Jakarta, EKOIN.CO – Korupsi dalam perspektif Islam tidak hanya dianggap sebagai kejahatan moral dan sosial, tetapi juga pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip syariat. Dalam berbagai nash Al-Qur’an dan hadits, perilaku korupsi ditegaskan sebagai perbuatan batil yang dilarang keras, serta dikategorikan sebagai bentuk pengkhianatan dan kezaliman terhadap sesama manusia.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Landasan Syariat Menentang Perilaku Korupsi
Islam menekankan bahwa harta yang diperoleh secara tidak sah adalah bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah. Hal ini ditegaskan dalam Surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi, “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil…” Ayat ini menjadi dasar utama dalam menolak segala bentuk pengambilan hak orang lain secara tidak benar.
Selain itu, Surat Ali Imran ayat 161 mengandung peringatan keras terhadap mereka yang melakukan penggelapan atau pencurian dalam konteks amanah. Disebutkan, “Barang siapa yang berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil pengkhianatannya.”
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Musyawarah Nasional tahun 2000 telah mengeluarkan fatwa bahwa korupsi adalah haram. Fatwa ini memperjelas bahwa korupsi merupakan pelanggaran terhadap hukum syariat dan wajib dihukum sesuai ketentuan Islam.
Dalam literatur Islam klasik maupun kontemporer, korupsi dikenal dengan berbagai istilah seperti ghulul, as-suht, gasab, dan as-sariqah. Istilah-istilah ini menjelaskan bentuk-bentuk penyelewengan yang mencakup penggelapan, pengambilan hak tanpa izin, dan pemanfaatan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang kami tugaskan suatu pekerjaan dan telah kami beri upahnya, maka apa yang diambilnya selain itu adalah harta yang curang.” Hadits ini mengindikasikan keharaman segala bentuk pengambilan manfaat pribadi di luar hak resmi.
Pandangan Ulama dan Literatur Hukum Islam
Nurjanah dalam bukunya Ekstradisi Pelaku Korupsi Menurut Hukum Islam menyebut bahwa korupsi adalah bentuk pencurian dengan penipuan yang mengkhianati amanah. Penjelasan ini menghubungkan korupsi dengan dosa besar yang merusak tatanan sosial.
Dalam buku Islamic Studies karya I.M. Ulum dan Dedi Muhammad Siddiq, dijelaskan bahwa korupsi merupakan bentuk pelanggaran nilai etika Islam yang fundamental. Mereka menyebutkan bahwa tindakan tersebut menodai prinsip keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam Islam.
Surat Al-Maidah ayat 42 turut mempertegas larangan terhadap perilaku memakan sesuatu yang haram, termasuk hasil korupsi. Ayat ini menyebutkan bahwa perilaku tersebut sejajar dengan kebohongan dan tipu daya, yang mendapat kutukan dalam syariat.
Dalam konteks sosial, korupsi menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan. Perilaku ini merugikan banyak pihak, khususnya masyarakat kecil yang bergantung pada layanan publik yang semestinya adil dan merata.
Islam menuntut kejujuran dan integritas sebagai bagian dari keimanan. Rasulullah SAW dalam berbagai hadits menyampaikan bahwa orang yang tidak jujur tidak akan masuk surga, menunjukkan betapa pentingnya sikap jujur dan amanah.
Korupsi dipandang sebagai bentuk kedzaliman yang sangat dilarang dalam Islam. Pelakunya dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan yang diberikan masyarakat maupun negara.
Upaya pemberantasan korupsi dalam konteks Indonesia perlu menempatkan ajaran agama sebagai pilar utama pendidikan antikorupsi. Pendidikan agama dapat menjadi sarana penting untuk membentuk karakter individu yang bersih dan berintegritas.
Selain penegakan hukum oleh aparat negara, pendekatan keagamaan memberikan dimensi spiritual yang mendorong pelaku menjauhi perbuatan tercela. Pendekatan ini dianggap lebih menyentuh hati nurani masyarakat.
MUI secara eksplisit menegaskan bahwa pelaku korupsi wajib dihukum secara tegas, baik melalui sistem hukum negara maupun mekanisme sanksi sosial dalam komunitas Muslim.
Hukum Islam memandang bahwa tidak cukup hanya dengan meminta maaf atau mengembalikan harta, tetapi pelaku korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia dan akhirat.
Penguatan nilai-nilai antikorupsi melalui dakwah dan ceramah keagamaan penting dilakukan di masjid, sekolah, dan ruang publik lainnya. Ini bisa menjadi sarana pengingat terus-menerus bagi masyarakat.
Islam tidak sekadar melarang, tetapi juga memberikan solusi dengan menanamkan prinsip qana’ah (puas dengan rezeki halal), amanah (bertanggung jawab), dan iffah (menjaga kehormatan dari harta haram).
Kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga publik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana mereka menjauhi praktik korupsi. Oleh karena itu, reformasi birokrasi berbasis nilai-nilai keislaman bisa menjadi langkah strategis.
Penanaman akhlak Islami sejak dini di lingkungan keluarga dan pendidikan formal sangat penting dalam membentuk generasi yang sadar hukum dan antikorupsi.
Dalam tatanan masyarakat madani, nilai keadilan dan tanggung jawab sosial merupakan pondasi yang tidak boleh dikompromikan. Korupsi telah menciderai nilai ini dan menghambat tercapainya kesejahteraan umum.
Kerja sama antara pemerintah, organisasi keagamaan, dan masyarakat sipil menjadi kunci dalam menciptakan budaya nol toleransi terhadap korupsi.
Penerapan prinsip hisbah (pengawasan moral dalam Islam) juga dapat dikembangkan dalam bentuk modern untuk mengawasi transparansi dan akuntabilitas di sektor publik.
korupsi dalam pandangan Islam merupakan perbuatan yang sangat tercela dan berdampak luas terhadap kehidupan umat. Larangan tegas dalam Al-Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa pelaku harus bertanggung jawab secara hukum dan moral. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antarmanusia yang adil dan bermartabat.
Untuk mengatasi permasalahan korupsi di Indonesia, pendekatan keagamaan harus diperkuat dengan edukasi yang menyentuh akhlak dan etika publik. Penanaman nilai-nilai Islami menjadi pondasi dalam mencegah munculnya koruptor baru dari generasi muda.
Strategi pemberantasan korupsi juga perlu disinergikan dengan penguatan sistem hukum dan pengawasan internal yang tegas. Islam memberikan arahan jelas tentang perlunya sistem yang adil dan tidak berpihak dalam menindak pelanggaran.
Upaya kolektif semua pihak, termasuk tokoh agama, pemimpin masyarakat, dan aparat penegak hukum, diperlukan agar kepercayaan publik terhadap institusi negara tidak terus terkikis.
Dengan terus menegakkan nilai-nilai integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sesuai tuntunan Islam, Indonesia diharapkan dapat terbebas dari jerat korupsi yang selama ini menghambat kemajuan bangsa.(*)