JAKARTA, EKOIN.CO – Badan Pangan Nasional (Bapanas) tengah merumuskan kebijakan baru dengan menyederhanakan klasifikasi mutu beras nasional. Klasifikasi lama yang membagi beras menjadi premium dan medium akan diganti menjadi dua jenis, yakni beras reguler dan beras khusus. Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, menyampaikan bahwa kebijakan ini akan berdampak besar pada penggilingan padi skala kecil.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut Suroto, penghapusan klasifikasi beras premium dan medium akan langsung memengaruhi daya serap penggilingan kecil terhadap gabah kering giling (GKG). Ia menyebut bahwa saat ini penggilingan skala kecil menyerap sekitar 60 persen dari total penggilingan GKG. “Otomatis serapannya akan turun,” kata Suroto kepada Tempo pada Sabtu, 2 Agustus 2025.
Jika klasifikasi diganti dengan standar tunggal berkualitas tinggi, hanya penggilingan besar yang mampu bertahan karena didukung teknologi dan investasi mesin modern. Suroto menjelaskan bahwa efisiensi mesin canggih membuat mutu beras hasil penggilingan besar menjadi lebih baik dibanding penggilingan kecil yang masih tradisional.
Lebih lanjut, Suroto memperingatkan bahwa penggilingan kecil akan kesulitan bersaing. “Penggilingan skala kecil akan segera gulung tikar,” ujarnya. Hal ini menjadi kekhawatiran serius mengingat penggilingan kecil berperan besar dalam rantai distribusi beras nasional.
Mayoritas Penggilingan Skala Kecil
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menambahkan bahwa pengambilan kebijakan perberasan sangat kompleks. Hal ini karena beras menyangkut kebutuhan pokok hampir 285 juta penduduk, serta nasib petani dan pelaku industri penggilingan padi.
Khudori mengungkapkan bahwa 95 persen dari sekitar 169 ribu unit penggilingan padi di Indonesia tergolong skala kecil. Sisanya, 4,32 persen merupakan penggilingan menengah dan hanya 0,62 persen yang tergolong skala besar. Data ini menunjukkan dominasi penggilingan kecil di sektor perberasan nasional.
Dalam menentukan kebijakan, menurut Khudori, pemerintah perlu mempertimbangkan ketimpangan antar skala usaha. Penggilingan kecil sulit menghasilkan beras berkualitas baik dengan biaya rendah, ditambah tingkat kehilangan hasil yang tinggi, banyaknya butir patah, dan rendahnya rendemen.
Sebaliknya, penggilingan besar, terutama yang terintegrasi, bisa menghasilkan beras berkualitas tinggi dengan efisiensi tinggi pula. “Higienitas dan kualitas beras dari penggilingan besar jauh lebih baik,” ujar Khudori pada Kamis, 31 Juli 2025.
Empat Opsi Klasifikasi Baru
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menyampaikan bahwa pihaknya telah menyiapkan empat opsi penyederhanaan klasifikasi beras menjadi beras reguler dan khusus. Harga eceran tertinggi (HET) hanya akan berlaku untuk beras reguler, sedangkan beras khusus bebas harga namun memerlukan sertifikat mutu dari pelaku usaha.
Keempat opsi ini telah diajukan kepada Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan atau Zulhas. Arief mengatakan bahwa Zulhas perlu waktu untuk mempelajari semua opsi tersebut secara mendalam. “Mungkin beliau juga akan lapor ke Pak Presiden,” kata Arief di Jakarta pada Selasa, 29 Juli 2025.
Arief belum mengungkapkan rincian dari keempat opsi tersebut. Ia hanya menyatakan bahwa kebijakan akhir akan memperhatikan kepentingan masyarakat dan pelaku usaha. “Harga terlalu tinggi memberatkan masyarakat, terlalu rendah merugikan penggiling,” ujarnya.
Sebelumnya, Zulhas menyebut bahwa pemerintah berencana membagi beras menjadi dua kategori, yakni beras biasa dan beras khusus. Kategori beras khusus mencakup varietas tertentu seperti ketan atau beras impor seperti basmati dan japonica.
