Dushanbe, Tajikistan — EKOIN.CO — Pemerintah Tajikistan secara resmi memberlakukan larangan penggunaan jilbab dan perayaan hari besar Islam seperti Idulfitri dan Iduladha, termasuk pelibatan anak-anak dalam perayaan tersebut. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya menanggulangi ekstremisme Islam dan melindungi nilai-nilai budaya nasional negara tersebut.
Larangan ini disahkan melalui amandemen undang-undang yang didukung oleh Majelis Tinggi negara tersebut dalam sidang baru-baru ini. Aturan baru ini mengubah beberapa ketentuan dalam undang-undang mengenai hari libur, tradisi dan ritual, serta peran orang tua dan lembaga pendidikan dalam membesarkan anak-anak. Sebagian besar isi regulasi tersebut berfokus pada pelarangan jilbab dan pakaian bernuansa Islam lainnya yang dianggap bukan bagian dari budaya nasional Tajikistan.
Pejabat lokal menyatakan bahwa masuknya jilbab dan pakaian Islam ke Tajikistan berkaitan dengan meningkatnya pengaruh ekstremisme Islam dari Timur Tengah. Meskipun jilbab telah lama dilarang secara tidak resmi di negara itu, langkah ini menjadi penegasan hukum yang lebih kuat terhadap pelarangan tersebut.
Sejak 2007, pemerintah Tajikistan mulai mengambil sikap tegas dengan melarang murid perempuan mengenakan pakaian Islami dan rok mini ala Barat di sekolah. Larangan tersebut kemudian diperluas ke semua lembaga publik, termasuk kantor pemerintahan dan institusi lainnya. Beberapa lembaga bahkan mewajibkan pengunjung dan pegawainya melepas jilbab.
Sebagai bagian dari upaya “de-Islamisasi” ruang publik, pemerintah Tajikistan selama bertahun-tahun telah menjalankan kampanye penggunaan pakaian nasional. Salah satu upaya paling menonjol adalah pengiriman pesan teks massal pada 6 November 2007, yang menghimbau perempuan untuk mengenakan busana tradisional Tajik.
Puncak dari kampanye ini terjadi pada 2018 ketika pemerintah menerbitkan Buku Panduan Pakaian yang Direkomendasikan di Tajikistan sepanjang 376 halaman. Buku tersebut memuat aturan berpakaian yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai lokal dalam berbagai kesempatan.
Selain jilbab, Tajikistan juga memberlakukan pelarangan tidak resmi terhadap pria yang memelihara janggut lebat. Dalam satu dekade terakhir, ribuan pria berjanggut telah dihentikan oleh aparat dan dipaksa mencukur janggut mereka.
Larangan terbaru ini menambah panjang daftar regulasi kontroversial yang diterapkan Tajikistan atas nama melindungi budaya lokal dan memerangi radikalisme. Namun, langkah ini juga menuai kritik dari berbagai pihak yang menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan hak kebebasan beragama dan ekspresi diri.
Pemerintah Tajikistan menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi nilai-nilai asli budaya nasional, mencegah tahayul dan prasangka, serta mencegah pemborosan dalam mengadakan perayaan dan upacara. Selain itu, peraturan tersebut juga disebut untuk meningkatkan spiritualitas dan tingkat sosial ekonomi masyarakat Tajikistan, serta perlindungan hak dan kebebasan anak, belajar dan pembelajaran, pendidikan anak dalam semangat kemanusiaan, kebanggaan patriotisme, penghormatan terhadap nilai-nilai nasional dan universal.
Undang-undang tersebut juga disebut-sebut bertujuan untuk memastikan pembangunan sosial-ekonomi negara, meningkatkan taraf dan kualitas hidup masyarakat, memperkuat stabilitas masyarakat, hukum dan ketertiban.
Pelanggar aturan ini akan dikenai sanksi berupa denda. Para anggota parlemen telah menentukan hukuman bagi pelanggar dengan denda berkisar dari 7.920 somoni atau sekitar Rp 12 juta untuk individu hingga 39.500 somoni atau sekitar Rp 61 juta untuk badan hukum. Pejabat pemerintah dan otoritas keagamaan dikenakan denda yang jauh lebih tinggi, masing-masing sebesar 54.000 somoni atau sekitar Rp 83 juta hingga 57.600 somoni atau sekitar Rp 89 juta, jika dinyatakan bersalah.
