Jakarta, EKOIN.CO – Layanan internet satelit Starlink resmi menghentikan pendaftaran pelanggan baru di Indonesia akibat kapasitasnya yang telah penuh. Informasi ini diumumkan melalui situs resmi Starlink pada Minggu, 13 Juli 2025, dan menjadi sorotan berbagai pihak karena menyangkut akses internet masyarakat luas, khususnya di wilayah terpencil.
Kapasitas satelit orbit rendah milik Elon Musk tersebut telah mencapai batas maksimal. Starlink menyebutkan layanan tidak tersedia lagi bagi pelanggan baru di Indonesia karena seluruh kapasitas telah terjual habis. Aktivasi perangkat baru juga dihentikan, termasuk pembelian melalui toko ritel dan pihak ketiga.
Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), satu satelit Starlink memiliki kapasitas throughput hingga 23,7 Terabits per second (Tbps). Meski lebih besar dari pesaingnya seperti OneWeb dan Telesat, kapasitas itu tidak mampu menampung lonjakan permintaan di Indonesia.
Situs resmi Starlink menyampaikan bahwa calon pelanggan dapat melakukan deposit untuk masuk daftar tunggu. Namun, perusahaan belum bisa memberikan estimasi waktu ketersediaan layanan kembali. Tim teknis disebut sedang bekerja sama dengan otoritas Indonesia untuk mengatasi kendala ini.
Penumpukan di Wilayah Padat
Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, Ian Yosef M. Edward, menyatakan bahwa kondisi ini sudah dapat diprediksi. Ia menyoroti ketimpangan distribusi bandwidth karena Starlink lebih banyak menyasar wilayah perkotaan dan daerah yang telah dijangkau fiber optik.
Menurut Ian, pembatasan ini sangat merugikan masyarakat, terutama yang berada di wilayah rural dan belum terjangkau layanan internet kabel. Ia juga mempertanyakan komitmen Starlink terhadap regulasi lokal, terutama kewajiban Universal Service Obligation (USO) yang bertujuan menjangkau daerah tertinggal.
Dengan harga perangkat mulai dari Rp4,6 juta dan biaya langganan bulanan Rp750 ribu, Ian menyebut Starlink berfokus pada pasar gemuk dan mengabaikan pemerataan akses digital. Hal ini, katanya, bertentangan dengan izin labuh dan frekuensi yang telah diberikan oleh pemerintah Indonesia.
Ia menambahkan bahwa pembangunan hub internet juga terancam gagal akibat kebijakan pembatasan ini. Selain itu, nilai jual perangkat VSAT lokal ikut terdampak karena sistem operasional Starlink tidak dikembangkan di dalam negeri.
Ian mendorong pemerintah untuk meninjau ulang izin dan komitmen Starlink. Ia menyatakan bahwa seharusnya sejak awal ditentukan berapa banyak trafik yang dialokasikan untuk Indonesia agar adil dan seimbang sesuai dengan kapasitas bandwidth yang dimiliki.
Seruan Keadilan Akses Digital
Kepala Bidang Media Asosiasi Satelit Indonesia (Assi), Firdaus Adinugroho, meminta para pengguna Starlink untuk menunggu kejelasan dari pihak perusahaan dan otoritas terkait sebelum mengambil langkah lanjutan. Ia juga mendorong pemerintah untuk memprioritaskan wilayah 3T dalam alokasi kapasitas internet berbasis satelit.
Menurut Firdaus, prinsip pemerataan digital harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan konektivitas nasional. Ia mengingatkan pentingnya melindungi industri satelit dalam negeri agar tetap kompetitif dan berkelanjutan, demi menjaga kedaulatan digital nasional.
Firdaus juga menegaskan bahwa hukum ekonomi tetap berlaku. Saat permintaan tinggi dan suplai terbatas, harga layanan bisa naik. Namun, peningkatan harga Starlink tidak bisa dilakukan secara sepihak karena terdapat kompetitor lain di pasar Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa pelanggan biasanya terikat kontrak, sehingga perubahan tarif di tengah masa layanan harus tunduk pada perjanjian yang telah disepakati. Bila harga naik tanpa dasar, pelanggan berhak mengalihkan layanan ke penyedia lain.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyambut baik langkah penghentian pendaftaran baru demi menjaga kualitas layanan. Ia menilai keputusan tersebut penting agar pelanggan lama tidak mengalami penurunan kualitas akibat kelebihan beban jaringan.
Heru menyebut bahwa kebijakan ini dapat membuka ruang kompetisi baru di pasar layanan internet Indonesia. Ia menilai peluang terbuka lebar bagi penyedia layanan satelit maupun seluler lain untuk menjangkau masyarakat yang belum memiliki akses internet stabil.
Dengan dihentikannya ekspansi Starlink untuk sementara waktu, perusahaan lokal maupun asing yang memiliki teknologi satelit atau jaringan seluler bisa mengambil peran lebih besar dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Saran:
Pemerintah perlu mengevaluasi ulang perizinan dan kewajiban operator asing seperti Starlink, agar tetap sejalan dengan tujuan pemerataan konektivitas nasional. Diperlukan regulasi yang lebih ketat agar penyedia layanan global tetap memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan infrastruktur digital di daerah terpencil.
Selain itu, pemerintah harus mengoptimalkan program USO dan mendorong partisipasi seluruh penyedia layanan, termasuk Starlink, untuk menyasar wilayah 3T. Ini penting demi tercapainya transformasi digital yang merata dan berkeadilan di seluruh Indonesia.
Langkah mitigasi seperti pengawasan distribusi bandwidth serta transparansi kapasitas yang dialokasikan harus menjadi perhatian. Tanpa itu, potensi digitalisasi nasional bisa terganggu akibat ketimpangan akses layanan.
Industri lokal juga perlu diperkuat agar bisa bersaing secara adil. Pemerintah harus mendorong inovasi dan investasi dalam sektor satelit nasional guna mengurangi ketergantungan terhadap layanan asing.
Penting pula menjaga daya saing dan hak konsumen. Kontrak layanan harus jelas, dan pengawasan atas perubahan harga atau kualitas layanan perlu ditingkatkan agar masyarakat tidak dirugikan.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v