Terkait penentuan harga, Zulhas mengatakan masih akan dibahas dalam rapat bersama Bapanas. “Apakah Rp 13 (ribu), apakah Rp 13,5 (ribu), apakah Rp 12,5 (ribu), nanti akan diputuskan oleh Bapanas,” ujarnya pada Jumat, 25 Juli 2025.
Zulhas menyatakan kebijakan ini diambil setelah ditemukan praktik pengoplosan beras di lapangan. Banyak produsen menjual beras medium dalam kemasan premium. “Karena di kantongnya bagus mengkilap, padahal isinya tidak sesuai,” katanya.
Pada hari yang sama, Arief mengatakan akan menyesuaikan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) yang mengatur mutu beras. “Harganya nanti ada maksimumnya. Kualitasnya, ya, pasti kalau kadar air 14 kan wajib,” ujarnya.
Perbadan Nomor 2 Tahun 2023 saat ini menetapkan tujuh parameter mutu pada empat kelas beras: premium, medium, submedium, dan pecah. Kadar air maksimal ditetapkan 14 persen, sedangkan derajat sosoh maksimal adalah 95 persen.
Untuk butir menir, beras premium dibatasi maksimal 0,5 persen, medium maksimal 2 persen. Sementara butir patah, premium maksimal 15 persen dan medium hingga 25 persen.
Penyederhanaan klasifikasi ini akan memengaruhi seluruh rantai pasok perberasan, termasuk harga, mutu, serta struktur pelaku usaha. Pemerintah berharap kebijakan ini memberi keadilan sekaligus efisiensi.
dari seluruh wacana ini adalah adanya dinamika kebijakan yang berdampak luas terhadap industri penggilingan, khususnya skala kecil yang mayoritas mendominasi jumlah pelaku usaha. Jika tidak hati-hati, transisi klasifikasi beras bisa memperparah ketimpangan.
Kebijakan pemerintah terkait penyederhanaan klasifikasi beras harus mempertimbangkan dampaknya terhadap seluruh pelaku usaha, termasuk penggilingan padi kecil. Penyesuaian ini perlu memperhatikan akses teknologi dan perlindungan usaha kecil.
Ketimpangan teknologi dan daya saing bisa memicu tutupnya penggilingan kecil jika kebijakan tidak berpihak atau tidak menyediakan perlindungan yang memadai. Pemerintah harus mencari keseimbangan antara kepentingan konsumen dan pelaku usaha kecil.
Serapan gabah oleh penggilingan kecil yang cukup besar selama ini harus menjadi pertimbangan penting agar ketahanan pangan dan distribusi beras tetap stabil dan merata. Ketimpangan harga juga harus dihindari demi keadilan sosial.
Saran yang dapat dipertimbangkan adalah agar pemerintah menyediakan insentif teknologi atau subsidi peralatan bagi penggilingan kecil agar mampu memenuhi standar mutu. Selain itu, pelatihan dan pendampingan dapat memperkuat daya saing mereka.
Kebijakan klasifikasi harus diuji publik terlebih dahulu untuk melihat dampak riilnya di lapangan sebelum diterapkan secara penuh. Pemerintah juga perlu mengawasi ketat praktik pengoplosan beras yang merugikan konsumen dan pelaku usaha.
Sistem sertifikasi beras khusus harus mudah diakses dan tidak membebani pelaku usaha kecil. Dengan sistem yang transparan, diharapkan pasar beras menjadi lebih adil dan bebas dari manipulasi mutu dan harga.
HET untuk beras reguler harus tetap mempertimbangkan dinamika biaya produksi, agar pelaku usaha tidak tertekan. Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan beras reguler dengan harga terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Langkah penyederhanaan klasifikasi beras bisa menjadi peluang perbaikan jika diterapkan secara bijak. Namun, pemerintah harus memastikan tidak ada pihak yang dirugikan, terutama kelompok usaha kecil yang rentan terhadap perubahan kebijakan.
Penggilingan padi kecil, meskipun skala usaha terbatas, memiliki kontribusi signifikan dalam rantai pangan nasional. Perlindungan terhadap eksistensi mereka harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan yang diambil.(*)


























