Jakarta, EKOIN.CO – Kejaksaan Agung (Kejagung) secara resmi menjalin kerja sama dengan empat perusahaan operator telekomunikasi, yaitu PT Telkomsel, PT Telkom Indonesia, PT Indosat Tbk, dan PT XLSmart Telecom Sejahtera. Kesepakatan tersebut ditandatangani pada 24 Juni 2025 dengan tujuan mengoptimalkan penggunaan perangkat penyadapan dalam mendukung proses penegakan hukum.
Langkah ini diambil seiring dengan meningkatnya kebutuhan penelusuran terhadap buronan melalui sarana digital. Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Reda Manthovani menyebut kerja sama itu dirancang untuk memperkuat pengumpulan bukti elektronik dan membantu pelacakan terhadap Daftar Pencarian Orang (DPO).
Dalam pernyataannya, Reda menyampaikan bahwa kolaborasi ini mendukung percepatan penanganan perkara serta meningkatkan efisiensi penindakan hukum yang melibatkan teknologi komunikasi.
Fokus Kerja Sama: Perburuan Buronan dan Bukti Elektronik
Reda menegaskan bahwa ruang lingkup kerja sama melibatkan pemanfaatan data dan informasi dari jaringan telekomunikasi. Ini dinilai sebagai bagian strategis untuk memperkuat proses penyidikan yang berbasis teknologi informasi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, juga menyatakan bahwa kolaborasi dengan operator dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, terutama mengacu pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU Kejaksaan.
Menurutnya, penyadapan dilakukan dengan mengikuti prosedur tetap, tidak melanggar hukum, dan melalui analisis yang ketat oleh penyedia layanan.
Tanggapan Publik: Kritik Terhadap Potensi Pelanggaran Privasi
Namun, kebijakan ini menuai sorotan dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Mereka mengkhawatirkan bahwa penyadapan oleh lembaga penegak hukum seperti Kejagung dapat melebar tanpa batas yang jelas dan berpotensi melanggar hak privasi warga negara.
Koalisi masyarakat sipil menilai nota kesepahaman tersebut masih menyisakan celah hukum, khususnya terkait regulasi penyadapan dalam sistem peradilan. Mereka menyerukan agar kesepakatan itu ditinjau ulang dan tidak dijalankan sebelum ada regulasi yang lebih tegas.
Pasal 28G UUD 1945 yang menjamin hak atas rasa aman dan privasi menjadi dasar utama kritik yang disampaikan kepada Kejagung.
Respons DPR: Pentingnya Pengawasan dan Check and Balance
Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding, menyampaikan bahwa penyadapan harus tunduk pada prinsip-prinsip negara hukum. Ia mengingatkan bahwa setiap bentuk intervensi terhadap privasi masyarakat harus disertai dengan pengawasan yang ketat.
“Dalam negara demokrasi, kewenangan semacam ini tidak boleh berjalan tanpa mekanisme check and balance yang kokoh,” ujar Sudding.
Ia juga menyebut pentingnya Kejagung menjelaskan batasan-batasan teknis maupun hukum terkait pelaksanaan kerja sama ini.
Penjelasan Kejagung: Tidak Ada Penyadapan Sembarangan
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Harli menegaskan bahwa proses penyadapan tidak dilakukan sembarangan. Operator memiliki peran menyaring dan menilai permintaan penyadapan yang masuk dari Kejagung.
Ia menyatakan setiap langkah penyadapan diproses secara bertahap, termasuk dalam hal validasi urgensi dan legalitas tindakan tersebut.
Penyadapan juga hanya difokuskan untuk mendukung kegiatan penindakan hukum, terutama dalam hal pengejaran DPO dan pengumpulan bukti digital.
Sorotan Komjak: Penyadapan Bukan Alat Represif
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Pujiyono Suwadi, mengingatkan bahwa penyadapan bukan alat represif melainkan alat paksa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ia menyebut bahwa untuk digunakan sebagai alat bukti, penyadapan harus memenuhi syarat hukum, termasuk melalui penetapan dari lembaga peradilan.
