Berikut 10 pilihan judul yang dapat Anda gunakan:
- Ambisi AI Zuckerberg Bakar Triliunan, Masa Depan Facebook Dipertanyakan.
- Nasib Facebook di Ujung Tanduk, Belanja AI Triliunan Rupiah.
- Mark Zuckerberg Bakar Uang Demi AI, Kinerja Meta Melambat.
- Investasi Besar AI Bikin Kinerja Meta Melempem, Investor Khawatir.
- Meta platforms Bakar US$60 Miliar, Kinerja Keuangan Melambat.
- Kinerja Meta Tergerus, Ambisi Besar Mark Zuckerberg di AI.
- Di Tengah PHK, Mark Zuckerberg Gelontorkan Dana Triliunan untuk AI.
- Meta platforms dan Taruhan Besar di AI, Akankah Berhasil?
- Meski Saham Naik, Strategi AI Meta Belum Menjanjikan.
- Ambisi AI Zuckerberg, Tantangan dan Risiko Besar Bagi Meta.
Kalimat penting dari sumber berita:
- Meta platforms, induk Facebook, tengah menghadapi tekanan besar di tengah ambisi Mark Zuckerberg menguasai pasar kecerdasan buatan (AI) global.
- Meta diperkirakan mencatat pertumbuhan laba paling lambat dalam dua tahun terakhir, hanya 11,5% menjadi US$15,01 miliar (Rp246 triliun).
Tag:
Meta platforms, Facebook, Mark Zuckerberg, kecerdasan buatan, kinerja keuangan, investasi AI
Jakarta, EKOIN.CO – Meta platforms, induk perusahaan Facebook, tengah menghadapi tekanan signifikan di tengah ambisi besar Mark Zuckerberg untuk mendominasi pasar kecerdasan buatan (AI) global. Perusahaan ini telah mengucurkan dana yang luar biasa besar, namun hasil yang didapatkan belum menunjukkan pencapaian yang sebanding. Situasi ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan investor dan analis mengenai arah strategis perusahaan ke depannya.
Sejak beberapa waktu belakangan, Meta telah membakar dana lebih dari US$60 miliar atau sekitar Rp984 triliun untuk pengembangan teknologi augmented reality (AR). Di samping itu, perusahaan juga mengalokasikan ratusan triliun rupiah lainnya untuk pengembangan kecerdasan buatan. Meskipun pengeluaran ini masif, para analis memandang bahwa hasil yang terlihat di permukaan masih jauh dari kata memuaskan, bahkan menimbulkan kekhawatiran.
Laporan keuangan kuartal kedua (Q2) 2025 yang akan datang diperkirakan menunjukkan performa yang kurang optimal. Meta diproyeksikan mencatat pertumbuhan laba yang paling lambat dalam dua tahun terakhir, yakni hanya sekitar 11,5% sehingga mencapai US$15,01 miliar atau sekitar Rp246 triliun. Angka ini jauh di bawah ekspektasi pasar dan memicu kekhawatiran tentang profitabilitas jangka panjang perusahaan.
Di sisi lain, pendapatan Meta juga mengalami perlambatan yang cukup mencolok. Tercatat, pendapatan perusahaan hanya tumbuh 14,7%, merupakan yang terlemah dalam tujuh kuartal terakhir. Di waktu yang sama, biaya operasional mereka bengkak hampir 9%. Angka-angka ini menjadi sorotan utama bagi para analis karena dianggap sebagai tanda-tanda ketidakseimbangan antara investasi yang dilakukan dengan hasil yang diperoleh.
Mark Zuckerberg, CEO Meta, tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghentikan investasinya. Bahkan, ia diketahui telah menggelontorkan US$14,3 miliar atau setara Rp234 triliun ke dalam startup bernama Scale AI. Tak hanya itu, Zuckerberg juga membentuk Superintelligence Lab. Semua ini dilakukan di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih terus berlangsung di internal perusahaan. Langkah-langkah tersebut dinilai penuh risiko dan menjadi bahan perdebatan.
Sejumlah pihak menilai, strategi investasi besar-besaran ini terlalu berani, terutama karena model AI Meta yang dikenal sebagai Llama 4 belum menunjukkan performa yang signifikan dan belum bisa bersaing ketat dengan para kompetitor. Kondisi ini membuat para investor cemas dan terus memantau apakah Meta akan kembali meningkatkan belanja modalnya tahun ini. Sebelumnya, perusahaan sudah menaikkan anggaran belanja pada bulan April.
Perlu dicatat bahwa di tengah gempuran investasi AI ini, pesaing terdekat Meta, yaitu Alphabet, juga mengambil langkah serupa. Pekan lalu, Alphabet menaikkan proyeksi belanja modalnya sebesar 13% hingga menyentuh angka US$85 miliar atau setara Rp1.394 triliun. Peningkatan ini dilakukan untuk memenuhi lonjakan permintaan akan layanan Google Cloud yang berbasis kecerdasan buatan, menunjukkan bahwa persaingan di sektor ini memang sangat ketat.
