langkah pemerintahan yang dianggap mengancam nilai-nilai demokrasi.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Demonstrasi ini tidak hanya menyoroti isu imigrasi dan pemotongan bantuan sosial, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap apa yang disebut sebagai “konsentrasi kekuasaan” di tangan seorang presiden. Aksi serentak tersebut menjadi salah satu demonstrasi nasional terbesar sepanjang tahun ini, dengan partisipasi aktif dari komunitas sipil, aktivis, mahasiswa, dan pemuka agama.
Gelombang Aksi Menyebar ke Ribuan Lokasi
Dari New York hingga Los Angeles, warga menyuarakan keprihatinan mereka melalui orasi, poster, hingga pawai diam. Banyak dari mereka membawa spanduk bertuliskan “No Kings”, sebuah sindiran terhadap gaya kepemimpinan Trump yang dianggap otoriter. Aksi ini mengingatkan kembali pada demonstrasi serupa di awal masa jabatan pertamanya, yang juga dipicu oleh isu rasisme dan kebijakan penindasan terhadap kelompok minoritas.
Di Chicago, suasana protes berubah menjadi hening saat ratusan orang menyalakan lilin mengenang John Lewis, tokoh hak sipil legendaris yang wafat pada 2020. Lewis dikenal luas sebagai pemimpin pawai “Bloody Sunday” di Selma, Alabama, yang memperjuangkan hak pilih bagi warga kulit hitam. Penyebutan namanya dalam aksi Kamis malam tersebut dianggap sebagai simbol perlawanan damai terhadap kekuasaan yang menindas.
Di California Selatan, ketegangan sempat meningkat awal bulan ini saat petugas federal melakukan penangkapan besar-besaran di dua lokasi perkebunan ganja. Insiden itu dianggap sebagai bentuk represif negara terhadap petani kecil dan komunitas kulit berwarna yang menggantungkan hidup pada industri legal ganja.
Protes Dipicu Kekhawatiran terhadap Arah Demokrasi
Sebagian besar massa aksi menyoroti isu penyalahgunaan kekuasaan yang semakin mengemuka sejak Trump menjabat kembali. Menurut para pengunjuk rasa, kebijakan-kebijakan baru yang memotong bantuan sosial, memperluas pengawasan negara, dan mengintimidasi media independen merupakan indikasi kembalinya praktik-praktik otoriter dalam sistem demokrasi.
“Ini bukan hanya tentang satu keputusan atau satu kebijakan,” kata seorang aktivis dari New Jersey seperti dikutip dari Democracy Now. “Ini tentang bagaimana demokrasi bisa perlahan-lahan mati jika kita membiarkannya.”
Di Atlanta, ratusan pelajar menggelar aksi diam di depan gedung DPR negara bagian, menutup mulut mereka dengan lakban hitam sebagai simbol bisunya suara rakyat di bawah kekuasaan represif. Di Texas, kelompok pendeta dari berbagai denominasi agama berkumpul dalam doa bersama memohon agar Amerika tidak kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.
Aksi “Good Trouble Lives On” juga menjadi pengingat bahwa perlawanan sipil terhadap Trump bukan fenomena baru. Sejak 2017, berbagai elemen masyarakat secara rutin menggelar unjuk rasa menolak retorika rasis dan kebijakan diskriminatif yang diduga berasal dari Gedung Putih.
Seperti disampaikan oleh seorang jurnalis senior dari The Guardian, “Gerakan ini tidak hanya menyasar Trump sebagai individu, tetapi juga struktur kekuasaan yang memungkinkan kebijakan-kebijakan ekstrem diterapkan tanpa pengawasan publik yang kuat.”
Selain aksi massa, media sosial turut menjadi arena perlawanan. Tagar #NoKings dan #DefendDemocracy menduduki peringkat tren teratas di Twitter AS. Banyak netizen membagikan foto-foto unjuk rasa, kutipan dari konstitusi, dan ajakan untuk ikut serta dalam pemilu lokal mendatang sebagai bentuk perlawanannya.
Kepolisian di beberapa kota besar menyebutkan bahwa sejauh ini aksi berlangsung damai dan tidak terjadi bentrokan berarti. Namun, aparat tetap disiagakan untuk mencegah provokasi yang dapat memicu kerusuhan. Di Portland, otoritas kota bahkan menutup beberapa jalan utama guna memastikan keamanan peserta aksi.
