Jakarta, EKOIN.CO – Belum lama ini, berita dari Korea Selatan menghebohkan publik dengan laporan tentang ludesnya lencana harimau di toko suvenir Museum Nasional Korea. Kehabisan stok ini dipicu oleh kemunculan karakter ‘Kkachi Horangi’ atau Harimau Magpie yang semakin populer berkat film animasi “K-Pop Demon Hunters (KPDH)”. Fenomena ini menjadi bukti nyata bagaimana film tersebut berhasil mempopulerkan budaya tradisional Korea hingga dikenal secara global.
Meskipun KPDH sukses mengangkat budaya Korea ke tingkat internasional, film ini bukan sepenuhnya produk Korea. Sutradara sekaligus penulis naskah KPDH, Maggie Kang, merupakan warga negara Korea-Kanada, sementara penyanyi dan penulis Original Soundtrack (OST) “Golden”, EJAE, berkewarganegaraan Korea-Amerika. Film ini memang melibatkan kontribusi orang Korea dalam pengisian suara dan musik, tetapi produksi dan distribusinya dilakukan oleh perusahaan asing.
Dalam sebuah wawancara, Maggie Kang menyampaikan pandangannya, “KPDH dibuat dalam bahasa Inggris, namun dari segi kebudayaan, film ini 100% film Korea. Saya bahkan lebih bangga lagi karena telah memproduksi film ini dalam bahasa Inggris. Ini artinya budaya Korea telah berkembang sejauh itu.” Pernyataan ini menegaskan bahwa KPDH mengemas budaya Korea secara menarik, menjadikannya diminati tidak hanya oleh masyarakat Korea, tetapi juga oleh penonton dari seluruh dunia.
Budaya Korea yang ditampilkan dalam KPDH sangat beragam, mulai dari budaya modern seperti idola K-Pop, ramyeon cup, dan gimbap, hingga elemen tradisional seperti pengobatan herbal, Kkachi Horangi (Harimau Magpie), dan Saja (malaikat pencabut nyawa). Melalui film ini, terlihat bagaimana K-Pop kini tidak lagi menjadi budaya eksklusif milik Korea, melainkan telah menjadi bagian dari budaya populer global.
Fenomena seniman asal Korea yang berkarya di luar negeri dan meraih popularitas internasional bukanlah hal baru. Misalnya, pada tahun 2021, aktris Youn Yuh-jung memenangkan penghargaan “Best Supporting Actress” di Academy Award ke-93 berkat perannya dalam film “Minari” yang disutradarai oleh Lee Isaac Chung. Lalu ada Steven Yeun yang meraih penghargaan di 81st Golden Globe Awards dan 75th Primetime Emmy Awards di tahun 2024 untuk perannya dalam serial Netflix “BEEF” yang disutradarai oleh Lee Sungjin. Selain itu, serial Apple TV “Pachinko” di tahun 2022, yang diangkat dari novel karya Min Jin Lee, diproduseri oleh Soo Hugh dan disutradarai oleh Justin Chon, keduanya warga negara Korea-Amerika.
Berbeda dengan karya-karya sebelumnya yang seringkali menceritakan perjuangan imigran Korea di negara asing, film KPDH menyajikan cerita yang berpusat pada seorang artis K-Pop dengan latar tempat yang sudah akrab bagi penonton global, seperti Namsan Seoul Tower. Kisah ini menunjukkan pergeseran fokus, dari narasi perjuangan menjadi representasi budaya yang sudah diterima luas.
Kemajuan serupa juga terlihat di Indonesia. Pada tanggal 19 Juli lalu, Korean Cultural Center Indonesia (KCCI) menggelar “K-Pop Cover Dance Festival (KCDF) in Indonesia” di Jakarta. Acara ini menampilkan 14 tim dance cover yang sebagian besar anggotanya adalah generasi Z. Mereka tidak hanya menampilkan tarian K-Pop, tetapi juga menambahkan koreografi orisinal mereka sendiri, sebuah kreativitas yang disambut hangat oleh penonton.
Interaksi ini menciptakan jembatan komunikasi yang unik. Masyarakat Indonesia memahami budaya Korea melalui tarian yang mereka pelajari, sementara masyarakat Korea juga dapat mengenal budaya generasi Z Indonesia dari koreografi yang diciptakan oleh para peserta. Fenomena ini menunjukkan bahwa K-Pop telah menjadi sarana untuk menjalin persahabatan dan menemukan kesamaan di antara generasi muda kedua negara.