Jakarta, EKOIN.CO – Kisah hidup Oei Hui-lan, seorang wanita kelahiran Semarang, terbentang jauh dari rumahnya yang megah hingga istana kekuasaan di Beijing. Ia bukan hanya seorang sosialita, melainkan juga pernah menjadi ibu negara Republik China, meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah diplomasi dunia.
Oei Hui-lan lahir pada 21 Desember 1889, dari pasangan Oei Tiong Ham dan Goei Bing Nio. Ayahnya, Oei Tiong Ham, dikenal sebagai taipan gula terbesar di dunia dengan kekayaan fantastis mencapai 200 juta gulden atau setara Rp 44 triliun. Kehidupan Hui-lan sejak kecil dipenuhi dengan kemewahan. Ia tinggal di sebuah rumah seluas 80 hektar, lengkap dengan vila pribadi dan paviliun, serta dilayani oleh banyak pembantu dan juru masak. Setiap tahun, pesta ulang tahunnya dirayakan secara mewah.
Dalam memoarnya, Oei Hui-lan: Kisah Putri Sang Raja Gula dari Semarang, ia mengisahkan masa kecilnya yang istimewa. “Ayah menginginkan pesta ulang tahun saya menjadi sangat istimewa. Berapa pun biayanya, tidak masalah baginya,” kenang Oei Hui-lan.
Kemewahan tersebut tidak hanya sebatas materi. Ia memiliki kebebasan untuk bepergian ke mana saja, sehingga membangun jaringan pertemanan yang luas, bahkan hingga ke lingkaran keluarga Kerajaan Inggris dan tokoh-tokoh penting China. Dari sinilah ia berkenalan dengan Wellington Koo.
Pertemuan Oei Hui-lan dengan Wellington Koo terjadi di London sekitar tahun 1920-an. Saat itu, Hui-lan berstatus janda, sementara Koo adalah seorang duda diplomat terkemuka dari China. Koo dikenal sebagai arsitek diplomasi China di kancah global dan salah satu pendiri Liga Bangsa-Bangsa.
Pada tahun 1921, keduanya melangsungkan pernikahan di Brussel. Tak lama setelah itu, Koo menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan China. Titik puncaknya adalah pada 1926, ketika Koo didapuk menjadi pelaksana tugas Presiden Republik China. Momen inilah yang secara resmi menjadikan Oei Hui-lan sebagai ibu negara.
Dalam perannya sebagai ibu negara, Hui-lan senantiasa mendampingi sang suami menggalang dukungan internasional untuk Republik China. Peran ini berakhir pada 1927 ketika Koo mengakhiri masa jabatannya. Setelah itu, mereka melanjutkan hidup di berbagai kota besar seperti Shanghai, Paris, dan London.
Hubungan mereka berakhir pada tahun 1958. Selepas perpisahan, Oei Hui-lan memilih tinggal di New York dan mengabdikan diri membesarkan ketiga anaknya. Meskipun telah lama menetap di luar negeri, ia sempat kembali ke Indonesia untuk berbisnis pada tahun 1986 di sektor perkapalan, tembakau, dan sepeda, meskipun usahanya tidak berhasil. Oei Hui-lan menghembuskan napas terakhir di New York pada tahun 1992, di usia 102 tahun, jauh dari tanah kelahirannya di Semarang.