Jakarta Selatan, EKOIN.CO – Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, meminta aparat penegak hukum segera menindak tegas praktik pengoplosan beras yang dikemas dan dijual seolah-olah sebagai produk premium. Hal tersebut ia sampaikan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, pada Minggu, 13 Juli 2025.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut Cucun, aksi pemalsuan beras ini bukan saja melanggar hukum, tetapi juga sangat merugikan masyarakat secara luas. Ia berharap tindakan serupa seperti dalam kasus Pertamina Patra Niaga juga dilakukan terhadap praktik serupa dalam sektor pangan.
Politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menyampaikan bahwa modus pengoplosan tidak hanya terjadi dalam sektor energi seperti Pertalite ke Pertamax, tapi kini juga terjadi dalam kebutuhan pokok seperti beras.
“Kita berharap kalau misalkan laporan-laporan di bawah sudah menunjukkan ini merugikan orang banyak, biarkan nanti aparat penegak hukum yang bertindak,” ujar Cucun kepada wartawan.
Ia juga menegaskan, DPR akan mendorong Komisi III untuk melakukan pengawasan lebih ketat jika praktik ini ditemukan meluas di berbagai daerah. Cucun mengatakan langkah ini diperlukan demi melindungi konsumen.
Selain itu, ia mengingatkan pentingnya peran Satuan Tugas Pangan agar lebih aktif dalam memantau dan menertibkan perdagangan beras di pasaran. Satgas diharapkan tidak hanya reaktif, tetapi proaktif mendeteksi dan mencegah penipuan publik.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menyampaikan bahwa kasus beras oplosan telah ditemukan di berbagai supermarket dan minimarket. Menurutnya, produk tersebut dikemas dengan label premium, tetapi kualitas dan isinya jauh dari standar.
Dalam penyelidikan bersama antara Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan, ditemukan 212 merek beras yang tidak memenuhi kriteria mutu nasional. Temuan itu mencakup label, berat kemasan, dan isi beras yang tidak sesuai klaim.
Mentan menjelaskan ada produk yang tertulis “5 kilogram” di kemasan, padahal berat sebenarnya hanya sekitar 4,5 kg. Selain itu, banyak yang mengklaim sebagai beras premium, namun sebenarnya hanya beras kualitas biasa.
“Contoh, ada volume yang mengatakan 5 kilogram padahal 4,5 kg. Kemudian ada yang 86 persen mengatakan bahwa ini premium, padahal itu adalah beras biasa,” jelas Amran seperti dikutip dari Kompas.com, Sabtu, 12 Juli 2025.
Ia menambahkan bahwa akibat praktik tersebut, masyarakat mengalami kerugian besar. Selisih harga Rp2.000–Rp3.000 per kilogram menyebabkan total kerugian mencapai Rp99 triliun setiap tahunnya.
Lebih lanjut, Mentan menjabarkan bahwa jika praktik ini berlangsung selama 5 hingga 10 tahun, maka kerugian bisa mencapai antara Rp500 triliun hingga Rp1.000 triliun. Angka ini mengindikasikan adanya kejahatan sistematis yang perlu diusut tuntas.
Menteri Amran juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap proses distribusi beras dari gudang hingga rak toko ritel. Ia mendesak agar seluruh pemangku kebijakan dan aparat penegak hukum bekerja sama dalam menyelesaikan persoalan ini.
Menurut Amran, langkah preventif dan represif harus berjalan beriringan agar publik tidak menjadi korban manipulasi. Ia juga meminta pelabelan produk diawasi lebih ketat, termasuk melakukan uji kualitas secara berkala di lapangan.
Di sisi lain, masyarakat juga diimbau agar lebih jeli dalam memilih produk beras. Pemerintah akan berupaya menyediakan panduan serta sistem pelaporan apabila ditemukan ketidaksesuaian antara label dan isi produk.
