Yerusalem,EKOIN.CO – Ketua partai oposisi Israel, Benny Gantz, pada Jumat (1/8/2025), mendesak pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu agar segera menyepakati pembebasan para tahanan Israel di Gaza, meskipun harus membayar harga yang sangat mahal. Seruan ini disampaikannya dalam sebuah pernyataan terbuka melalui platform X, di tengah meningkatnya tekanan publik dan demonstrasi keluarga tahanan di Yerusalem Barat.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut Gantz, semua tahanan Israel harus dipulangkan sebagai bagian dari kesepakatan menyeluruh, yang akan berdampak luas terhadap keamanan dan stabilitas politik Israel. Ia menyatakan bahwa kesepakatan ini akan bersifat menyakitkan, namun sangat diperlukan demi menyelamatkan nyawa para tahanan. Ia menekankan bahwa Hamas tidak boleh terus memiliki ruang tawar-menawar terkait masa depan kawasan.
Melalui tulisannya di platform media sosial tersebut, Gantz menjelaskan bahwa opsi pembebasan ini adalah satu-satunya jalan yang dapat menjamin keselamatan para tahanan, sekaligus mendukung kepentingan strategis negara. Ia menambahkan bahwa kesepakatan ini akan menunda upaya militer untuk menumpas Hamas, tetapi waktu terus berpihak kepada Hamas, dan hal itu justru merugikan para tahanan serta kepentingan Israel secara umum.
Demonstrasi massal keluarga tahanan terjadi pada Kamis (2/8/2025) di depan kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Yerusalem Barat. Para demonstran menyuarakan kemarahan atas kondisi para tahanan, serta menuntut diakhirinya perang di Gaza yang telah menyebabkan penderitaan berkepanjangan, termasuk kelaparan dan kematian warga sipil. Aksi ini sempat berujung bentrok dengan polisi Israel yang berjaga di lokasi.
Tekanan Publik Meningkat, Hamas Ajukan Tawaran
Kementerian Pertahanan Israel memperkirakan terdapat sekitar 50 tahanan Israel di wilayah Gaza, dengan hanya 20 orang yang dipastikan masih hidup. Sementara itu, data dari organisasi-organisasi hak asasi manusia menunjukkan bahwa lebih dari 10.400 warga Palestina kini ditahan di berbagai penjara Israel. Dari jumlah itu, sekitar 5.150 orang ditangkap sejak pecahnya perang di Gaza tahun lalu.
Lebih jauh, organisasi HAM mencatat di antara para tahanan Palestina terdapat 85 wanita, 320 anak-anak, dan 3.376 orang dengan status tahanan administratif. Banyak di antara mereka mengalami kondisi kesehatan yang serius akibat penyiksaan dan minimnya akses layanan medis selama penahanan.
Dalam beberapa hari terakhir, Israel diketahui menarik diri dari perundingan tidak langsung dengan Hamas yang berlangsung di Qatar. Langkah ini diambil menyusul kebuntuan akibat sikap keras Israel yang menolak penarikan pasukan dari Gaza dan tidak bersedia menyetujui syarat-syarat pembebasan tahanan Palestina serta mekanisme distribusi bantuan kemanusiaan.
Hamas sendiri telah menyatakan kesiapannya untuk membebaskan seluruh tahanan Israel secara bersamaan. Namun, mereka menuntut syarat utama berupa penghentian perang, penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, serta pembebasan para tahanan Palestina. Hingga kini, Israel belum menunjukkan kesediaan menerima syarat-syarat tersebut.
Netanyahu yang tengah menghadapi tekanan hukum di Mahkamah Internasional atas dugaan kejahatan perang, terus menolak usulan pelucutan senjata dari kelompok perlawanan Palestina. Ia juga bersikeras agar Gaza tetap berada di bawah kendali militer Israel, termasuk melakukan pendudukan ulang di sejumlah wilayah strategis.
Kebuntuan Diplomatik dan Krisis Kemanusiaan
Benny Gantz, yang juga mantan Menteri Pertahanan Israel, menegaskan bahwa kelambanan pemerintah hanya akan memperparah penderitaan para tahanan dan memperbesar risiko keamanan di masa mendatang. Ia mendesak kabinet Netanyahu agar mempertimbangkan opsi kemanusiaan demi menyelamatkan nyawa rakyat Israel.
“Selama satu tahun terakhir saya telah berulang kali menyampaikan bahwa waktu tidak berpihak pada kita. Setiap hari yang berlalu adalah peluang yang hilang,” tulis Gantz dalam pernyataan publiknya.
Menurut laporan Al Jazeera, aksi demonstrasi keluarga tahanan di Yerusalem Barat menjadi titik balik tekanan publik terhadap kebijakan perang Israel di Gaza. Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap janji pemerintah yang dianggap tidak memberikan hasil konkret dalam upaya pembebasan para tahanan.
Kondisi di Gaza terus memburuk seiring blokade militer dan pembatasan distribusi bantuan kemanusiaan. Banyak organisasi internasional melaporkan krisis kelaparan yang mengancam lebih dari dua juta penduduk Gaza, termasuk anak-anak dan wanita.
Sementara itu, proses diplomasi masih mengalami kebuntuan, terutama setelah Israel menolak mediasi internasional yang disampaikan oleh Qatar dan Mesir. Pemerintah Israel tetap pada posisinya untuk tidak menyerahkan kendali atas Gaza, meski komunitas internasional mendesak agar genosida segera dihentikan.
desakan Benny Gantz mencerminkan kegelisahan yang meluas di kalangan oposisi dan masyarakat Israel terhadap nasib para tahanan. Kebijakan pemerintah yang bersikeras melanjutkan operasi militer dinilai kontraproduktif dan memperpanjang krisis kemanusiaan.
Perlu dicatat, pernyataan Hamas yang bersedia membebaskan tahanan Israel dengan imbalan syarat-syarat utama menjadi peluang yang belum dimanfaatkan. Keengganan Netanyahu untuk menegosiasikan pembebasan ini dapat mengorbankan keselamatan para tahanan yang masih hidup.
Penting bagi pemerintah Israel untuk meninjau ulang strategi militer di Gaza dan memberi ruang diplomasi demi keselamatan rakyatnya sendiri. Langkah cepat dan keputusan politik yang tepat sangat menentukan kelanjutan kehidupan para tahanan.
Jika konflik ini terus berlangsung tanpa solusi, dikhawatirkan akan menimbulkan ketegangan sosial lebih besar dan memperkeruh situasi politik dalam negeri Israel. Keseimbangan antara kepentingan militer dan kemanusiaan perlu segera diprioritaskan dalam agenda nasional.
Dunia internasional diharapkan dapat memainkan peran lebih aktif dalam memediasi kesepakatan damai antara pihak-pihak yang terlibat. Pemulihan kondisi Gaza dan pembebasan tahanan adalah kunci perdamaian jangka panjang. (*)