Jakarta, EKOIN.CO – Generasi Z Indonesia kini memilih menyaring informasi ketimbang mengejarnya. Dalam laporan terbaru Cheil Indonesia, mereka tidak lagi terjebak dalam fenomena Fear of Missing Out (FOMO). Sebaliknya, mereka menerapkan prinsip “Filter On My Own” dalam konsumsi digital mereka.
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif terhadap 100 responden Gen Z di Indonesia. Hasilnya memperlihatkan pola pikir baru yang sangat selektif terhadap tren, informasi, dan identitas digital. Generasi ini tidak ingin mengikuti arus, tetapi menciptakan jalan sendiri.
Sebanyak 67 persen responden menyebut bahwa sosok paling menarik bagi mereka adalah yang autentik dan punya dampak nyata. “Orang yang passionate dengan apa yang dia sukai,” ungkap salah satu responden dalam laporan tersebut.
FOMO yang selama ini diartikan sebagai ketakutan tertinggal tren, kini bergeser menjadi keberanian memilih. Mereka mengikuti tren yang relevan secara emosional, bukan sekadar viral. Sisanya? “Langsung diskip,” ujar mereka, sebagaimana tertulis dalam laporan Cheil Indonesia.
Redefinisi Gaya dan Minat
Gen Z juga lebih tertarik pada tren seperti Y2K, gaya vintage, serta aktivitas DIY dan thrift, bukan karena ingin eksis, tetapi karena merasa cocok secara personal. Mereka menganggap tren sebagai alat ekspresi diri, bukan acuan gaya hidup massal.
Di luar gaya, topik literasi finansial dan perencanaan karier juga menjadi fokus utama. Konten seperti ini dianggap lebih berguna dalam menghadapi masa depan yang tidak menentu. Mereka ingin menjadi siap dan mandiri.
Media sosial tidak lagi sekadar alat eksistensi. TikTok digunakan untuk eksplorasi, Instagram untuk estetika, X (dulu Twitter) untuk diskusi, dan ChatGPT sebagai “teman curhat” yang netral dan responsif.
“Biasanya pakai ChatGPT buat curhat, apa aja yang lagi berisik di kepala,” ungkap Tasya (24), salah satu partisipan dalam riset tersebut. Ia mengaku memilih platform digital berdasarkan kebutuhan dan kenyamanan personal.
Kurasi Digital yang Disengaja
Cheil mencatat bahwa Gen Z tidak hanya sebagai penikmat konten, tapi juga kurator dan kreator. Mereka membentuk pola konsumsi yang sadar dan strategis, dengan kontrol penuh atas apa yang mereka terima.
Dalam banyak kasus, konten yang dilihat di TikTok akan dicek ulang di Instagram untuk menyesuaikan dengan identitas visual. Setelah itu, mereka mungkin berdiskusi di X untuk mendapatkan sudut pandang berbeda. Semua ini dilakukan dengan kesadaran tinggi.
Hadirnya ChatGPT juga memperkuat kemampuan mereka dalam menyaring informasi dan berdialog secara reflektif. Platform ini digunakan bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk menyusun pikiran dan menenangkan diri.
Perubahan pola konsumsi Gen Z menunjukkan adanya pergeseran besar dalam cara generasi muda berinteraksi dengan teknologi dan informasi. Mereka tidak sekadar menjadi target pasar, tetapi membentuk pasar itu sendiri melalui kurasi yang sadar.
Prinsip “Filter On My Own” menjadi bukti bahwa Gen Z menghargai keaslian dan koneksi emosional di atas popularitas semu. Mereka tidak terjebak pada urgensi linimasa, tetapi memilih kecepatan dan arah yang sesuai dengan diri mereka.
Dalam dunia yang semakin bising, Gen Z justru mampu menciptakan ruang sunyi yang bermakna melalui seleksi, refleksi, dan ekspresi yang autentik. Mereka tidak takut melewatkan, karena tahu apa yang benar-benar layak diikuti.(*)