Menurutnya, perlindungan terhadap hak asasi manusia tetap harus menjadi prioritas dalam pelaksanaan kerja sama tersebut.
Kekosongan Regulasi: Mendesak Revisi KUHAP dan Pembahasan RUU Penyadapan
Direktur Eksekutif DeJure, Bhatara Ibnu Reza, menyampaikan bahwa kesepakatan semacam ini tidak cukup hanya mengandalkan nota kesepahaman. Ia mendorong percepatan pembahasan RUU KUHAP dan RUU Penyadapan agar ruang lingkup dan mekanisme penyadapan diatur secara komprehensif.
Ia memperingatkan bahwa tanpa kerangka hukum yang memadai, risiko penyalahgunaan bisa terjadi, bahkan jika teknologi yang digunakan canggih sekalipun.
Bhatara juga menekankan pentingnya pengawasan eksternal terhadap pelaksanaan penyadapan agar akuntabilitas tetap terjaga.
Evaluasi Teknologi dan Kebutuhan Transparansi
Anggota Komisi III DPR Ahmad Sahroni, dalam sidak yang dilakukannya, menyebut bahwa alat intelijen yang dimiliki Kejagung cukup modern dan mampu mendukung pelacakan secara digital.
Ia memastikan bahwa pengadaan alat tersebut dilakukan melalui mekanisme anggaran yang transparan dan sah sesuai dengan ketentuan DIPA.
Namun demikian, ia juga mengingatkan bahwa kemajuan teknologi harus dibarengi dengan pembaruan regulasi dan prosedur yang menjamin perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
Sahroni juga menyatakan dukungannya terhadap penguatan fungsi pengawasan DPR dalam mengawal penggunaan teknologi penyadapan.
Dorongan Untuk Transparansi dan Pengawasan Eksternal
Pujiyono menyarankan agar Kejagung memberikan akses informasi yang cukup kepada publik mengenai pelaksanaan penyadapan.
Ia menyebut keterbukaan tersebut akan membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat sekaligus mencegah potensi penyimpangan dalam pelaksanaan tugas intelijen.
Kejagung pun diminta membentuk sistem evaluasi berkala bersama Komjak dan lembaga pengawas independen lainnya.
Masyarakat juga diminta aktif melaporkan bila menemukan indikasi pelanggaran dalam praktik penyadapan yang dilakukan oleh Kejagung.
Kejaksaan Agung diharapkan segera menyusun protokol operasional yang rinci terkait pelaksanaan penyadapan. Dokumen tersebut harus dibuka untuk pengawasan lembaga pengawas dan publik agar akuntabilitasnya terjamin.
DPR RI perlu mengakselerasi pembahasan RUU Penyadapan agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam praktik intersepsi oleh lembaga penegak hukum.
Operator seluler yang terlibat dalam kerja sama diminta menjalankan audit independen secara berkala agar setiap langkah teknis memiliki pertanggungjawaban yang jelas.
Komisi Kejaksaan dan lembaga sipil harus dilibatkan dalam proses pengawasan teknologi penyadapan guna menjaga proporsionalitas penggunaan kekuasaan negara.
Perlu ada jaminan hukum dan kebijakan publik yang jelas, agar kerja sama strategis ini tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melemahkan hak warga negara.
Langkah Kejaksaan Agung menjalin kerja sama dengan operator telekomunikasi bertujuan memperkuat efektivitas penegakan hukum, terutama dalam pengejaran buronan dan pengumpulan bukti digital.
Namun di balik itu, muncul kekhawatiran terhadap potensi pelanggaran privasi dan penyalahgunaan kewenangan yang perlu diantisipasi melalui regulasi tegas.
Pengawasan eksternal dari DPR, Komjak, dan lembaga sipil menjadi krusial dalam menjamin proses penyadapan tidak menyimpang dari tujuan penegakan hukum.
Transparansi prosedur serta pelibatan publik dalam evaluasi kebijakan akan membantu menjaga kepercayaan terhadap Kejagung dan institusi penegak hukum lainnya.
Seluruh langkah penggunaan teknologi dalam sistem hukum harus selalu diimbangi dengan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v