Washington EKOIN.CO – Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat dari Partai Republik, Marjorie Taylor Greene, mengusulkan penghentian pendanaan sebesar 500 juta dolar AS atau sekitar Rp8,15 triliun untuk sistem pertahanan rudal milik Israel. Amandemen tersebut diajukan dalam sidang perdebatan anggaran tahunan Pentagon untuk tahun fiskal 2026 yang berlangsung pada Kamis, 17 Juli 2025.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Greene menyampaikan bahwa langkah ini diambil sebagai bentuk protes terhadap besarnya bantuan luar negeri yang dikucurkan Amerika Serikat, di tengah meningkatnya utang nasional negara tersebut yang kini telah mencapai 37 triliun dolar AS atau sekitar Rp592 kuadriliun. Ia menyebut bantuan semacam ini perlu dihentikan dan anggaran seharusnya lebih difokuskan pada kebutuhan domestik.
Politisi dari Georgia itu menegaskan bahwa Israel adalah negara bersenjata nuklir yang sangat mampu mempertahankan dirinya sendiri tanpa bantuan keuangan dari AS. Dalam pernyataannya, Greene menekankan bahwa sistem rudal pertahanan Israel seharusnya tidak lagi menjadi tanggungan rakyat Amerika.
“Saya mengajukan amandemen ini untuk mencabut pendanaan 500 juta dolar AS kepada sistem rudal Israel. Negara itu memiliki kekuatan nuklir dan telah menunjukkan kemampuannya di panggung global,” ujar Greene, seperti dikutip oleh kantor berita Anadolu.
Ia juga menyatakan bahwa Israel setiap tahunnya menerima dana sekitar 3,8 miliar dolar AS dari AS. Selain itu, pada April 2024, Washington menyetujui paket bantuan tambahan sebesar 8,7 miliar dolar AS bagi Israel, menjadikannya salah satu negara penerima bantuan luar negeri terbesar.
Kritik Terhadap Ketergantungan Keuangan Israel
Dalam pernyataannya, Greene menyampaikan kekhawatiran atas pengeluaran besar-besaran yang dilakukan AS untuk mendukung pertahanan Israel. Ia menyinggung penggunaan sistem rudal pertahanan THAAD oleh militer AS selama eskalasi serangan Israel terhadap Iran baru-baru ini, yang menghabiskan sekitar 15-20 persen dari stok rudal AS.
Biaya dari penggunaan tersebut diperkirakan mencapai lebih dari 800 juta dolar AS atau sekitar Rp13,03 triliun. Greene menilai bahwa jumlah itu terlalu besar, terutama jika dihadapkan pada kondisi keuangan domestik AS yang kian memburuk.
Selain aspek finansial, Greene juga menyoroti dampak konflik militer Israel terhadap warga sipil. Ia merujuk pada insiden serangan terhadap Gereja Katolik Keluarga Kudus di Gaza yang menewaskan tiga orang dan melukai beberapa lainnya. Serangan tersebut terjadi pada hari yang sama dengan pengajuan amandemennya.
“Israel telah membom gereja Katolik di Gaza. Ini bagian dari perang agresif yang terus mengorbankan warga sipil,” ujar Greene dalam sidang tersebut.
Bantuan Luar Negeri Menjadi Sorotan di Kongres
Dilansir dari Anadolu, langkah Greene ini mencerminkan gelombang kritik yang mulai berkembang di kalangan legislator AS mengenai efektivitas dan moralitas bantuan luar negeri, terutama kepada negara-negara dengan kemampuan militer yang tinggi. Isu ini menjadi perdebatan hangat di tengah pembahasan anggaran tahunan Pentagon.
Meskipun proposal Greene menuai dukungan dari sebagian anggota Partai Republik, sebagian lainnya menilai pendekatan tersebut terlalu ekstrem. Namun demikian, tekanan terhadap pemangkasan bantuan luar negeri terus menguat, seiring kekhawatiran atas defisit anggaran negara.
Israel diketahui merupakan negara penerima bantuan AS terbesar kedua setelah Ukraina. Sejak 1946 hingga 2024, Israel telah menerima bantuan dalam jumlah besar dari Washington, menjadikannya mitra strategis yang tidak hanya mendapat dukungan finansial, tetapi juga militer.
Langkah Greene juga menyasar narasi politik Partai Republik yang belakangan semakin menekankan penghematan anggaran dan nasionalisme fiskal. Ia menegaskan bahwa rakyat AS tidak seharusnya menanggung biaya militer negara lain di saat kebutuhan dalam negeri masih sangat besar.
Sidang DPR yang membahas pengajuan amandemen ini dijadwalkan berlanjut dalam beberapa pekan ke depan. Sejumlah anggota Kongres disebut akan mengevaluasi kembali skema bantuan luar negeri termasuk alokasi bagi Israel dan Ukraina.
Meski belum diputuskan, usulan Greene sudah memunculkan perdebatan panjang di media dan publik AS. Sebagian menilai tindakan tersebut sebagai upaya untuk menyuarakan transparansi anggaran, sementara lainnya menudingnya sebagai bentuk pelemahan terhadap aliansi strategis.
