Jakarta EKOIN.CO – Komitmen Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dalam mengembangkan sepak bola wanita kembali menuai sorotan tajam. Sejak bergulir pertama kali pada 2019, kompetisi Liga 1 Putri hingga kini belum juga menemukan kejelasan, padahal ajang tersebut dianggap krusial dalam membentuk fondasi kuat bagi pembinaan pemain sepak bola wanita nasional.
Dalam beberapa pekan terakhir, perbincangan tentang masa depan Liga 1 Putri kembali mencuat setelah wacana penyelenggaraan ulang pada 2027 muncul ke permukaan. Wacana tersebut dinilai terlalu lamban dan memperlihatkan ketidaksiapan federasi dalam mengelola sepak bola wanita secara serius.
Perbandingan dengan Vietnam Makin Menyakitkan
Kontras dengan situasi di Indonesia, negara tetangga seperti Vietnam justru menunjukkan komitmen yang jelas dan berkelanjutan terhadap perkembangan sepak bola putri. Media Vietnam, Vietnamnews.vn, menilai bahwa kemajuan tak mungkin terjadi tanpa aksi nyata dan kerja keras dari federasi sepak bola negara bersangkutan.
Vietnam disebut sebagai contoh nyata dari investasi jangka panjang yang berhasil. Melalui program pelatihan terstruktur selama lebih dari 30 tahun, negara tersebut mampu mencetak sejarah dengan lolos ke Piala Dunia Wanita 2023 dan finis di posisi lima besar Piala Asia 2022.
Media Vietnam bahkan menerbitkan artikel berjudul “Aksi Lebih Keras Dibanding Kata-kata”, yang secara eksplisit mengkritik pendekatan pasif dalam pengembangan olahraga wanita. Mereka menyebut bahwa tanpa tindakan konkret, semua janji hanya akan menjadi slogan kosong.
Pernyataan tajam ini secara tidak langsung menyentil situasi di Indonesia, di mana sejak 2019 Liga 1 Putri belum kembali digelar. Absennya kompetisi rutin dianggap mematikan kesempatan regenerasi dan pembinaan pemain-pemain muda berbakat.
Dukungan Penuh Pemerintah Vietnam
Pemerintah Vietnam secara aktif mendorong pengembangan sepak bola wanita. Dukungan tidak hanya datang dari federasi sepak bola, tetapi juga dari pejabat negara. Presiden Vietnam, Nguyen Xuan Phuc, bahkan secara langsung memberikan penghargaan Labour Orders kepada para pemain dan pelatih timnas putri Vietnam.
Program latihan yang mereka jalankan juga mencakup pengiriman pemain ke luar negeri, seperti ke Spanyol, untuk memperluas pengalaman bertanding. Bahkan ketika pandemi COVID-19 melanda, program tetap berlanjut meski harus mengalami sejumlah penyesuaian.
Di sisi lain, Indonesia justru belum menunjukkan arah yang pasti. Infrastruktur pendukung seperti fasilitas latihan, pelatih bersertifikat, serta eksposur media yang memadai terhadap sepak bola wanita masih sangat terbatas.
Media olahraga Vietnam lainnya, Webthethao, juga menyoroti buruknya performa Timnas Putri Indonesia di ajang Kualifikasi Piala Asia Wanita 2026. Mereka menilai kekalahan tersebut merupakan bukti lemahnya sistem pembinaan di Tanah Air.
Alih-alih berbenah dan mempercepat pembangunan kompetisi, PSSI justru menunda pelaksanaan Liga 1 Putri hingga 2027. Namun, tidak ada penjelasan konkret soal persiapan atau rencana pelaksanaan liga tersebut dalam waktu dekat.
Situasi ini diperparah dengan rendahnya dukungan publik serta minimnya keterlibatan sponsor dalam mendukung sepak bola wanita di Indonesia. Hal ini semakin memperbesar tantangan yang dihadapi oleh pemain dan pelatih di level nasional.
Langkah-langkah sistematis yang dilakukan oleh federasi sepak bola Vietnam membuktikan bahwa pembangunan tidak hanya soal niat, melainkan juga aksi berkelanjutan yang konsisten dari waktu ke waktu.
Dengan semakin tertinggalnya sepak bola wanita Indonesia dari negara-negara ASEAN lain, pertanyaan besar muncul: apakah federasi benar-benar serius dalam membangun sepak bola wanita, atau hanya menjadikannya formalitas belaka?
Kritik dari media asing seperti yang dilansir Vietnamnews.vn seharusnya menjadi alarm keras bagi para pemangku kebijakan di Indonesia untuk mulai bergerak dan berhenti sekadar membuat janji.
Jika Indonesia ingin menyaingi Vietnam dan negara lainnya, maka pengembangan sepak bola wanita harus masuk dalam agenda utama federasi dan mendapatkan perhatian yang sama seriusnya dengan sepak bola pria.
Tanpa kehadiran kompetisi berkelanjutan seperti Liga 1 Putri, akan sangat sulit mencetak pemain berkualitas yang mampu bersaing di level Asia maupun dunia.
dari berbagai pihak seharusnya ditanggapi dengan langkah nyata, bukan sekadar rencana jangka panjang yang tidak memiliki arah pelaksanaan yang jelas.
Ke depan, federasi harus membuka ruang dialog dengan pelatih, pemain, dan penggiat sepak bola wanita untuk menyusun strategi bersama demi kemajuan olahraga ini.
Langkah paling awal adalah dengan memulai kembali Liga 1 Putri dalam waktu dekat, bukan menundanya hingga empat tahun ke depan tanpa kejelasan.
Kemitraan dengan pihak swasta, kolaborasi media, serta peran aktif pemerintah daerah juga perlu ditingkatkan guna memperkuat ekosistem sepak bola wanita secara nasional.
sepak bola wanita Indonesia tidak akan berkembang jika hanya mengandalkan niat tanpa tindakan konkret. Federasi harus menunjukkan kepemimpinan yang visioner dan berani mengambil langkah sulit untuk mewujudkan kompetisi yang kompetitif dan berkelanjutan.
Pemerintah pun sebaiknya memberikan dukungan nyata, seperti alokasi dana khusus, fasilitas latihan, hingga dukungan insentif kepada pemain muda dan pelatih wanita.
Media massa juga memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan ruang pemberitaan yang adil dan seimbang terhadap prestasi serta perjuangan atlet wanita.
Masyarakat harus didorong untuk memberikan dukungan moral, menciptakan atmosfer positif, serta menjadi bagian dari perubahan persepsi terhadap sepak bola wanita.
Jika langkah-langkah ini bisa diwujudkan secara terintegrasi, maka sepak bola wanita Indonesia akan memiliki masa depan yang lebih cerah dan mampu bersaing di level internasional. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v