Ben Barringer, kepala riset teknologi di Quilter Cheviot yang juga memegang saham Meta, memberikan pandangannya. “Kami memandang kenaikan capex sebagai hal positif karena. Meta bisa menjadi solusi lengkap bagi banyak departemen pemasaran,” ujarnya, seperti dikutip dari Reuters, Rabu (30/7/2025). Pernyataan ini memberikan sedikit optimisme di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini.
Meningkatnya Belanja Modal dan Tantangan Persaingan
Meskipun harga saham Meta mengalami kenaikan sebesar 20% tahun ini, banyak pihak tetap mempertanyakan arah strategi AI yang diusung oleh perusahaan. Kenaikan saham ini seolah-olah tidak mencerminkan tantangan mendalam yang sedang dihadapi oleh Meta. Analis terus berupaya memahami apakah investasi masif ini akan menghasilkan keuntungan yang signifikan dalam jangka panjang.
Di sisi lain, analisis yang dilakukan oleh eMarketer memberikan perspektif yang berbeda. Analis dari eMarketer menilai bahwa Meta memang berhasil mengintegrasikan AI ke dalam platform periklanannya. Namun, upaya perusahaan untuk bersaing secara langsung dengan nama-nama besar seperti OpenAI dan Google DeepMind terlihat sangat berat dan berisiko tinggi. Persaingan di sektor ini tidak hanya membutuhkan modal, tetapi juga inovasi yang berkelanjutan.
Penting untuk diingat bahwa Meta tidak hanya menghadapi tantangan dari kompetitor AI. Perusahaan ini juga menghadapi tekanan dari pasar iklan yang lesu serta dominasi TikTok yang terus berkembang. Kombinasi dari faktor-faktor ini membuat masa depan Meta saat ini terlihat penuh ketidakpastian. Keputusan-keputusan strategis yang diambil Mark Zuckerberg saat ini akan sangat menentukan nasib perusahaan di masa yang akan datang.
Kesimpulan Analis dan Arah Perusahaan
Perlambatan pertumbuhan laba dan pendapatan Meta, seiring dengan peningkatan masif dalam belanja modal untuk AI, menjadi sinyal peringatan bagi para investor. Meskipun ambisi Mark Zuckerberg untuk menguasai pasar AI sangat besar, realita menunjukkan bahwa perusahaan menghadapi jalan yang terjal. Tantangan ini diperparah oleh perlambatan pasar iklan dan dominasi platform lain, yang semakin menambah beban Meta.
Langkah-langkah strategis yang diambil, seperti investasi besar di Scale AI dan pembentukan Superintelligence Lab, memang menunjukkan komitmen perusahaan terhadap inovasi. Namun, efektivitas dari langkah-langkah ini masih perlu dibuktikan. Investor menantikan hasil konkret yang bisa membenarkan pengeluaran triliunan rupiah yang telah dilakukan. Tanpa adanya hasil yang signifikan, kepercayaan pasar terhadap kepemimpinan Zuckerberg bisa saja menurun.
Di tengah semua ini, Meta berada di persimpangan jalan. Satu sisi, mereka bisa terus berinvestasi besar-besaran dengan harapan akan ada terobosan di bidang AI. Di sisi lain, mereka perlu menyeimbangkan pengeluaran ini dengan kinerja keuangan yang stabil untuk meyakinkan investor. Keseimbangan ini menjadi kunci, karena tanpa profitabilitas yang kuat, ambisi terbesar sekalipun bisa berujung pada kegagalan.
Saran yang diberikan oleh analis Ben Barringer bahwa Meta bisa menjadi solusi lengkap bagi departemen pemasaran memberikan harapan. Hal ini menunjukkan bahwa ada potensi besar di dalam integrasi AI Meta, terutama di sektor periklanan. Namun, potensi ini harus dimaksimalkan dengan baik. Perusahaan perlu lebih fokus pada aplikasi praktis yang bisa segera menghasilkan pendapatan, bukan hanya pada proyek-proyek ambisius yang berisiko tinggi.
Masa depan Meta akan sangat bergantung pada bagaimana mereka menavigasi tantangan-tantangan ini. Dengan persaingan yang semakin ketat dan pasar yang tidak menentu, setiap keputusan yang diambil akan memiliki konsekuensi besar. Hanya waktu yang akan membuktikan apakah investasi triliunan rupiah yang dilakukan Mark Zuckerberg akan membuahkan hasil yang manis, atau justru menjadi cerita tentang ambisi yang berlebihan. ( * )
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v