Jakarta, EKOIN.CO – Dalam era informasi yang serba cepat dan melimpah, tantangan terbesar bukan lagi keterbatasan akses terhadap data, melainkan kemauan individu untuk membuka pikirannya terhadap kebenaran yang mungkin tidak nyaman. Sebuah refleksi tajam terhadap realitas ini disampaikan melalui kutipan populer yang kembali ramai diperbincangkan di berbagai ruang publik, baik fisik maupun digital.
“Orang bodoh bukanlah mereka yang tidak tahu, tetapi mereka yang menolak untuk tahu,” menjadi kalimat pembuka dalam diskusi panjang mengenai fenomena penolakan terhadap fakta. Kalimat ini menyindir perilaku umum yang kerap ditemukan dalam percakapan sehari-hari, politik, agama, dan dunia maya.
Fenomena ini merefleksikan bagaimana banyak orang saat ini tidak kekurangan informasi, namun tetap memilih untuk mempercayai narasi yang menenangkan ego dibandingkan realitas yang menantang kenyamanan berpikir. Ketertutupan pikiran bukan karena kurangnya data, tetapi karena dominasi emosi.
Menurut kutipan lanjutan, “Ketika seseorang sudah menutup pintu pikirannya—baik karena ego, fanatisme, atau rasa takut untuk salah—maka sekuat dan selogis apa pun bukti yang disampaikan, tetap tidak akan mengubah keyakinannya.” Situasi ini menjadi penghambat utama dalam diskusi yang produktif.
Kondisi semacam ini tidak hanya memutus jembatan dialog, tetapi juga memperkuat polarisasi di masyarakat. Perbedaan pendapat yang seharusnya membangun, justru berubah menjadi konflik karena tidak adanya niat untuk benar-benar mendengarkan.
Di ruang-ruang digital seperti media sosial, hal ini makin tampak nyata. Banyak perdebatan tidak lagi bertujuan untuk mencari titik temu atau kebenaran, melainkan hanya untuk menang dalam argumen, walaupun tanpa dasar kuat. Diskusi pun menjadi ajang ego, bukan nalar.
Pernyataan tersebut diperkuat dalam lanjutan teks yang berbunyi, “Ia tidak sedang mencari kebenaran, melainkan sedang mempertahankan perasaan benar.” Ini menjadi kritik terhadap banyak orang yang merasa sudah tahu segalanya dan menolak pembaruan pengetahuan.
Perilaku ini membawa dampak besar terhadap kehidupan sosial dan politik. Ketika masyarakat tidak mampu membedakan antara opini dan fakta, keputusan kolektif pun bisa melenceng jauh dari kebenaran objektif.
Dalam perspektif psikologi, kondisi ini dikenal sebagai bias konfirmasi, yakni kecenderungan untuk mencari dan mempercayai informasi yang sejalan dengan keyakinan sebelumnya, serta menolak hal-hal yang bertentangan dengannya, tak peduli seakurat apa pun data tersebut.
Kutipan ini kembali viral di berbagai platform, termasuk Twitter, Facebook, hingga grup diskusi daring seperti Reddit. Banyak pengguna yang mengutipnya sebagai sindiran terhadap pihak-pihak tertentu, terutama di tengah maraknya hoaks dan polarisasi isu publik.
Sebagian pengguna media sosial menyebut bahwa kutipan ini berfungsi seperti cermin yang mengingatkan pada kecenderungan diri sendiri. Tak sedikit yang menilai, bahwa setiap orang pernah berada dalam posisi “menolak tahu”, walau tak disadari.
Sementara itu, dalam penelusuran tim EKOIN.CO, kalimat ini banyak dikaitkan dengan gagasan dari Mark Twain, walaupun secara historis tidak dapat ditemukan dokumentasi otentik yang menuliskan bahwa Twain mengatakannya secara langsung.
Meski begitu, esensi kalimat itu tetap relevan dan dianggap sejalan dengan gaya berpikir Twain yang dikenal kritis terhadap perilaku sosial dan kemapanan pemikiran yang keliru di zamannya. Ia kerap menyindir ironi manusia dengan cara yang tajam dan menggugah.
Kutipan tambahan dalam teks menyebutkan, “Diskusi menjadi percuma karena bukan akal yang bekerja, tapi benteng emosi.” Kalimat ini memberikan gambaran konkret betapa sulitnya mengubah pikiran seseorang yang tidak bersedia berpikir ulang.