Jika amandemen ini disahkan, maka untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir, bantuan pertahanan AS terhadap Israel akan mengalami pemangkasan signifikan. Hal ini tentu akan berimplikasi terhadap kebijakan luar negeri dan hubungan bilateral kedua negara.
Pernyataan Greene juga telah memantik reaksi dari kelompok pro-Israel di AS, yang menyayangkan amandemen tersebut dan menilai bahwa keamanan Israel masih relevan dengan kepentingan strategis AS di Timur Tengah.
Pihak Gedung Putih belum mengeluarkan tanggapan resmi atas amandemen ini. Namun, beberapa analis memperkirakan bahwa pemerintahan Presiden Joe Biden tidak akan mendukung pemotongan drastis terhadap bantuan pertahanan Israel.
Diskusi internal di tubuh Partai Republik sendiri diprediksi akan berlanjut, mengingat adanya faksi-faksi yang berbeda pandangan terkait bantuan luar negeri. Sejumlah senator disebut lebih memilih pendekatan moderat daripada penghapusan total dana bantuan.
Sementara itu, kelompok aktivis di AS yang mendukung penghentian pendanaan militer ke luar negeri menyambut baik langkah Greene. Mereka menyebut ini sebagai momen penting untuk mengevaluasi ulang kebijakan luar negeri AS yang dianggap tidak selaras dengan kebutuhan rakyat Amerika.
Ketegangan di Gaza dan meningkatnya korban sipil turut mempengaruhi persepsi publik Amerika terhadap kebijakan luar negeri negaranya. Beberapa hasil survei menunjukkan adanya penurunan dukungan terhadap pendanaan militer Israel.
Konflik yang masih berlangsung di kawasan Timur Tengah juga memberi tekanan terhadap pemerintah AS untuk mengambil posisi yang lebih seimbang dalam menangani isu-isu kemanusiaan dan geopolitik global.
usulan Marjorie Taylor Greene untuk mencabut pendanaan sistem rudal Israel sebesar Rp8,15 triliun merupakan langkah yang menuai banyak perhatian. Amandemen tersebut muncul di tengah pembahasan anggaran militer AS untuk tahun fiskal 2026 dan langsung menjadi topik utama dalam sidang DPR. Berbagai argumen baik yang mendukung maupun menentang menandai pentingnya diskursus ini dalam kebijakan luar negeri AS.
Perdebatan yang terjadi menunjukkan adanya pergeseran pandangan sebagian legislator terhadap prioritas anggaran nasional. Situasi ini mencerminkan dinamika baru dalam pengambilan keputusan strategis AS, khususnya terkait dukungan militer kepada negara-negara sekutu. Ketegangan di Timur Tengah dan dampaknya terhadap warga sipil turut menambah tekanan politik di dalam negeri.
Langkah Greene juga menandai meningkatnya kritik terhadap beban utang nasional dan efektivitas bantuan luar negeri. Amandemen ini, jika disetujui, dapat menjadi preseden bagi kebijakan bantuan luar negeri AS di masa mendatang. Reaksi publik dan partai-partai politik akan sangat menentukan arah kelanjutannya.
Bagi Israel, usulan ini membawa potensi tantangan terhadap keberlanjutan kerja sama pertahanan dengan AS. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan mayoritas anggota Kongres, yang akan mempertimbangkan berbagai aspek termasuk geopolitik, moralitas, dan stabilitas anggaran.
pemerintah AS perlu meninjau kembali prioritas bantuan luar negeri secara lebih strategis dan proporsional. Kebutuhan domestik harus menjadi pertimbangan utama dalam merancang anggaran jangka panjang. Evaluasi yang transparan dan akuntabel akan membantu memastikan bahwa dana publik digunakan secara efektif.
Penting bagi Kongres untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan pendanaan. Dalam konteks hubungan internasional, kebijakan harus seimbang antara kepentingan keamanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Upaya diplomasi seharusnya berjalan seiring dengan dukungan anggaran, bukan hanya bergantung pada kekuatan militer.
Kritik terhadap bantuan luar negeri perlu dijawab dengan data dan analisis menyeluruh, bukan sekadar retorika politik. Masyarakat juga perlu dilibatkan melalui edukasi publik tentang arah kebijakan luar negeri yang transparan dan inklusif. Hal ini akan meningkatkan legitimasi keputusan pemerintah.
Langkah pemangkasan anggaran seperti yang diusulkan Greene dapat menjadi awal bagi reformasi kebijakan bantuan luar negeri AS yang lebih bertanggung jawab. Namun, perlu kehati-hatian agar keputusan tersebut tidak melemahkan hubungan diplomatik jangka panjang dengan mitra strategis.
Pemerintah dan DPR AS harus menyeimbangkan antara kebutuhan dalam negeri, komitmen internasional, dan kondisi geopolitik yang terus berubah. Transparansi, akuntabilitas, serta pemikiran jangka panjang akan menjadi kunci keberhasilan dalam menentukan arah kebijakan selanjutnya. (*)