Guizhou – EKOIN.CO – Hujan deras yang mengguyur wilayah barat daya Tiongkok mengakibatkan banjir besar di Provinsi Guizhou, memaksa lebih dari 80 ribu orang untuk mengungsi. Otoritas setempat meningkatkan status darurat penanganan banjir ke level tertinggi menyusul meluasnya dampak yang ditimbulkan sejak Selasa, 24 Juni 2025.
Seperti dilaporkan AFP dengan mengutip media resmi pemerintah Tiongkok Xinhua, Rabu (25/6/2025), dua kawasan di provinsi tersebut mengalami dampak paling signifikan, salah satunya Rongjiang, yang dilaporkan terendam cukup parah.
Gambaran situasi terkini dari udara memperlihatkan kawasan permukiman dan jalan-jalan yang sebagian besar terendam air. Dalam sebuah area di Rongjiang, genangan air mencapai tiga meter hingga menutupi seluruh permukaan lapangan sepak bola.
Seorang warga setempat, Long Tian, menggambarkan cepatnya air merendam lingkungan mereka. “Air datang sangat cepat. Kami hampir tidak punya waktu untuk menyelamatkan apa pun,” tuturnya kepada kantor berita.
Menurut informasi dari Xinhua, hingga Selasa sore, total warga yang telah dievakuasi mencapai sekitar 80.900 jiwa. Proses evakuasi dilakukan oleh tim penyelamat dengan menggunakan perahu karet serta kendaraan militer.
Pemerintah daerah menutup sementara aktivitas di sekolah-sekolah dan fasilitas umum lain. Warga diminta menjauh dari wilayah sekitar sungai serta tetap mengikuti arahan dari tim penyelamat.
Jalur transportasi utama di beberapa wilayah Guizhou lumpuh akibat banjir. Banyak jalan tertutup genangan air dan tak bisa dilalui kendaraan, baik roda dua maupun roda empat.
Sejumlah jembatan dilaporkan mengalami kerusakan struktural karena arus air yang sangat deras. Pemerintah masih melakukan asesmen terhadap infrastruktur yang terdampak.
Pemadaman listrik terjadi di sejumlah titik terdampak banjir. Pihak penyedia energi sedang melakukan upaya pemulihan untuk mengembalikan layanan sesegera mungkin.
Curah hujan tinggi masih diperkirakan akan berlanjut dalam beberapa hari mendatang. Lembaga meteorologi Tiongkok telah mengeluarkan peringatan lanjutan terkait risiko banjir susulan.
Posko pengungsian mulai didirikan di beberapa lokasi yang aman. Bantuan berupa makanan, air bersih, serta perlengkapan dasar sudah mulai disalurkan kepada korban terdampak.
Wilayah lain di Guizhou juga terkena dampak, meski tidak separah Rongjiang. Relawan dan organisasi masyarakat turut bergerak membantu pendistribusian bantuan logistik.
Sementara itu, ibu kota Tiongkok, Beijing, menghadapi kondisi cuaca yang berbeda namun sama ekstremnya. Gelombang panas ekstrem melanda kota tersebut dan mendorong dikeluarkannya peringatan oranye pada hari Senin.
Suhu udara di Beijing diprediksi mencapai titik tertinggi hingga 38 derajat Celsius. Warga kota berusaha menyesuaikan rutinitas agar tidak terlalu terpapar suhu panas.
Seorang pegawai magang, Li Weijun (22), mengaku harus mengubah gaya berpakaian dan aktivitas hariannya. “Saya berhenti mengenakan pakaian kerja formal dan baru mulai olahraga setelah jam 10 malam,” katanya, dikutip dari AFP.
Pemerintah kota menganjurkan masyarakat agar membatasi aktivitas di luar ruangan dan memperbanyak asupan air putih. Kelompok rentan seperti lansia serta orang dengan kondisi medis tertentu disarankan untuk tinggal di dalam rumah.
