Jakarta, EKOIN.CO – Setelah seperempat abad penerapan kebijakan otonomi daerah di Indonesia, pemerintah menyadari perlunya evaluasi menyeluruh untuk menilai dampak desentralisasi terhadap kesejahteraan masyarakat. Namun, belum ada indikator nasional tunggal yang disepakati hingga kini.
Diskusi itu mencuat dalam Brown Bag Discussion yang digelar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) pada Selasa, 22 Juli 2025. Acara ini berlangsung di Smart Class, Lantai 3, Gedung M FIA UI, Depok, Jawa Barat.
Direktur Fasilitasi Kelembagaan dan Kepegawaian Perangkat Daerah Kemendagri, Cheka Virgowansyah, menyoroti lemahnya koordinasi antar pemerintah daerah. Ia menilai integrasi lintas wilayah masih menjadi persoalan pokok dalam pelaksanaan otonomi.
Cheka mencontohkan masyarakat di daerah kerap tak memedulikan batas kewenangan dalam penanganan jalan rusak. “Bagi mereka, yang penting jalan diperbaiki, bukan soal itu wewenang siapa,” ujarnya di depan peserta diskusi.
Ia juga menyoroti belanja wajib (mandatory spending) yang dinilai terlalu seragam antar daerah. Banyak pemerintah daerah terjebak dalam skema anggaran yang tidak relevan dengan kebutuhan lokal.
Keseimbangan Baru Otonomi Daerah
Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) belum optimal meningkatkan kapasitas fiskal daerah. Penyederhanaan pajak dinilai lebih menguntungkan daerah dengan basis jasa dan perdagangan kuat.
Dampaknya, masih terdapat ketimpangan fiskal antarwilayah. Cheka menyebut perlunya kebijakan lebih fleksibel agar seluruh daerah memiliki peluang peningkatan penerimaan yang seimbang dan berkelanjutan.
Dalam forum yang sama, Cheka mengungkapkan pemerintah tengah mempersiapkan revisi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu tujuannya ialah memperjelas pembagian kewenangan dan mewujudkan desentralisasi yang tidak hanya simbolis.
“Dalam revisi ini, keseimbangan antara pemerintah pusat dan daerah akan disesuaikan kembali. Ada kecenderungan pendulum kekuasaan hari ini mengarah ke titik yang berbeda dibandingkan saat UU ini pertama kali diberlakukan pada 2014,” ucapnya.
Ia juga menekankan pentingnya memperkuat desentralisasi berbasis kebutuhan nyata di lapangan. Hal ini mencakup koordinasi kewenangan, pembagian urusan, dan penguatan fiskal daerah.
Sorotan pada Struktur Fiskal dan Kelembagaan
Konsep otonomi di Indonesia dibangun atas dasar pembagian urusan, bukan hanya struktur administratif. Maka, setiap perubahan dalam tata kelola urusan akan memengaruhi skema anggaran dan struktur fiskal.
Diskusi ini mempertemukan berbagai pihak dari akademisi, pakar kebijakan publik, hingga pejabat pemerintah. Forum ini menjadi ruang terbuka dalam mencari titik temu antara kebutuhan daerah dan regulasi pusat.
Acara Brown Bag Discussion rutin digelar sebagai bagian dari agenda riset ilmiah. Forum ini diselenggarakan oleh Klaster Riset Policy, Governance, and Administrative Reform (PGAR) dan Democracy and Local Governance (DeLOGO) FIA UI.
Pada diskusi kali ini, topik yang diangkat bertajuk “Menakar Desentralisasi Fiskal untuk Kemandirian Daerah”. Acara dipandu oleh Alfie Syarien, ahli kebijakan kelembagaan dari FIA UI.
Selain Cheka Virgowansyah, narasumber lainnya adalah Direktur KPPOD Armand Suparman, Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah Kemenkeu Adriyanto, dan pakar keuangan daerah Achmad Lutfi. Ketua Klaster DeLOGO, Prof. Irfan Ridwan Maksum, turut memberikan dukungan penuh.
Diskusi kebijakan desentralisasi yang digelar FIA UI menggarisbawahi pentingnya evaluasi serius terhadap otonomi daerah setelah 25 tahun berjalan. Ketimpangan fiskal dan lemahnya koordinasi antarwilayah menjadi sorotan utama yang perlu segera diatasi melalui revisi kebijakan nasional.
Revisi UU Pemda yang sedang disiapkan menjadi harapan besar bagi terwujudnya desentralisasi yang tidak hanya administratif, tetapi juga substantif dan berdampak langsung bagi masyarakat. Pembenahan struktur fiskal dan pembagian urusan secara adil menjadi titik krusial reformasi ini.
Kolaborasi lintas sektor, seperti yang tercermin dalam forum diskusi ini, diharapkan dapat menciptakan pendekatan kebijakan yang lebih responsif, adaptif, dan partisipatif, serta mampu mengakomodasi keragaman kondisi daerah di seluruh Indonesia.(*)



























