Jakarta, EKOIN.CO – Tradisi Pacu Jalur, lomba perahu panjang khas Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, kembali mencuri perhatian dunia. Festival tahunan ini ramai diperbincangkan di media sosial karena kemegahan atraksinya dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Menyikapi fenomena tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengangkat tema “Populerkan Bahasa Daerah Melalui Budaya Lokal Pacu Jalur” dalam program BRIEF (BRIN Insight Every Friday) edisi ke-154. Diskusi ini digelar secara daring pada Jumat (25/7).
Salah satu narasumber utama, Devi Fauziyah Ma’rifat, Peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRIN, menyampaikan pentingnya Pacu Jalur sebagai simbol gotong royong masyarakat. “Semua warga terlibat dari awal pembuatan jalur hingga pelaksanaan lomba,” jelasnya.
Devi menjabarkan bahwa pacu berarti lomba dan jalur berarti perahu panjang. Ia menegaskan bahwa Pacu Jalur bukan sekadar ajang adu kecepatan, tetapi juga bentuk identitas lokal. Perahu terbuat dari kayu seperti kure, bonio, tonam, dan meranti.
Dalam perlombaan, satu perahu diisi 40 hingga 60 orang peserta yang disebut anak pacu. Perlombaan berlangsung di Sungai Indragiri, Batang Kuantan, dengan jarak sekitar satu kilometer dan diawali dengan tiga kali dentuman meriam.
Ritual dan Simbol Kebersamaan
Lebih lanjut, Devi menyampaikan bahwa proses pembuatan perahu diawali dengan upacara penebangan pohon. Dilanjutkan dengan pelayuran malam hari, yang dihadiri pejabat daerah, sekaligus sebagai momen warga menyuarakan aspirasi.
Setelah pelayuran, perahu dicat dan diberi nama, biasanya berdasarkan kejadian atau suasana saat pembuatan. Tradisi ini mempererat hubungan antarwarga dan memperkuat budaya lisan masyarakat setempat.
Masing-masing perahu memiliki peran penting, seperti Togak Luan (anak laki-laki penari), Anak Pacu (pendayung), Timbo Ruang (penyuplai semangat), dan Tukang Onjai (pengatur arah). Semuanya menunjukkan keterlibatan kolektif masyarakat.
Festival Pacu Jalur rutin digelar setiap Agustus dan berdampak signifikan terhadap pariwisata dan ekonomi lokal. Tradisi ini menjadi kebanggaan masyarakat dan mampu menghidupkan ekonomi mikro, seperti pedagang kaki lima dan penginapan.
Devi menekankan bahwa Pacu Jalur adalah bentuk nyata pelestarian bahasa daerah. “Bukan hanya lomba, tetapi juga alat pelestarian nilai dan bahasa yang diwariskan lintas generasi,” tutupnya.
Tradisi Pacu Jalur tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga kekuatan budaya yang mampu menyatukan masyarakat Kuantan Singingi. Nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap alam hadir dalam setiap tahap prosesi.
Partisipasi seluruh elemen masyarakat menegaskan bahwa Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan fisik, tetapi juga bentuk penghayatan terhadap identitas dan akar sejarah daerah. Setiap perahu adalah simbol kerja sama, harapan, dan kebanggaan kolektif.
Melalui forum BRIN, pentingnya pelestarian budaya lokal diperkuat sebagai upaya strategis membangkitkan bahasa daerah. Di tengah arus globalisasi, Pacu Jalur menjadi inspirasi bagaimana budaya dapat menjadi jembatan lintas generasi.(*)