Jakarta, EKOIN.CO – Pemerintah menargetkan penerimaan bea dan cukai pada tahun 2026 mencapai Rp 334,30 triliun, sebuah angka yang menunjukkan peningkatan 7,7% dibandingkan perkiraan penerimaan tahun 2025 sebesar Rp 310,35 triliun. Dari target tersebut, setoran cukai masih menjadi tulang punggung utama dengan estimasi Rp 241,83 triliun. Angka ini disusul oleh bea masuk sebesar Rp 49,90 triliun dan bea keluar Rp 42,56 triliun.
Untuk menggapai target tersebut, berbagai kebijakan teknis telah dicanangkan. Langkah-langkah tersebut mencakup penguatan pengawasan di laut, perbatasan, pesisir, pelabuhan, dan bandara, serta upaya pencegahan dan pemberantasan penyelundupan barang ilegal. Secara spesifik, kebijakan cukai hasil tembakau akan difokuskan melalui intensifikasi pengawasan rokok ilegal. Sementara itu, bea masuk akan digenjot dengan intensifikasi tarif komoditas tertentu, dan bea keluar akan diperluas dengan memasukkan produk emas dan batu bara sebagai basis penerimaan.
Lebih lanjut, dokumen Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026 yang dikutip pada Selasa (19/8/2026) menyebutkan adanya ekstensifikasi kebijakan sebagai bagian dari implementasi tahun 2026, khususnya untuk barang kena cukai (BKC) baru. Ekstensifikasi BKC ini akan menyasar objek baru berupa minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). “Ekstensifikasi BKC antara lain melalui penambahan objek cukai baru berupa Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK),” demikian bunyi dokumen tersebut.
Meskipun demikian, untuk meningkatkan penerimaan cukai ke depan, pemerintah juga akan terus menggencarkan pengawasan dan penindakan terhadap BKC ilegal, terutama rokok ilegal, karena peredarannya dinilai memberikan tekanan pada penerimaan. Dokumen RAPBN 2026 juga menyatakan bahwa pemerintah akan memperkuat regulasi dan penegakan hukum atas peredaran rokok ilegal. Hal ini akan dioptimalkan melalui penggunaan penerimaan pajak rokok dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
Pada sisi lain, bea masuk menjadi satu-satunya komponen yang diproyeksikan mengalami penurunan pada tahun 2026, dengan pertimbangan adanya risiko perang tarif resiprokal dengan Amerika Serikat serta perundingan tarif dengan Uni Eropa. Di samping itu, target bea keluar yang tumbuh menjadi Rp 42,56 triliun juga memperhitungkan harga komoditas CPO dan kebijakan hilirisasi.