Jakarta, EKOIN.CO – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengkritik langkah Kementerian Kebudayaan RI yang menulis ulang sejarah Indonesia.
Ia menilai penulisan yang nantinya akan ditetapkan sebagai sejarah resmi itu dapat mengarahkan Indonesia ke dalam sistem negara fasisme.
“Apakah tepat mengambil kebijakan menulis ulang sejarah untuk dijadikan sejarah resmi? Buat kami tidak, itu hanya negara-negara dengan sistem politik fasis. Fasisme itu punya beberapa unsur, otoritarianisme artinya pemerintahan terpusat, kuat, tidak ada oposisi, dan militerisme, dikendalikan dengan cara-cara militer,” ucap Usman saat berbincang dengan Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu, 18 Juni 2025, dan dikutip pada Kamis (19/6).
Menurut Usman, ciri-ciri negara dengan sistem fasisme yakni melakukan gerakan penyeragaman sejarah melalui klaim sejarah resmi yang menarasikan kebesarannya, sehingga mengakibatkan tumbuhnya kebanggaan nasional yang berlebihan dalam diri masyarakat.
“Hitler (Jerman) inginnya sejarah tunggal, Mussolini di Italia inginnya sejarah tunggal, sejarah resmi, Franco di Spanyol inginnya sejarah resmi,” kata dia.
“Itu bisa menimbulkan nasionalisme yang agresif, nasionalisme yang dalam istilah Sukarno, chauvinistic yang seolah-olah bangsa kita jauh lebih tinggi dari bangsa lain. Jadi fasis,” katanya menambahkan.
Diketahui, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengeluarkan kebijakan yang kontroversial melalui rencana penulisan ulang sejarah Indonesia. Penulisan akan disusun ke dalam 10 jilid besar yang mencakup sejarah Indonesia mulai dari prasejarah hingga era Presiden Joko Widodo.
Proyek itu segera diselesaikan karena akan menjadi hadiah saat Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-80 pada 17 Agustus 2025. Namun berbagai pihak menolak kebijakan tersebut karena dikhawatirkan hanya sesuai keinginan penguasa.
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak yang semula menjadi salah satu tim penulis akhirnya mengundurkan diri pada 22 Januari 2025.
Usman menjelaskan, dampak fasisme yang bisa ditimbulkan oleh sejarah resmi dapat dihindari dengan menulis sejarah dengan jujur, termasuk peristiwa kelam masa lalu seperti kerusuhan 1988, yakni penculikan aktivis mahasiswa, tragedi penembakan mahasiswa Tri Sakti, dan penindasan terhadap etnis Tionghoa.
“Nah itu harusnya menjadi bagian dari penulisan ulang sejarah. Jadi kekelaman masa lalu kita, termasuk (tahun) 65 pembunuhan orang-orang yang dianggap komunis,” kata jebolan Fakultas Hukum Universitas Tri Sakti itu.
Sejarah yang juga penting, Usman menjelaskan, yakni keterlibatan Indonesia dalam dunia Internasional, seperti konferensi Asia-Afrika dan kaitan Presiden Sukarno dengan pemimpin dunia di masanya.
“Sehingga generasi muda kita, sekolah-sekolah di lembaga pendidikan SD, SMP, SMA mengerti tentang sejarah bangsanya dalam sejarah dunia,” tuturnya.
Anggota Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) itu menambahkan, penulisan ulang sejarah terakhir dilakukan pada 2012 dengan judul buku Indonesia dalam Arus Sejarah. Buku ini menjadi rujukan pelajaran sejarah di sekolah, begitupun dengan sejarah baru yang akan diresmikan tersebut.
“Tidak apa-apa Kementerian Kebudayaan kalau misalnya mau meneruskan, tapi jangan dijadikan itu sebagai sejarah resmi. Nanti kasihan anak-anak sekolah kita,” katanya. ()