Tindakan keras Tajikistan terhadap jilbab dilakukan setelah bertahun-tahun larangan tersebut diterapkan secara tidak resmi. Peraturan ini telah berlaku sejak 2007, Kementerian Pendidikan telah melarang pelajar mengenakan pakaian Islami, termasuk jilbab. Larangan juga berlaku untuk rok mini gaya Barat.
Pada 2018, Pemerintah Tajikistan meluncurkan kampanye untuk mengajak warga mengenakan pakaian nasional Tajikistan, sebagaimana disebutkan dalam “Buku Panduan Pakaian yang Direkomendasikan di Tajikistan.”
Tajikistan adalah negara dengan mayoritas muslim. Negara yang terletak di Asia Tengah ini dihuni penduduk yang 95%-98% pemeluk Islam.
Meskipun demikian, pemerintah Tajikistan telah mengambil langkah-langkah untuk membatasi praktik keagamaan yang dianggap tidak sesuai dengan budaya nasional. Langkah-langkah ini termasuk pelarangan jilbab, perayaan hari besar Islam oleh anak-anak, dan pembatasan terhadap simbol-simbol keagamaan lainnya.
Langkah-langkah ini telah menuai kritik dari berbagai pihak yang menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan hak kebebasan beragama dan ekspresi diri. Namun, pemerintah Tajikistan tetap berkomitmen untuk menegakkan aturan tersebut sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas dan keamanan nasional.
Pemerintah Tajikistan juga telah membentuk satuan tugas khusus untuk menegakkan larangan tersebut, termasuk razia di pasar-pasar oleh aparat kepolisian. Namun, pemerintah kerap membantah laporan mengenai perempuan yang ditilang atau didenda karena mengenakan jilbab di ruang publik.
Sebagai bagian dari upaya “de-Islamisasi” ruang publik, pemerintah Tajikistan selama bertahun-tahun telah menjalankan kampanye penggunaan pakaian nasional. Salah satu upaya paling menonjol adalah pengiriman pesan teks massal pada 6 November 2007, yang menghimbau perempuan untuk mengenakan busana tradisional Tajik.
Puncak dari kampanye ini terjadi pada 2018 ketika pemerintah menerbitkan Buku Panduan Pakaian yang Direkomendasikan di Tajikistan sepanjang 376 halaman. Buku tersebut memuat aturan berpakaian yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai lokal dalam berbagai kesempatan.
Selain jilbab, Tajikistan juga memberlakukan pelarangan tidak resmi terhadap pria yang memelihara janggut lebat. Dalam satu dekade terakhir, ribuan pria berjanggut telah dihentikan oleh aparat dan dipaksa mencukur janggut mereka.
Larangan terbaru ini menambah panjang daftar regulasi kontroversial yang diterapkan Tajikistan atas nama melindungi budaya lokal dan memerangi radikalisme. Namun, langkah ini juga menuai kritik dari berbagai pihak yang menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan hak kebebasan beragama dan ekspresi diri.
Pemerintah Tajikistan menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi nilai-nilai asli budaya nasional, mencegah tahayul dan prasangka, serta mencegah pemborosan dalam mengadakan perayaan dan upacara. Selain itu, peraturan tersebut juga disebut untuk meningkatkan spiritualitas dan tingkat sosial ekonomi masyarakat Tajikistan, serta perlindungan hak dan kebebasan anak, belajar dan pembelajaran, pendidikan anak dalam semangat kemanusiaan, kebanggaan patriotisme, penghormatan terhadap nilai-nilai nasional dan universal.
Undang-undang tersebut juga disebut-sebut bertujuan untuk memastikan pembangunan sosial-ekonomi negara, meningkatkan taraf dan kualitas hidup masyarakat, memperkuat stabilitas masyarakat, hukum dan ketertiban.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v