Jam kerja sektor konstruksi pun disesuaikan untuk mengurangi paparan terhadap panas yang ekstrem. Pemerintah juga membagikan air minum gratis di beberapa titik umum.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa gelombang panas seperti ini menjadi lebih sering akibat pengaruh perubahan iklim global. Emisi gas rumah kaca disebut sebagai faktor utama pemicu cuaca ekstrem.
Tiongkok, yang merupakan negara penghasil emisi karbon dioksida terbesar di dunia, telah menetapkan target puncak emisi sebelum 2030 dan mencapai netral karbon pada 2060.
Meskipun sektor energi negara ini masih sangat bergantung pada batu bara, Tiongkok juga memimpin dalam pengembangan teknologi energi terbarukan, termasuk tenaga surya dan angin.
Kombinasi antara banjir besar di Guizhou dan panas ekstrem di Beijing menunjukkan kompleksitas tantangan lingkungan yang dihadapi Tiongkok saat ini. Pemerintah dituntut untuk sigap dalam menghadapi dua ancaman sekaligus.
Otoritas pusat terus memantau situasi dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan keselamatan warga serta kelancaran distribusi bantuan.
Para pakar lingkungan menekankan perlunya kebijakan adaptasi iklim yang lebih kuat, termasuk penataan kota dan sistem drainase yang lebih baik di daerah rawan.
Di sisi lain, masyarakat sipil dan lembaga kemanusiaan terus mendorong kesadaran publik terhadap pentingnya pelestarian lingkungan dan kesiapsiagaan bencana.
Perhatian khusus juga diberikan pada dampak psikologis yang dialami para pengungsi akibat kehilangan tempat tinggal dan tekanan akibat situasi darurat.
Tenaga kesehatan jiwa dikerahkan untuk memberikan layanan konseling di lokasi-lokasi pengungsian. Langkah ini diambil guna mencegah trauma berkepanjangan di tengah masyarakat.
Pemerintah menjanjikan bahwa proses rehabilitasi pasca-bencana akan dipercepat. Pendataan kerusakan dan kebutuhan dasar sedang dilakukan agar distribusi bantuan lebih efisien.
Pemulihan fasilitas pendidikan menjadi prioritas utama. Anak-anak yang terdampak diharapkan dapat kembali bersekolah dalam waktu dekat.
Kerja sama lintas sektor terus dilakukan untuk memastikan kelangsungan pemulihan dan mencegah bencana serupa di masa mendatang.
Kementerian darurat nasional juga mulai menyusun rencana tanggap darurat lanjutan, termasuk kemungkinan evakuasi tambahan jika curah hujan kembali meningkat.
Masyarakat diimbau tetap tenang dan mengikuti instruksi dari petugas, serta tidak menyebarkan informasi yang belum terverifikasi untuk mencegah kepanikan.Pemerintah pusat Tiongkok disarankan memperkuat sistem mitigasi bencana melalui pengembangan infrastruktur tangguh banjir dan peningkatan sistem peringatan dini. Edukasi publik juga menjadi elemen penting agar masyarakat lebih siap menghadapi kondisi ekstrem. Dalam jangka menengah, pendekatan berbasis komunitas dalam penanganan darurat dinilai dapat meningkatkan efektivitas tanggapan lapangan. Selain itu, diversifikasi sumber energi perlu terus dikembangkan guna mengurangi emisi penyebab perubahan iklim. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi krusial untuk membangun sistem ketahanan iklim yang lebih kokoh.
Musibah banjir besar di Guizhou dan gelombang panas di Beijing menjadi pengingat penting tentang dampak nyata dari perubahan iklim global. Tiongkok menghadapi tantangan kompleks dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan. Upaya tanggap darurat yang cepat perlu didukung dengan strategi jangka panjang yang terintegrasi. Pemerintah diharapkan mempercepat langkah-langkah transisi energi dan perlindungan ekosistem. Dukungan dari semua elemen masyarakat menjadi kunci untuk menghadapi krisis lingkungan yang semakin nyata.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v