Jakarta, EKOIN.CO – Transformasi digital telah mengubah cara lembaga nonprofit menjalin komunikasi dengan publiknya. Dalam konteks ini, humas digital menjadi alat strategis dalam membangun citra lembaga, meningkatkan keterlibatan publik, serta memperkuat relasi dengan pemangku kepentingan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi komunikasi humas digital yang diterapkan oleh lembaga nonprofit dalam menghadapi dinamika komunikasi publik di era digital. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dan wawancara semi-terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan media sosial, website, dan platform pesan instan memberikan dampak signifikan dalam penyebaran informasi, membangun kepercayaan, serta mendorong partisipasi publik terhadap program-program lembaga. Temuan ini menggarisbawahi pentingnya peran humas digital sebagai jembatan antara organisasi dan masyarakat dalam mencapai tujuan sosial secara efektif.
PENDAHULUAN
Dalam era digital saat ini, kemajuan teknologi informasi telah mengubah lanskap komunikasi organisasi, termasuk dalam praktik kehumasan. Humas (public relations) yang sebelumnya berfokus pada media konvensional seperti surat kabar, radio, dan televisi, kini telah bertransformasi ke dalam bentuk digital dengan memanfaatkan media sosial, website, dan platform digital lainnya sebagai sarana utama komunikasi. Perubahan ini mendorong lembaga-lembaga, termasuk lembaga nonprofit, untuk menyesuaikan diri agar dapat menjangkau publik secara lebih luas, efisien, dan interaktif. Menurut Adegbola dan Gearhart (2019) dalam jurnal Journal of Public Interest Communications, humas digital tidak hanya bertugas menyebarkan informasi, tetapi juga membangun relasi jangka panjang melalui keterlibatan aktif dan dialogis dengan publik sasaran.
Lembaga nonprofit memiliki peran penting dalam masyarakat, terutama dalam menjawab isu-isu sosial, kemanusiaan, dan pendidikan. Namun, tantangan yang dihadapi oleh lembaga nonprofit sangat beragam, mulai dari keterbatasan dana, minimnya sumber daya manusia, hingga kurangnya eksposur media. Oleh karena itu, penggunaan strategi komunikasi humas digital menjadi salah satu solusi strategis untuk mengatasi hambatan tersebut dan membangun citra positif lembaga di mata publik. Komunikasi digital memungkinkan lembaga untuk menyampaikan pesan secara langsung kepada masyarakat, menunjukkan transparansi, serta membangun kepercayaan melalui narasi-narasi inspiratif dan humanis yang dikemas secara kreatif. Hal ini diperkuat oleh studi dari Waters dan Jamal (2011) yang menunjukkan bahwa kehadiran organisasi nonprofit di media sosial dapat meningkatkan partisipasi publik, donasi, serta memperkuat loyalitas stakeholders.
Namun demikian, penerapan strategi komunikasi humas digital tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Lembaga nonprofit perlu memahami dinamika platform digital, perilaku audiens, serta mengembangkan konten yang tidak hanya menarik tetapi juga relevan dan mencerminkan nilai-nilai organisasi. Konsistensi dalam penyampaian pesan, pemilihan kanal komunikasi yang tepat, serta evaluasi berkala menjadi komponen penting dalam keberhasilan komunikasi digital. Dalam konteks ini, penelitian tentang strategi komunikasi humas digital di lembaga nonprofit menjadi krusial untuk mengidentifikasi praktik-praktik terbaik dan kendala yang mungkin dihadapi. Sebagaimana dikemukakan oleh Lovejoy dan Saxton (2012) dalam jurnal Public Relations Review, komunikasi digital pada lembaga nonprofit bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga menciptakan keterlibatan yang bermakna sebagai landasan dalam membangun reputasi dan citra lembaga secara berkelanjutan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk memahami secara mendalam strategi komunikasi public relations (PR) digital dalam konteks lembaga nonprofit. Pendekatan ini dipilih karena bersifat eksploratif dan interpretatif, yang memungkinkan peneliti menggali makna dan dinamika sosial dari aktivitas komunikasi digital yang dilakukan lembaga. Fokusnya adalah pada bagaimana lembaga membangun citra melalui media sosial, situs web, dan kanal digital lainnya. Pendekatan ini memungkinkan penggambaran pola komunikasi, jenis pesan yang digunakan, serta respons publik secara kontekstual (Grunig & Dozier, 2020).