Protes ini juga mengangkat isu ekonomi. Dalam beberapa orasi, demonstran menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemangkasan dana bantuan pangan dan jaminan sosial yang berdampak langsung pada jutaan warga miskin dan penyandang disabilitas.
Sejumlah organisasi HAM menyampaikan pernyataan resmi mendukung aksi tersebut. Menurut Human Rights Watch, kebijakan terbaru pemerintah Trump menunjukkan tren menurunnya perlindungan terhadap kelompok rentan seperti imigran, warga kulit hitam, dan LGBTQ+.
Salah satu tokoh gereja di Philadelphia mengatakan bahwa gereja-gereja akan terus menjadi tempat aman bagi mereka yang terpinggirkan. “Kami tidak akan tinggal diam ketika orang-orang kehilangan hak dasar mereka,” ujarnya dalam konferensi pers.
Sementara itu, analis politik menyebut bahwa meningkatnya gelombang protes ini bisa memengaruhi hasil pemilu sela tahun depan. Beberapa kandidat oposisi mulai menyoroti isu ini dalam kampanye mereka untuk meraih dukungan rakyat.
Dalam catatan akademik dari Harvard Kennedy School, aksi sipil seperti ini dinilai penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di negara demokratis. Partisipasi publik yang aktif menjadi fondasi utama dalam menghadapi potensi penyimpangan kekuasaan.
Sejumlah aktivis hak sipil yang dulu mendampingi John Lewis mengungkapkan bahwa aksi kali ini adalah kelanjutan dari perjuangan panjang. “Good Trouble tidak pernah mati, ia hidup dalam setiap orang yang berdiri hari ini,” ucap salah satu veteran demonstrasi 1960-an.
Aksi unjuk rasa ini pun diperkirakan masih akan berlangsung dalam beberapa pekan mendatang, dengan titik kumpul baru di kota-kota seperti Seattle, Boston, dan Denver. Para penyelenggara juga menggalang dana untuk logistik dan keamanan melalui platform crowdfunding.
Dalam beberapa wawancara, para demonstran menyatakan bahwa mereka tidak hanya menolak kebijakan tertentu, tetapi ingin menyampaikan pesan bahwa kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan rakyat. Mereka menyerukan kepada seluruh warga untuk terus mengawasi pemerintahan dan tidak berhenti menyuarakan kebenaran.
dari gelombang protes ini menunjukkan bahwa demokrasi tetap hidup di Amerika selama warga negaranya bersedia berdiri dan bersuara. Meskipun tidak semua kebijakan bisa segera diubah, namun kesadaran publik yang meningkat adalah langkah awal menuju perubahan.
Kesatuan dalam keberagaman menjadi kekuatan utama dalam protes ini. Dengan melibatkan berbagai latar belakang, dari etnis, agama, hingga status sosial, aksi ini memperlihatkan bahwa semangat melawan ketidakadilan masih menyala.
Kebijakan yang merugikan kelompok rentan akan selalu mendapatkan perlawanan jika rakyat masih memiliki ruang berekspresi. Demonstrasi ini menjadi bentuk nyata bahwa suara rakyat tidak bisa diabaikan begitu saja.
Meski tantangan di depan masih banyak, tetapi komitmen warga terhadap nilai-nilai demokrasi memberi harapan bahwa AS tidak akan terjerumus lebih jauh dalam otoritarianisme. Terbukanya diskusi publik menjadi perisai terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk tetap menjaga kedamaian dalam menyampaikan pendapat. Demonstrasi damai perlu dikawal agar tidak disusupi oleh provokator yang justru bisa merusak pesan utama.
Media juga memiliki peran strategis dalam menyoroti isu-isu seperti ini dengan objektif. Liputan yang jujur dan menyeluruh dapat membuka mata masyarakat luas tentang ancaman yang tengah dihadapi.
Pendidikan demokrasi sejak usia dini sangat dibutuhkan agar generasi berikutnya tidak apatis terhadap dinamika politik. Pemahaman tentang hak-hak sipil dan mekanisme pengawasan kekuasaan wajib diperluas.
Para pemimpin lokal dan nasional harus lebih responsif terhadap aspirasi rakyat, bukan sekadar mempertahankan jabatan. Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan harus ditingkatkan.
Akhirnya, masyarakat sipil di Amerika perlu terus membangun solidaritas dan jejaring yang kuat untuk mempertahankan kebebasan berpendapat. Ketika kekuasaan diuji, rakyatlah yang harus berdiri sebagai penjaga demokrasi. (*)