Masalah ini tak hanya terjadi dalam debat umum, tetapi juga dalam pengambilan keputusan penting, mulai dari isu politik, kesehatan, hingga pendidikan. Ketika akal ditinggalkan, maka yang tersisa hanyalah pertarungan emosi dan arogansi.
Dalam dunia pendidikan, sikap menolak untuk belajar karena merasa sudah cukup tahu menjadi hambatan besar bagi kemajuan. Ini juga menjadi tantangan guru, dosen, dan pendidik dalam membangun budaya belajar yang terbuka dan rendah hati.
Menurut beberapa akademisi, keberanian untuk mengakui kesalahan dan memperbaiki pemahaman adalah indikator dari intelektualitas sejati. Orang yang pintar bukan yang tidak pernah salah, melainkan yang mau memperbaiki kesalahan ketika melihat kebenaran.
Di sisi lain, budaya malu mengakui kesalahan juga menjadi penyebab banyak orang tetap berada dalam posisi keliru. Ketakutan akan dikritik membuat individu mempertahankan opini yang salah, meski bukti telah terpampang jelas.
Kondisi ini diperparah dengan algoritma media sosial yang cenderung memperkuat bias informasi. Setiap pengguna akan disuguhi konten yang mendukung pandangannya, sehingga merasa semakin benar dan menganggap pendapat lain sebagai ancaman.
Dalam masyarakat yang plural dan majemuk seperti Indonesia, keterbukaan berpikir sangat penting. Tanpa itu, masyarakat akan terus terbelah dalam kelompok-kelompok sempit yang saling mencurigai dan menolak bekerja sama.
Refleksi terhadap kutipan ini pun mulai masuk dalam diskusi kelas, ruang pelatihan, dan seminar-seminar pengembangan diri. Tujuannya untuk mengingatkan bahwa menjadi cerdas juga berarti siap untuk dibantah dan belajar dari siapa pun.
Beberapa guru di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya mengaku mulai menggunakan kutipan ini dalam materi pembelajaran, terutama saat membahas keterampilan berpikir kritis dan empati intelektual dalam diskusi kelompok.
Di dunia kerja, karyawan yang mampu menerima kritik dan mau memperbarui pengetahuannya dinilai lebih adaptif dan unggul. Sebaliknya, yang keras kepala dan tertutup pada pandangan lain, sering menjadi sumber konflik internal tim.
Hal serupa terjadi dalam organisasi sosial dan keagamaan. Sikap menutup diri terhadap interpretasi baru atau wacana pembaruan sering kali membuat komunitas menjadi stagnan dan kehilangan relevansi di tengah perubahan zaman.
Para pemuka agama juga mulai mengajak umatnya untuk tidak takut berpikir kritis. Menurut beberapa tokoh, keimanan yang sehat adalah yang siap diuji dan diperkuat dengan akal, bukan sekadar dogma yang tidak boleh disentuh.
Kutipan ini menjadi bahan introspeksi bagi siapa saja yang merasa telah tahu segalanya. Dalam kehidupan yang kompleks, kebenaran tidak selalu berada pada satu sisi, dan memerlukan kerendahan hati untuk terus mengevaluasi posisi sendiri.
Sejumlah penulis dan filsuf menyarankan bahwa diskusi yang baik harus dibangun di atas semangat saling belajar, bukan saling menyerang. Dan itu hanya mungkin bila semua pihak bersedia membuka pikirannya.
Kesimpulan dari gagasan ini adalah, menjadi cerdas bukan soal banyaknya informasi yang dimiliki, tetapi seberapa besar keberanian seseorang untuk meragukan apa yang diyakininya selama ini ketika berhadapan dengan bukti baru.
Saran yang diberikan banyak tokoh dalam isu ini adalah membiasakan diri untuk bertanya, mendengar, dan mencari sumber informasi yang kredibel. Keterampilan literasi informasi menjadi sangat penting dalam menghindari jebakan bias pribadi.
Kesadaran akan ketidaktahuan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan untuk berkembang. Orang yang merasa tidak tahu akan lebih terbuka untuk belajar, sementara yang merasa tahu justru berhenti bertumbuh.
Dalam ruang-ruang sosial, perdebatan seharusnya menjadi tempat pertukaran gagasan, bukan pertarungan gengsi. Untuk itu, setiap individu harus belajar membedakan antara harga diri dan kejujuran intelektual.
Jika masyarakat ingin lebih maju, maka membangun budaya diskusi yang sehat dan berpikiran terbuka harus dimulai dari rumah, sekolah, dan lingkungan kerja. Dan itu harus dilakukan secara kolektif, bukan hanya mengandalkan segelintir orang.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v