Lokasi dan subjek penelitian ditentukan secara purposive, yaitu memilih lembaga nonprofit yang aktif dalam komunikasi digital dan memiliki dokumentasi strategi yang baik. Informan dipilih dari staf humas dan stakeholder eksternal seperti donatur dan penerima manfaat. Teknik pengumpulan data meliputi wawancara mendalam, observasi non-partisipatif, dan dokumentasi. Wawancara digunakan untuk menggali strategi komunikasi, sementara observasi dan dokumentasi berfungsi memperkuat pemahaman tentang praktik komunikasi nyata lembaga (Yin, 2020).
Data dianalisis menggunakan metode analisis tematik dengan langkah-langkah seperti transkripsi, koding, dan interpretasi temuan. Validitas data dijaga melalui triangulasi sumber dan teknik, serta member check dengan informan agar hasil benar-benar mencerminkan realitas di lapangan. Dengan proses ini, penelitian diharapkan mampu memberikan gambaran utuh tentang efektivitas strategi PR digital dalam membentuk citra positif lembaga nonprofit (Nowell et al., 2017).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Strategi Komunikasi Digital dalam Menyampaikan Misi Sosial
Strategi komunikasi digital yang dijalankan oleh lembaga nonprofit dalam menyampaikan misi sosialnya sangat bergantung pada kejelasan narasi yang disampaikan kepada publik. Menurut penelitian Patrut & Patrut (2020), penggunaan media digital memungkinkan organisasi nonprofit menyampaikan pesan dengan cara yang lebih kreatif, menarik, dan berorientasi pada emosi publik. Lembaga yang menjadi objek penelitian ini memanfaatkan berbagai platform digital seperti Instagram, YouTube, dan website untuk menyampaikan nilai-nilai utama mereka, seperti transparansi, kebermanfaatan, dan partisipasi sosial. Konten-konten ini dikemas dalam bentuk storytelling visual, testimoni penerima manfaat, hingga video kegiatan yang mampu menumbuhkan empati dan rasa keterlibatan audiens.
Strategi komunikasi ini tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan informasi, tetapi juga sebagai alat membangun koneksi emosional dengan publik. Narasi yang digunakan tidak bersifat formal dan birokratis, melainkan lebih humanis dan menyentuh sisi personal audiens. Hal ini sesuai dengan konsep komunikasi partisipatoris, di mana komunikasi tidak hanya bersifat satu arah, tetapi juga membuka ruang dialog dan umpan balik. Dalam praktiknya, lembaga juga mengintegrasikan konten edukatif dengan ajakan untuk berdonasi, bergabung dalam gerakan sosial, atau menjadi relawan. Strategi semacam ini sangat efektif dalam memobilisasi dukungan publik karena memberikan rasa memiliki terhadap misi lembaga.
Penggunaan pendekatan digital ini juga memberikan fleksibilitas bagi lembaga dalam menyesuaikan pesan dengan segmentasi audiens yang berbeda. Mereka mampu mengatur konten berdasarkan waktu, tren digital, serta perilaku pengguna media sosial. Misalnya, pada momen-momen tertentu seperti Ramadhan atau hari kemanusiaan internasional, lembaga memaksimalkan engagement dengan menyampaikan program khusus yang sesuai dengan nilai-nilai publik. Efektivitas strategi ini dapat diukur dari peningkatan interaksi dan respon positif yang diperoleh dari setiap kampanye digital yang dijalankan.
