Jakarta, EKOIN.CO – Di tengah ancaman pemblokiran dan berbagai tuntutan hukum yang menghadang, TikTok, aplikasi besutan ByteDance asal China, justru mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang luar biasa di Eropa. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik produk teknologi China di negara-negara Barat, meskipun ada kekhawatiran geopolitik.
Menurut laporan Companies House yang disampaikan oleh Forbes, Senin, 25 Agustus 2025, pendapatan TikTok di luar Amerika Serikat melonjak 38%, mencapai US$6,3 miliar, setara dengan Rp102,3 triliun. Platform berbagi video ini berhasil melipatgandakan pendapatannya sejak tahun 2022 di pasar Eropa, Inggris, dan Amerika Latin.
Meski demikian, TikTok tetap dihadapkan pada berbagai tantangan hukum. Pada tahun 2024, kerugian sebelum pajak TikTok menyempit menjadi US1,47 miliar (Rp23,8 triliun) pada tahun sebelumnya. Di sisi lain, ancaman pemblokiran di Amerika Serikat yang sempat ditunda oleh Presiden Donald Trump masih menjadi isu yang menggantung.
Platform ini juga menghadapi berbagai tuntutan di Eropa. Bahkan, perusahaan telah mengalokasikan US$1 miliar, atau sekitar Rp16,2 triliun, untuk menutupi potensi denda di masa depan dari pemerintah Eropa. Komisi Eropa telah membuka proses hukum terhadap TikTok pada akhir tahun lalu, menuduh platform ini gagal mengurangi risiko integritas pemilu dengan membiarkan akun palsu memengaruhi hasil pemilihan presiden 2024.
Selain itu, regulator di Inggris tengah menyelidiki dugaan penyalahgunaan data anak-anak oleh TikTok. Di Spanyol, otoritas setempat memeriksa dugaan keterlibatan perusahaan dalam penargetan iklan ilegal. Parlemen Perancis juga turut mengkaji dampak psikologis aplikasi ini terhadap anak-anak.
Pada bulan April, otoritas perlindungan data Irlandia meminta TikTok untuk membayar denda sebesar US$1 miliar. Permintaan ini muncul setelah penyelidikan yang dilakukan lembaga tersebut mengenai apakah ByteDance memfasilitasi akses tidak sah dari China terhadap data pengguna di Eropa.
Menanggapi berbagai masalah ini, TikTok meluncurkan inisiatif Project Clover. Sebagai bagian dari proyek tersebut, perusahaan telah meluncurkan pusat data di Norwegia pada awal tahun ini dan berencana untuk membangun pusat data kedua di Finlandia, sebagai upaya untuk memperkuat keamanan data pengguna di Eropa.