Jakarta, EKOIN.CO – Sejarah, seni, sains, dan teknologi dikolaborasikan dalam satu panggung rapsodi yang jarang terjadi. Acara “Science and Art 8.0” (SciArt 8.0) di ruang Sultan Agung, Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta pada Senin (23/6) menjadi jawaban atas tantangan tersebut.
Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) melalui Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi, bersama Kementerian Kebudayaan dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Pameran ini menampilkan lukisan tokoh-tokoh ilmuwan, baik dari Indonesia maupun dunia.
Lukisan-lukisan tersebut merupakan karya pelukis Paul Hendro, yang mencoba menghadirkan kembali wajah-wajah pemikir besar ke hadapan publik melalui medium seni rupa. Potret-potret itu menghiasi ruang pamer sebagai bentuk penghormatan terhadap sains.
“Kami ingin menghidupkan kembali tradisi ‘Padarman’ dalam wujud modern, sebagai bentuk penghormatan terhadap pemikiran, pengetahuan, dan kontribusi ilmuwan terhadap kemajuan peradaban sebagai bagian dari narasi kepahlawanan,” papar Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi, Yudi Darma.
Para pengunjung disuguhi potret seperti B.J. Habibie hingga Albert Einstein, yang ditemani narasi visual serta penjelasan peran mereka dalam perkembangan sains dan teknologi dunia.
Memaknai Pahlawan Sains
Banyak negara memiliki tradisi penghormatan terhadap tokoh penting sebagai bagian dari sejarah bangsa. Di Indonesia, pahlawan sering dimaknai sebagai pejuang fisik, namun ilmuwan juga memiliki peran krusial.
“Sejarah sesungguhnya ada masanya, dan saat ini Indonesia masuk ke masa untuk membangun science society atau masyarakat ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sudah saatnya pahlawan ilmu pengetahuan dikomunikasikan pada masyarakat,” jelas sejarawan dari Monash University, Luthfi Adam.
Kelemahan komunikasi sains kepada publik diakui oleh berbagai pihak. Salah satunya Dekan FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM), Kuwat Triyana. Ia menyebut adanya kesenjangan komunikasi antara ilmuwan dan masyarakat umum.
“Ilmuwan masih mengalami kesulitan dalam mengkomunikasikan sains kepada masyarakat. Semakin bisa membuat kerumitan, banyak ilmuwan makin bangga, sehingga komunikasi makin sulit terbangun,” papar Kuwat.
Staf Khusus Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi bidang Komunikasi Publik dan Media Massa menyatakan pentingnya menjembatani sains dengan bahasa yang dipahami publik. Pendapat itu didukung oleh Redaktur Kedaulatan Rakyat, Octo Lampito, yang mengatakan generasi muda bisa memaknai sains lebih dalam lewat pendekatan seni.
Jembatan Antara Ilmuwan dan Seniman
Lukisan potret menjadi medium baru untuk mempertemukan masyarakat dengan wajah-wajah ilmuwan masa lalu dan kini. Hal ini membuka ruang kesadaran dan keterhubungan nilai antar generasi.
Khusus mengenai lukisan potret para ilmuwan, pelukis Paul Hendro mengakui bahwa pameran ini mencoba menyambungkan dunia ilmuwan dengan seniman lukis.
“Selama ini, para ilmuwan tidak tersentuh oleh para pelukis. Kebanyakan yang dikenal oleh pelukis adalah pahlawan perang pejuang kemerdekaan,” ungkap Paul.
Kolaborasi seni dan sains ini bukan baru pertama terjadi. Pada 2022, “Pekan Wirabangsa” di Pasar Seni Ancol, Jakarta, menampilkan pahlawan nasional pilihan negara dan mengajak publik untuk berpikir ulang tentang siapa sebenarnya para pendiri bangsa.
Di tahun yang sama, Paul Hendro menggagas hibah lukisan potret Presiden dan Wakil Presiden kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Inisiatif ini menandai lahirnya gerakan potret kenegaraan kontemporer.
Tahun 2024, kembali diangkat tema sejenis dalam pameran “Seabad Para Kalangwan”, yang menampilkan tokoh-tokoh sastrawan besar seperti Empu Kanwa, Empu Tantular, dan Prapanca.
Membangun Narasi Baru Sejarah Ilmiah
Menurut Luthfi, sejarah selama ini banyak berfokus pada narasi perang dan kekuasaan. Ia menekankan pentingnya memasukkan sains dan riset dalam arus utama sejarah.
“Penulisan sejarah tidak cukup hanya dilakukan oleh sejarawan, tetapi perlu kontribusi dari ahli dalam bidang ilmu masing-masing, sehingga ada pemahaman antara sejarawan dengan ilmuwan dalam intermediary process,” imbuh Luthfi.
Para ilmuwan yang dilukis dalam SciArt 8.0 adalah pemikir dan penemu yang kontribusinya tak ternilai bagi bangsa. Melalui pendekatan visual ini, masyarakat diajak melihat bahwa kepahlawanan juga bisa lahir dari laboratorium, ruang kelas, dan gagasan.
Direktur Yudi Darma menekankan bahwa bangsa besar adalah bangsa yang memahami dan meneruskan semangat pemikirnya. Ia berharap kolaborasi seperti ini terus ditumbuhkan.
“Semoga pameran ini menjadi ruang apresiasi terhadap karya seni dan pemikiran ilmuwan, menjadi titik temu antargenerasi, disiplin ilmu, dan masa lalu dengan masa depan. Dari sini, kami berharap tumbuh rasa ingin tahu dan kolaborasi-kolaborasi baru,” pungkas Direktur Yudi.
Pameran SciArt 8.0 membuka cara pandang baru terhadap definisi kepahlawanan di Indonesia. Tidak hanya dari medan perang, tetapi juga dari ruang pemikiran ilmiah, masyarakat diajak mengenal wajah-wajah pahlawan yang selama ini bekerja dalam keheningan.
Kolaborasi antar kementerian, seniman, akademisi, dan media membuktikan bahwa komunikasi sains dapat dilakukan dengan cara yang kreatif dan humanis. Melalui seni lukis, publik diberi kesempatan menyentuh gagasan besar lewat medium yang emosional dan visual.
Dengan pameran ini, muncul harapan baru bahwa nilai-nilai sains akan lebih membumi. Generasi muda dapat menjadikan ilmuwan sebagai teladan, dan menjalin semangat keilmuan sebagai bagian dari karakter bangsa masa depan.(*)