Penggunaan Media Sosial sebagai Saluran PR Digital
Media sosial telah menjadi saluran utama bagi lembaga nonprofit untuk menjalankan fungsi kehumasan digital. Seperti dijelaskan oleh Lovejoy & Saxton (2012), media sosial memberi peluang besar bagi organisasi nonprofit untuk mengembangkan komunikasi interaktif, berbasis komunitas, dan berkelanjutan. Dalam penelitian ini, lembaga nonprofit menggunakan media sosial tidak hanya sebagai media promosi, tetapi juga untuk membangun relasi jangka panjang dengan audiens. Mereka aktif mengunggah konten setiap hari, membalas komentar dan pertanyaan audiens, serta membangun percakapan publik seputar isu-isu sosial yang mereka tangani.
Pengelolaan media sosial dilakukan dengan pendekatan profesional yang tidak kalah dari brand komersial. Mereka menggunakan jadwal konten (content calendar), desain visual yang konsisten, serta gaya bahasa yang sesuai dengan target audiens. Selain itu, mereka juga memanfaatkan fitur media sosial seperti Instagram Story, Facebook Live, dan fitur polling untuk meningkatkan partisipasi publik. Semua aktivitas ini menunjukkan bahwa lembaga menyadari pentingnya komunikasi dua arah dalam menjaga loyalitas dan keterlibatan masyarakat. Aktivitas media sosial juga dijadikan sebagai alat dokumentasi publik atas seluruh kegiatan lembaga, yang dapat diakses dan dipantau secara terbuka.
Salah satu keberhasilan PR digital melalui media sosial terlihat dari tingginya tingkat engagement dan penyebaran informasi oleh publik sendiri. Banyak pengguna media sosial yang dengan sukarela membagikan ulang konten lembaga, memberi testimoni, atau mengajak orang lain untuk berdonasi. Ini menciptakan efek viral yang memperluas jangkauan komunikasi lembaga tanpa biaya tambahan. Oleh karena itu, penggunaan media sosial bukan sekadar simbol modernisasi, melainkan strategi komunikasi strategis yang sangat krusial dalam ekosistem lembaga nonprofit masa kini.
Membangun Citra dan Reputasi Melalui Strategi Digital
Citra organisasi nonprofit sangat ditentukan oleh bagaimana lembaga tersebut menampilkan diri di ruang digital. Dalam konteks ini, PR digital berfungsi sebagai instrumen utama dalam menciptakan persepsi publik yang positif. Menurut Waters et al. (2009), reputasi digital dibentuk melalui konsistensi pesan, keterbukaan informasi, serta kualitas interaksi dengan publik. Lembaga nonprofit yang diteliti berhasil membangun citra positif sebagai lembaga yang akuntabel dan responsif melalui aktivitas digital yang terstruktur. Transparansi dalam penggunaan dana, pelaporan kegiatan, dan publikasi dampak menjadi elemen utama yang ditekankan.
Citra positif ini juga diperkuat dengan strategi konten yang menampilkan kisah nyata penerima manfaat, capaian lembaga, dan peran aktif masyarakat dalam keberhasilan program. Pendekatan ini mampu menggeser persepsi publik terhadap lembaga nonprofit dari sekadar ‘penerima donasi’ menjadi agen perubahan sosial. Dengan demikian, PR digital berperan penting dalam proses branding sosial yang memperkuat posisi lembaga di tengah masyarakat. Hal ini sejalan dengan upaya lembaga untuk memperoleh kepercayaan jangka panjang, yang tidak hanya bersifat donasi sesaat tetapi juga dukungan strategis berkelanjutan.
Meskipun begitu, reputasi digital bersifat dinamis dan rentan terhadap isu negatif. Oleh karena itu, lembaga juga perlu membangun sistem monitoring dan respons krisis di ranah digital. Mereka perlu cepat merespons komentar negatif, isu hoaks, atau krisis kepercayaan yang mungkin muncul. Dengan manajemen reputasi yang tepat, lembaga nonprofit dapat menjaga kepercayaan publik dan memperluas jejaring sosial mereka melalui media digital yang kredibel dan transparan.
