Washington, EKOIN.CO – Amerika Serikat bersama Prancis, Jerman, dan Inggris menetapkan akhir Agustus 2025 sebagai batas waktu de facto untuk mencapai kesepakatan nuklir baru dengan Iran. Keputusan ini diambil dalam sebuah panggilan telepon antar Menteri Luar Negeri dari keempat negara pada Senin, 14 Juli 2025, sebagaimana dilaporkan oleh situs berita Axios pada Selasa, 15 Juli 2025.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Ketiga sumber yang mengetahui langsung pembicaraan tersebut menyebutkan bahwa jika kesepakatan tidak tercapai hingga batas waktu yang ditentukan, negara-negara Eropa itu akan mengaktifkan mekanisme “snapback”. Mekanisme ini memungkinkan pengembalian otomatis seluruh sanksi Dewan Keamanan PBB yang telah dicabut berdasarkan perjanjian nuklir Iran tahun 2015.
Langkah ini diambil untuk mengoordinasikan sikap keempat negara terkait upaya diplomasi nuklir dengan Iran. Mereka berencana menekan Iran agar mengambil langkah-langkah konkret yang dapat meyakinkan dunia internasional tentang niat damai dari program nuklirnya.
Ultimatum Eropa untuk Iran
Dua dari tiga sumber Axios menyatakan bahwa negara-negara Eropa kini merencanakan pendekatan diplomatik intensif kepada Iran dalam waktu dekat. Mereka akan menyampaikan pesan bahwa Iran masih dapat menghindari sanksi snapback jika bersedia memenuhi sejumlah persyaratan teknis dan diplomatik.
Salah satu langkah yang diminta adalah dimulainya kembali pemantauan penuh oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) terhadap fasilitas nuklir Iran. Selain itu, Iran diminta menarik sekitar 400 kilogram uranium yang telah diperkaya hingga 60 persen dari lokasi penyimpanannya.
Permintaan tersebut disampaikan sebagai upaya menurunkan ketegangan global yang meningkat usai pecahnya konflik antara Iran dan Israel pada Juni 2025. Ketegangan itu memicu kekhawatiran dunia akan potensi kembalinya krisis nuklir di Timur Tengah.
Salah satu sumber Axios juga menyebutkan bahwa keempat negara berkomitmen mendukung pendekatan multilateral dan menghindari langkah sepihak, sebagaimana pernah dilakukan Amerika Serikat saat menarik diri dari kesepakatan nuklir sebelumnya.
Latar Belakang JCPOA dan Konflik Terbaru
Perjanjian nuklir tahun 2015 yang dikenal dengan nama Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), ditandatangani oleh Iran bersama lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yaitu Tiongkok, Rusia, Prancis, Inggris, dan AS, ditambah Jerman. Kesepakatan ini membatasi pengayaan uranium Iran dan mewajibkan pemantauan internasional.
Namun, pada 8 Mei 2018, Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump secara sepihak menarik diri dari JCPOA dan kembali memberlakukan sanksi berat terhadap Iran. Langkah ini dinilai menghancurkan landasan diplomasi nuklir yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Ketegangan semakin memuncak setelah Israel, dengan dukungan penuh dari AS, melancarkan serangan militer ke Iran pada 13 Juni 2025 selama 12 hari berturut-turut. Serangan tersebut menargetkan lokasi militer, nuklir, dan tokoh-tokoh penting Iran, termasuk komandan militer dan ilmuwan nuklir.
Sebagai balasan, Iran meluncurkan rudal dan drone ke berbagai fasilitas militer dan intelijen Israel. Situasi ini menciptakan krisis besar yang akhirnya mereda setelah AS berhasil menengahi gencatan senjata antara Teheran dan Tel Aviv pada 24 Juni 2025.
Kini, Eropa dan AS kembali memfokuskan perhatian mereka pada diplomasi nuklir guna mencegah eskalasi lebih lanjut. Batas waktu akhir Agustus menjadi ujian besar bagi keseriusan semua pihak dalam mencegah sanksi global yang lebih luas.
Meski belum ada tanggapan resmi dari Iran terhadap ultimatum ini, para diplomat menyatakan bahwa komunikasi intensif dengan Teheran akan menjadi kunci dalam beberapa minggu ke depan. Mereka berharap Iran menunjukkan itikad baik demi stabilitas kawasan.
Pihak Eropa, menurut laporan tersebut, menyatakan siap menggunakan semua jalur diplomatik untuk menekan Iran tanpa harus menggunakan kekuatan militer atau tindakan koersif lain yang dapat memperburuk situasi.
Kebijakan ini mencerminkan komitmen untuk menjaga perjanjian internasional yang telah disepakati, meskipun sempat terhenti akibat dinamika politik global dan konflik di Timur Tengah.
Keputusan ini juga menandai konsolidasi posisi Barat dalam menghadapi risiko proliferasi senjata nuklir di kawasan sensitif. Hal ini dilakukan tanpa menutup peluang bagi Iran untuk tetap menjadi bagian dari komunitas internasional yang damai.
Selain itu, pengaktifan mekanisme snapback juga akan memberi sinyal kuat bahwa pelanggaran terhadap perjanjian internasional tidak akan dibiarkan tanpa konsekuensi.
JCPOA dianggap sebagai salah satu perjanjian non-proliferasi yang paling signifikan dalam dua dekade terakhir. Gagalnya implementasi ulang perjanjian ini akan berdampak buruk pada kredibilitas diplomasi global.
Sementara itu, pengaruh konflik Iran-Israel juga turut memengaruhi dinamika perundingan. Banyak pihak menilai bahwa stabilitas di kawasan akan sulit dicapai jika masalah nuklir Iran tidak segera diselesaikan.
Ketegangan tersebut bahkan mendorong negara-negara Teluk untuk menyuarakan keprihatinan mereka atas ancaman keamanan yang meningkat akibat kebuntuan diplomasi antara Iran dan negara-negara Barat.
Hingga kini, belum ada konfirmasi langsung dari kantor Kementerian Luar Negeri Iran terkait perkembangan ini. Namun, para pengamat menilai bahwa tanggapan Iran terhadap ultimatum tersebut akan menentukan arah diplomasi regional ke depan.
situasi nuklir Iran kembali menjadi perhatian dunia internasional, terutama setelah ketegangan baru yang melibatkan Israel dan Amerika Serikat. Keputusan AS dan tiga negara Eropa untuk menetapkan batas waktu akhir Agustus menunjukkan urgensi diplomatik yang tinggi. Keberhasilan atau kegagalan kesepakatan ini akan berpengaruh pada keamanan global dan kredibilitas Dewan Keamanan PBB. Iran dituntut bersikap kooperatif demi kelangsungan perjanjian nuklir yang telah disepakati. Komunikasi intensif dan pemantauan IAEA bisa menjadi kunci keberhasilan kesepakatan tersebut.
semua pihak yang terlibat hendaknya tetap mengedepankan dialog konstruktif tanpa tekanan militer. Iran perlu membuka diri terhadap inspeksi internasional guna membuktikan komitmen damainya. Negara-negara Eropa diharapkan terus memainkan peran penengah yang aktif dan netral. AS sebaiknya menghindari pendekatan sepihak demi menjaga kepercayaan internasional. Sementara itu, masyarakat internasional perlu terus mendorong penyelesaian damai atas persoalan nuklir di Timur Tengah. (*)