Jakarta, EKOIN.CO — Pengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, mendesak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, untuk segera membatalkan negosiasi terkait tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap Indonesia. Menurutnya, negosiasi tersebut dapat memberikan kesan bahwa Indonesia sedang “mengemis” kepada Presiden AS Donald Trump.
Hikmahanto: Pemerintah Harus Tegas Jaga Kedaulatan
Dalam siaran pers yang dirilis pada Rabu (9/7/2025), Prof. Hikmahanto menyatakan bahwa negosiasi yang dilakukan Menko Airlangga justru bisa melemahkan posisi Indonesia di mata dunia. Ia menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak tunduk terhadap tekanan Presiden Trump, yang memberlakukan tarif impor tinggi bagi sejumlah negara.
“Negosiasi oleh Menko Perekonomian dibatalkan, mengingat hadir tidaknya Menko mulai 1 Agustus akan diberlakukan tarif 32 persen bahkan ada kemungkinan ditambah lagi 10 persen sebagai wujud ancaman Trump terhadap negara-negara tergabung dalam BRICS,” ujar Hikmahanto.
Hikmahanto juga menyoroti bahwa kebijakan tarif impor seperti ini sejatinya akan berdampak langsung terhadap konsumen akhir di AS. Ia meyakini masyarakat AS maupun pasar saham di sana dapat memberikan tekanan balik terhadap kebijakan yang dinilai merugikan tersebut.
“Tarif impor itu justru dibayar oleh warga AS sebagai konsumen akhir,” jelasnya.
Menurutnya, langkah terbaik adalah menunggu hingga kebijakan tersebut resmi diberlakukan pada 1 Agustus 2025. Dengan demikian, Indonesia dapat menilai lebih objektif mengenai arah kebijakan Trump dan reaksi publik di dalam negerinya.
Desakan Indonesia Bangun Koalisi Melawan Tarif Diskriminatif
Lebih lanjut, Hikmahanto mendorong agar Indonesia tidak bergerak sendirian dalam menghadapi kebijakan tarif dari AS. Ia menyarankan pemerintah untuk membentuk koalisi bersama negara-negara yang terkena dampak, terutama negara-negara anggota ASEAN.
“Indonesia sebaiknya menggalang negara-negara yang dikenakan tarif tinggi oleh Trump, terutama ASEAN, untuk melawan kebijakan ini sehingga satu suara untuk melawan. Bukan sebaliknya yang justru mengikuti keinginan Trump dan mengikuti apa yang diminta Trump,” katanya.
Ia mengingatkan pentingnya kesatuan antarnegara yang terdampak agar tidak mudah dipecah belah oleh strategi politik “divide et impera” yang mungkin dilakukan oleh pemerintahan Trump.
“Intinya negara yang dikenakan tarif harus bersatu dan tidak mau untuk diadu domba atau divide et impera oleh Trump,” tegasnya.
Sebelumnya, Trump secara resmi mengumumkan penerapan tarif impor terhadap 14 negara, termasuk Indonesia, dengan besaran mencapai 32 persen. Kebijakan itu akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025.
Pemerintah Indonesia sempat mencoba merespons kebijakan tersebut melalui jalur diplomasi. Negosiasi yang dipimpin oleh Menko Airlangga Hartarto dilakukan untuk mencari jalan tengah dan menurunkan besaran tarif.
Namun, hasil akhir dari negosiasi itu justru diumumkan sendiri oleh Presiden Trump melalui platform media sosial miliknya, Truth Social, tanpa pernyataan resmi bilateral dari kedua negara.
Pengumuman tersebut mempertegas bahwa Trump tidak membuka ruang kompromi yang adil, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengamat serta pemangku kebijakan di Indonesia.
Pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan resmi terbaru atas desakan pembatalan negosiasi oleh Prof. Hikmahanto. Namun, isu ini diyakini akan menjadi perhatian utama dalam waktu dekat mengingat dampaknya terhadap ekspor Indonesia ke pasar AS.
Beberapa pengusaha nasional juga dilaporkan mulai mengkhawatirkan dampak kebijakan tarif tersebut terhadap daya saing produk lokal di pasar Amerika. Produk-produk yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia ke AS, seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik ringan, dikhawatirkan akan mengalami lonjakan harga dan penurunan permintaan.
Langkah penguatan kerja sama ekonomi antarnegara BRICS dan ASEAN menjadi opsi strategis yang mulai dibicarakan sejumlah pihak sebagai alternatif jangka menengah menghadapi dinamika politik dagang AS yang tak menentu.
Dampak jangka panjang dari kebijakan Trump juga diprediksi akan berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia dan stabilitas industri ekspor dalam negeri. Oleh karena itu, pembentukan aliansi dan respons kolektif menjadi sangat penting untuk menjaga kepentingan nasional di tengah tensi global yang meningkat.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di :
https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v