Hambatan dalam Implementasi PR Digital
Menurut Iswadi (2025), hambatan dalam implementasi strategi public relations digital pada lembaga nonprofit tidak bisa dihindari, terutama berkaitan dengan keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi. Tidak semua lembaga memiliki tenaga ahli komunikasi digital yang mampu mengelola berbagai platform secara efektif. Banyak kegiatan PR masih dijalankan oleh staf multitugas yang tidak memiliki latar belakang khusus di bidang komunikasi. Kondisi ini menyebabkan pesan-pesan yang disampaikan menjadi kurang optimal baik dari segi visual, narasi, maupun manajemen waktu.
Selain SDM, hambatan lainnya juga datang dari keterbatasan anggaran. Sebagian besar anggaran lembaga nonprofit dialokasikan untuk program utama, sehingga komunikasi digital seringkali hanya menjadi bagian pelengkap yang tidak terfasilitasi dengan baik. Akibatnya, akses terhadap software, platform manajemen media sosial, atau alat analitik menjadi terbatas. Hambatan ini mengurangi kemampuan lembaga dalam melakukan evaluasi efektivitas komunikasi digital dan penyesuaian strategi berdasarkan data.
Iswadi juga menyebut bahwa hambatan tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga kultural. Beberapa organisasi masih menganggap bahwa kehumasan adalah urusan sekunder, bukan bagian dari strategi inti. Akibatnya, komunikasi tidak dirancang secara strategis dan hanya bersifat responsif terhadap momen tertentu. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan perubahan paradigma internal lembaga bahwa PR digital adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi dan keberlanjutan organisasi nonprofit di era komunikasi digital.
Analisis Efektivitas Strategi PR Digital
Efektivitas strategi PR digital lembaga nonprofit dapat dilihat dari tiga indikator utama: keterlibatan publik, peningkatan citra lembaga, dan pertumbuhan dukungan sosial. Menurut studi oleh Nah & Saxton (2013), indikator efektivitas PR digital tidak hanya dilihat dari jumlah pengikut media sosial, tetapi juga seberapa dalam interaksi dan partisipasi yang terbangun. Dalam kasus lembaga yang dikaji, efektivitas terlihat dari tingginya respons terhadap kampanye digital, baik berupa komentar, donasi, maupun dukungan partisipatif seperti menjadi relawan atau membagikan konten secara organik.
Indikator kedua adalah persepsi publik terhadap lembaga, yang tercermin dari reputasi digital dan kepercayaan masyarakat. Citra positif yang dibangun melalui komunikasi transparan dan narasi sosial terbukti mampu meningkatkan kredibilitas lembaga. Banyak audiens menganggap lembaga sebagai mitra sosial yang relevan dan berdampak nyata, bukan hanya penyalur dana. Efektivitas ini diperkuat dengan pelaporan kegiatan yang sistematis, penggunaan media visual yang kuat, serta konsistensi nilai yang ditunjukkan dalam setiap unggahan digital.
Indikator ketiga adalah konversi dari komunikasi digital ke tindakan nyata, seperti peningkatan jumlah donatur, kolaborator, dan jangkauan program. Dalam hal ini, PR digital tidak hanya menciptakan awareness, tetapi juga membentuk perilaku dan keputusan masyarakat untuk terlibat. Jika ketiga indikator ini tercapai, maka dapat disimpulkan bahwa strategi komunikasi humas digital yang diterapkan telah berjalan efektif, sekaligus menjadi fondasi strategis bagi keberlanjutan organisasi nonprofit tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Penelitian ini secara komprehensif mengungkap bahwa komunikasi humas digital telah menjadi tulang punggung dalam upaya membangun, mempertahankan, dan memperkuat citra lembaga nonprofit di era digital. Melalui penggunaan media sosial, website, dan kanal komunikasi digital lainnya, lembaga tidak hanya mentransmisikan informasi secara satu arah, tetapi juga mengupayakan keterlibatan aktif dari publik yang menjadi target komunikasi. Pendekatan komunikasi yang dialogis dan partisipatif ini menjadi fondasi penting dalam membentuk persepsi positif masyarakat terhadap eksistensi dan integritas lembaga nonprofit. Dalam konteks ini, strategi komunikasi humas digital terbukti mampu membangun koneksi emosional, menumbuhkan kepercayaan, serta meningkatkan visibilitas lembaga secara signifikan.