Amran memastikan, evaluasi terhadap produsen dan distributor beras akan dilakukan. Pemerintah juga mempertimbangkan pemberian sanksi administratif maupun pidana kepada pihak yang terbukti melakukan pemalsuan.
Pihak Kementan telah berkoordinasi dengan Satgas Pangan untuk menindaklanjuti temuan tersebut. Mereka kini tengah mendata dan menyelidiki produsen serta jalur distribusi dari merek-merek yang tidak sesuai standar.
Pemerintah menyatakan akan merilis daftar merek yang terbukti melakukan pelanggaran. Langkah ini diambil agar konsumen dapat menghindari produk-produk yang berpotensi merugikan secara ekonomi dan kesehatan.
Cucun dan Amran sepakat bahwa perlindungan konsumen merupakan prioritas dalam menjaga kestabilan pangan nasional. Pemerintah diharapkan lebih terbuka dalam menyampaikan temuan kepada publik.
Untuk mempercepat penindakan, pemerintah juga diminta bekerja sama dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan lembaga pengawasan independen lainnya. Dengan begitu, tindakan hukum bisa segera diberlakukan secara tegas.
Pengawasan terhadap industri pangan, khususnya beras, dinilai harus ditingkatkan dengan sistem pengawasan berbasis data. Teknologi pelacakan distribusi juga perlu diterapkan agar proses audit bisa dilakukan lebih akurat.
Kasus ini menjadi peringatan penting bahwa sektor pangan harus bebas dari praktik curang. Pemerintah, DPR, dan lembaga pengawasan lainnya perlu menyusun regulasi tambahan yang memastikan transparansi dan keadilan di pasar.
praktik pengoplosan beras yang dikemas secara menipu terbukti telah merugikan konsumen secara masif dan berlangsung lama. Temuan dari Kementan dan Satgas Pangan mengungkap adanya pelanggaran oleh ratusan merek beras yang beredar secara luas di pasar ritel.
Dengan kerugian yang ditaksir mencapai hampir Rp100 triliun per tahun, pemerintah didesak untuk bertindak cepat dan tegas. Penegakan hukum yang tidak pandang bulu diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku usaha nakal di sektor pangan.
Komitmen dari DPR, khususnya Komisi III, dan Kementerian Pertanian memberikan sinyal kuat bahwa kasus ini tidak akan dibiarkan berlarut-larut. Koordinasi antarlembaga mutlak diperlukan agar masalah ini terselesaikan dari hulu ke hilir.
Peran aktif Satgas Pangan menjadi sangat penting dalam memutus mata rantai distribusi beras oplosan. Publik juga memerlukan informasi yang transparan agar dapat membuat pilihan produk yang aman dan sesuai standar.
pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan distribusi dan pelabelan pangan, serta memperluas jangkauan Satgas Pangan hingga ke daerah-daerah. Penegakan hukum harus dilakukan terhadap semua pelaku tanpa pengecualian, baik produsen maupun distributor.
DPR dan pemerintah juga bisa mendorong pengesahan regulasi yang memuat sanksi lebih tegas bagi pelanggaran standar mutu pangan. Selain itu, edukasi publik terkait hak konsumen dan cara mengenali beras palsu perlu ditingkatkan.
Teknologi pengawasan berbasis digital seperti barcode pelacakan produk atau sistem QR code harus mulai diterapkan secara nasional. Sistem ini dapat meningkatkan transparansi dan memudahkan audit kualitas produk di pasaran.
Sinergi antara Kementan, Satgas Pangan, BPKN, dan Kepolisian perlu diperkuat agar penindakan tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga preventif. Laporan masyarakat perlu ditanggapi dengan cepat dan ditindaklanjuti secara profesional.
Kampanye edukasi publik harus gencar dilakukan melalui media, sekolah, hingga lembaga masyarakat agar kesadaran kolektif terhadap pentingnya kualitas pangan semakin meningkat. Tanpa partisipasi semua pihak, kasus serupa akan terus terulang.(*)