Jakarta, EKOIN.CO – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Kementerian Luar Negeri mulai menyusun naskah kebijakan untuk memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia. Agenda tersebut dimulai pada Senin, 14 Juli 2025 di Gedung B.J. Habibie, Jakarta.
Kolaborasi ini bertujuan meningkatkan ekspor Indonesia ke negara-negara non-tradisional. Fokus utama adalah menyusun strategi ekspor dengan menyesuaikan kondisi global dan mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat dan Tiongkok.
Direktur Kebijakan Ekonomi BRIN, Anugerah Widiyanto, menyebut bahwa strategi ini sangat krusial pasca rencana tarif impor 32 persen oleh Presiden AS Donald Trump terhadap produk asal Indonesia.
“Keberhasilan Indonesia menembus pasar ekspor yang lebih luas hingga ke negara-negara non-tradisional diharapkan berkontribusi pada surplus neraca perdagangan, yang akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Anugerah.
Ia menambahkan, diplomasi ekonomi telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 sebagai bagian dari arah kebijakan luar negeri Indonesia.
Fokus Pasar Global Non-Tradisional
Saat ini, ekonomi global terguncang oleh proteksionisme perdagangan AS, ketegangan geopolitik, dan disrupsi rantai pasok. Oleh karena itu, BRIN bersama Kemlu menekankan pentingnya langkah strategis dalam merespons situasi tersebut.
Anugerah menyampaikan bahwa salah satu cara adalah memperkuat kemitraan dengan negara-negara non-tradisional. Hal ini sejalan dengan arah investasi luar negeri (outbound investment) Indonesia di masa depan.
Made Priyadi Sentanajaya, Plt. Kepala Pusat SK-IKAD Kemlu, mengatakan naskah kebijakan ini akan memperkuat fondasi diplomasi ekonomi menuju pertumbuhan ekonomi delapan persen sebagaimana ditargetkan Presiden Prabowo.
“Fenomena tarif Trump menjadi pembelajaran bahwa kita harus mulai mempersiapkan secara serius strategi untuk meningkatkan ekspor ke pasar-pasar non-tradisional,” ungkap Made.
Menurutnya, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin adalah pasar alternatif yang menjanjikan di tengah dinamika global saat ini.
Identifikasi Produk Ekspor Unggulan
Made menekankan pentingnya pemanfaatan market intelligence, penguatan kelembagaan Indonesian AID, dan diplomasi aktif untuk menjangkau kawasan tersebut. Strategi ini menjadi modal dalam menata arah ekspor yang lebih terarah.
Sementara itu, Ketua Tim Kebijakan Ekonomi BRIN, Yulia Setia Lestari, menyampaikan bahwa penyusunan naskah kebijakan akan berlangsung dari Juli hingga Desember 2025.
Fokus kebijakan ditujukan pada identifikasi peluang pasar dan penguatan daya saing produk ekspor nasional di negara-negara yang selama ini belum menjadi mitra dagang utama Indonesia.
“Selama ini kita selalu berfokus pada Amerika dan China. Padahal banyak negara lain yang berpotensi menjadi pasar penting ekspor kita,” kata Yulia.
Yulia menjelaskan bahwa proses identifikasi pasar akan memakai metode structural match index dan demand index untuk menentukan negara prioritas.
Strategi Pemilihan Negara dan Produk Ekspor
Dari hasil seleksi awal, kemungkinan akan muncul sekitar 50 negara potensial. Negara-negara ini akan dipersempit lagi berdasarkan kecocokan permintaan dan potensi produk Indonesia.
Yulia mengungkapkan bahwa pihaknya juga akan melihat indeks daya saing seperti RCA dan RCA-CMSA, serta mencermati produk impor terbesar dari negara-negara tujuan ekspor.
“Dengan begitu, kita dapat melihat produk apa saja dari Indonesia yang berpotensi masuk dan bersaing di negara tersebut,” jelasnya.
Langkah terakhir adalah menganalisis hambatan tarif dan non-tarif yang mungkin menghalangi masuknya produk Indonesia ke pasar non-tradisional tersebut.
“Diharapkan, kajian ini akan menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan yang akan dijalankan oleh Kementerian dan Lembaga terkait,” tandas Yulia.
Inisiatif kolaborasi BRIN dan Kemlu mencerminkan keseriusan Indonesia dalam menyusun strategi ekspor yang adaptif terhadap dinamika global. Dengan memperluas fokus ke pasar non-tradisional, Indonesia berupaya mengurangi risiko ketergantungan pada negara mitra utama.
Strategi yang diusulkan tidak hanya memperhatikan potensi pasar, namun juga menyelami hambatan perdagangan yang bersifat tarif dan non-tarif. Hal ini dilakukan dengan analisa menyeluruh yang memanfaatkan indeks kecocokan struktural dan permintaan.
Rangkaian kajian ini diharapkan mampu melahirkan kebijakan diplomasi ekonomi yang konkret. Dengan begitu, pertumbuhan ekspor nasional dapat menyentuh wilayah baru, sekaligus menjaga daya saing Indonesia di tengah transformasi global.(*)