Bekasi, EKOIN.CO – Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan transformasi besar dalam praktik komunikasi manusia. Perubahan ini tidak hanya menyentuh aspek teknis, tetapi juga memengaruhi struktur sosial, budaya, dan psikologis masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara konseptual transformasi pola komunikasi masyarakat, khususnya melalui media sosial, berdasarkan pendekatan literatur dari karya Yasraf Amir Piliang dan Rulli Nasrullah. Dengan metode studi pustaka, artikel ini mengkaji konsep hiper-realitas, identitas digital, dan implikasi etika dalam komunikasi digital. Hasil kajian menunjukkan bahwa komunikasi digital tidak hanya memperluas jangkauan komunikasi, tetapi juga menciptakan ruang baru yang merekonstruksi cara individu berinteraksi, membentuk identitas, dan menyampaikan pesan. Artikel ini menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap komunikasi digital secara kritis diperlukan agar masyarakat mampu beradaptasi dan bertanggung jawab dalam ekosistem informasi yang semakin kompleks.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi digital, khususnya internet dan media sosial, telah merevolusi cara manusia berkomunikasi. Dulu, komunikasi terbatas oleh ruang dan waktu serta membutuhkan kehadiran fisik atau perantara seperti surat dan telepon. Kini, komunikasi dapat dilakukan secara instan, cepat, dan global hanya dengan sentuhan jari melalui berbagai platform digital seperti WhatsApp, Instagram, TikTok, dan Twitter (kini X).
Fenomena ini tidak hanya mengubah medium komunikasi, tetapi juga mempengaruhi isi pesan, bentuk interaksi, serta pembentukan identitas sosial dan budaya. Komunikasi di era digital tidak lagi bersifat satu arah seperti media massa konvensional, tetapi bersifat dua arah, partisipatif, bahkan multi-arah (many-to-many). Setiap individu kini dapat menjadi produsen sekaligus konsumen informasi (prosumer), sebagaimana dikemukakan oleh Alvin Toffler (1980).
Menurut Nasrullah (2015), komunikasi digital adalah proses penyampaian pesan melalui media berbasis teknologi informasi yang memungkinkan partisipasi aktif dan kolaborasi real-time. Hal ini menandai pergeseran dari model komunikasi linier ke model komunikasi interaktif. Yasraf Amir Piliang (2019) menambahkan bahwa komunikasi digital merupakan bagian dari kehidupan postmodern yang memunculkan hiper-realitas, yaitu dunia virtual yang seringkali lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji lebih dalam bagaimana transformasi pola komunikasi terjadi dan apa dampaknya terhadap masyarakat, khususnya generasi muda yang merupakan pengguna terbesar media sosial. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan kajian teoritis terhadap perubahan tersebut berdasarkan literatur dan referensi otoritatif di bidang komunikasi digital.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka (library research), yaitu dengan mengkaji literatur-literatur relevan yang berkaitan dengan komunikasi digital, interaksi media sosial, dan identitas virtual. Sumber data utama berasal dari:
- Buku Komunikasi Digital karya Yasraf Amir Piliang (2019)
- Buku Komunikasi di Era Digital oleh Rulli Nasrullah (2015)
- Literatur tambahan dari jurnal ilmiah dan buku teori komunikasi kontemporer.
Analisis dilakukan dengan metode deskriptif-analitis, yaitu memaparkan konsep-konsep utama dari sumber literatur dan menghubungkannya dengan fenomena komunikasi digital yang terjadi saat ini. Tujuan dari metode ini bukan hanya untuk mendeskripsikan, tetapi juga mengevaluasi makna dan implikasi dari transformasi komunikasi tersebut.
Pembahasan
- Komunikasi Digital dan Hiper-Realitas
Piliang (2019) menyebutkan bahwa komunikasi digital menciptakan suatu bentuk realitas baru yang disebut hiper-realitas, yaitu kondisi ketika representasi (gambar, teks, emoji, video) lebih dominan daripada kenyataan aktual. Di media sosial, individu sering membangun persona virtual yang tidak sepenuhnya mencerminkan kehidupan nyata. Ini menciptakan “realitas semu” yang dikonsumsi secara masif oleh masyarakat.