Lebih jauh, strategi yang diterapkan oleh lembaga nonprofit tidak semata-mata berorientasi pada kuantitas eksposur, tetapi lebih menekankan pada kualitas pesan, konsistensi nilai organisasi, dan relevansi konten yang disampaikan. Perencanaan komunikasi yang sistematis, pemilihan kanal yang sesuai, serta penyesuaian gaya bahasa dan visual dengan karakteristik audiens menjadi faktor kunci keberhasilan implementasi PR digital. Dalam prosesnya, lembaga juga dituntut untuk melakukan evaluasi rutin, seperti analisis keterlibatan pengguna (engagement), persepsi publik, serta pencapaian target komunikasi yang telah ditentukan. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan humas digital bukan hanya ditentukan oleh aktivitas komunikasi itu sendiri, melainkan juga oleh kemampuan organisasi dalam merancang strategi berbasis data dan kebutuhan audiens.
Terakhir, dapat disimpulkan bahwa transformasi digital telah membuka peluang besar bagi lembaga nonprofit untuk bersaing dalam ruang publik yang semakin kompleks dan padat informasi. Namun demikian, tantangan juga meningkat, terutama terkait dengan kecepatan penyebaran informasi negatif, noise digital, serta perubahan algoritma platform. Oleh sebab itu, peran humas digital bukan hanya sebagai komunikator, tetapi juga sebagai manajer reputasi, pengendali krisis, dan pengarah narasi organisasi. Lembaga nonprofit yang mampu memanfaatkan teknologi komunikasi digital secara adaptif dan strategis, serta menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam komunikasi publiknya, cenderung lebih mampu membangun dan mempertahankan citra yang kuat dan berkelanjutan. Dengan demikian, humas digital telah berevolusi dari fungsi pelengkap menjadi instrumen utama dalam menciptakan keunggulan komunikasi organisasi nirlaba di era informasi saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Lovejoy, Kristen, and Gregory D Saxton. “Information, Community, and Action: How Nonprofit Organizations Use Social Media.” Journal of Computer-Mediated Communication 17, no. 3 (2012): 337–53. https://doi.org/10.1111/j.1083-6101.2012.
Iswandi, I. (2025). Komunikasi Digital. PT Penerbit Qriset Indonesia.
Nah, S., & Saxton, G. D. (2013). Modeling the adoption and use of social media by nonprofit organizations. New Media & Society, 15(2), 294–313. https://doi.org/10.1177/1461444812452411
Patrut, B., & Patrut, M. (2020). Nonprofit organizations’ use of social media: Dialogic communication strategies for engaging stakeholders. International Journal of Communication, 14, 155–174. https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/12654
Waters, R. D., Burnett, E., Lamm, A., & Lucas, J. (2009). Engaging stakeholders through social networking: How nonprofit organizations are using Facebook. Public Relations Review, 35(2), 102–106. https://doi.org/10.1016/j.pubrev.2009.01.006
Adegbola, O., & Gearhart, S. (2019). Examining the relationship between media use and political engagement: A comparative study among the United States, Kenya, and Nigeria. International Journal of Communication, 13, 1231–1251.
Waters, R. D., & Jamal, J. Y. (2011). Tweet, tweet, tweet: A content analysis of nonprofit organizations’ Twitter updates. Public Relations Review, 37(3), 321–324. doi:10.1016/j.pubrev.2011.03.002
Grunig, J. E., & Dozier, D. M. (2020). Excellent Public Relations and Effective Organizations. Routledge.Nowell, L. S., Norris, J. M., White, D. E., & Moules, N. J. (2017). Thematic Analysis: Striving to Meet the Trustworthiness Criteria. International Journal of Qualitative Methods, 16(1), 1–13.
Yin, R. K. (2020). Case Study Research and Applications: Design and Methods (6th ed.). SAGE Publications.