Sebagai contoh, seseorang dapat tampak sangat bahagia dan sukses di Instagram melalui unggahan konten estetik, padahal realitas kehidupannya tidak seideal itu. Hiper-realitas ini menimbulkan tekanan sosial dan membentuk ekspektasi yang tidak realistis dalam kehidupan bermasyarakat.
- Perubahan Pola Interaksi Sosial
Nasrullah (2015) menjelaskan bahwa komunikasi digital menciptakan interaksi yang simultan, cepat, dan terbuka. Tidak seperti komunikasi interpersonal konvensional yang berlangsung secara tatap muka, interaksi digital dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, tanpa kehadiran fisik.
Fenomena ini juga menghasilkan pola komunikasi yang lebih fleksibel dan demokratis. Namun, ada risiko dehumanisasi karena interaksi digital cenderung kehilangan nuansa emosi dan empati yang biasa terjadi dalam interaksi langsung. Percakapan menjadi cepat, ringkas, dan terkadang dangkal. Penggunaan emoji atau stiker menjadi “pengganti” ekspresi emosional yang sebenarnya lebih kompleks.
- Identitas Virtual dan Kultur Representasi
Dalam ruang digital, identitas individu tidak hanya dibentuk oleh siapa mereka sebenarnya, tetapi oleh bagaimana mereka memilih untuk ditampilkan. Goffman (1959) dalam konsep self-presentation menyebutkan bahwa manusia bertindak seperti aktor yang memainkan peran sosial. Hal ini sangat relevan dalam konteks media sosial di mana setiap unggahan merupakan bentuk kurasi identitas yang diinginkan.
Piliang (2019) menyebut proses ini sebagai “kultur representasi”, di mana identitas dan makna tidak bersumber dari realitas, tetapi dari tanda-tanda visual dan simbolik. Akibatnya, terjadi semacam penciptaan “diri digital” yang bisa sangat berbeda dari diri nyata.
- Tantangan Literasi dan Etika Komunikasi Digital
Salah satu isu penting dalam komunikasi digital adalah rendahnya literasi digital, terutama di kalangan pengguna media sosial. Banyak pengguna tidak memahami bagaimana cara menyaring informasi, mengenali hoaks, atau menjaga privasi digital. Fenomena penyebaran berita palsu (fake news), ujaran kebencian (hate speech), dan doxing menjadi bukti dari lemahnya etika komunikasi digital.
Nasrullah (2015) menekankan pentingnya membekali masyarakat dengan keterampilan literasi digital, agar mereka dapat berperan secara kritis, kreatif, dan etis dalam ekosistem digital. Literasi digital tidak hanya mencakup kemampuan teknis menggunakan perangkat, tetapi juga kecakapan berpikir kritis, memahami konteks sosial, dan menjaga tanggung jawab etika.
Kesimpulan
Transformasi komunikasi di era digital membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi, membentuk identitas, dan membangun relasi sosial. Komunikasi digital menawarkan kecepatan dan kemudahan, tetapi juga menghadirkan tantangan serius dalam hal etika, representasi, dan literasi.
Hiper-realitas dan identitas virtual menjadi ciri khas utama komunikasi di media sosial, di mana makna pesan sering kali dikonstruksi berdasarkan simbol dan citra, bukan kenyataan. Dalam konteks ini, literasi digital menjadi kebutuhan penting agar masyarakat tidak terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan atau perilaku komunikasi yang tidak bertanggung jawab.
Dari perspektif ilmu komunikasi, pemahaman mendalam terhadap komunikasi digital sangat penting untuk mengkaji dinamika sosial masa kini, serta merancang strategi komunikasi yang adaptif, inklusif, dan etis di masa depan.
Daftar Pustaka
- Goffman, Erving. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Anchor Books.
- Nasrullah, Rulli. (2015). Komunikasi di Era Digital. Jakarta: Kencana Prenada Media.
- Piliang, Yasraf Amir. (2019). Komunikasi Digital: Representasi Kehidupan dalam Cyberspace. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
- Toffler, Alvin. (1980). The Third Wave. New York: Bantam Books.
- Lister, Martin, et al. (2009). New Media: A Critical Introduction. London: Routledge.
- McQuail, Denis. (2010). McQuail’s Mass Communication Theory. London: Sage Publications.