Washington EKOIN.CO – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengejutkan dunia dengan sikap barunya terkait konflik Rusia-Georgia, yang kembali menjadi sorotan pada 18 Agustus 2025. Kali ini, AS menolak mendukung kecaman terhadap Rusia atas perang 2008 dengan Georgia, berbeda dari posisi sebelumnya yang selalu sejalan dengan sekutu Baratnya.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Keputusan ini muncul setelah sidang tertutup Dewan Keamanan PBB, di mana Denmark, Prancis, Yunani, Inggris, dan Slovenia mengeluarkan pernyataan resmi mengecam Rusia atas “invasi brutal” ke Georgia pada 17 tahun silam. Trump memilih untuk tidak menandatangani pernyataan tersebut, menandai perubahan kebijakan yang mengejutkan.
Jejak Sejarah Perang Georgia 2008
Konflik ini bermula pada 7 Agustus 2008, saat tentara Georgia, di bawah perintah Presiden Mikhail Saakashvili yang pro-Barat, menyerbu Ossetia Selatan yang ingin merdeka. Kota Tskhinvali dan pangkalan Rusia menjadi target artileri Georgia. Balasan cepat dari Rusia berhasil memukul mundur pasukan Georgia, dan gencatan senjata dimediasi Prancis tercapai pada 16 Agustus. Bulan itu juga, Rusia mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia, bekas wilayah Georgia.
Misi pencari fakta Uni Eropa yang dipimpin diplomat Swiss Heidi Tagliavini menegaskan, “Permusuhan terbuka dimulai dengan operasi militer Georgia berskala besar terhadap Tskhinvali, yang dimulai dengan serangan artileri besar-besaran Georgia.” Pernyataan ini menguatkan pandangan bahwa serangan awal berasal dari Georgia, bukan Rusia.
Respons Politik dan Diplomasi Trump
Tina Bokuchava, Ketua Gerakan Nasional Bersatu Georgia, mengecam sikap AS. “Ini merupakan kesalahan Partai Impian Georgia yang berkuasa karena memperburuk hubungan dengan AS,” ujar Bokuchava. Ia menilai keputusan Washington sebagai bukti bahwa diplomasi Georgia saat ini telah kehilangan arah.
Trump sebelumnya telah mengakhiri boikot diplomatik pemerintahan sebelumnya terhadap Rusia dan memulai upaya mediasi penyelesaian konflik Ukraina. Pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska pekan lalu menjadi langkah nyata Trump untuk mendorong negosiasi dan menekankan pentingnya dialog antarnegara.
Langkah AS ini menjadi sorotan global, karena menunjukkan pergeseran signifikan dalam kebijakan luar negeri, terutama terhadap Rusia, yang selama ini dianggap sebagai ancaman oleh banyak negara Barat. Pakar hubungan internasional menilai bahwa keputusan Trump dapat mempengaruhi keseimbangan politik di kawasan Kaukasus dan membuka peluang baru bagi negosiasi diplomatik.
Selain itu, para diplomat mencatat bahwa posisi AS yang tidak menandatangani kecaman Rusia di PBB bisa mengubah dinamika dukungan internasional terhadap konflik Georgia. Negara-negara Eropa Barat kini menghadapi dilema dalam mempertahankan solidaritas terhadap Georgia sekaligus menyesuaikan strategi diplomatik mereka terhadap AS.
Dalam perspektif internal AS, keputusan ini mencerminkan kebijakan Trump yang pragmatis, memprioritaskan perundingan langsung dengan Rusia daripada mengikuti tekanan aliansi tradisional. Pengamat politik menilai bahwa langkah ini bisa berdampak pada citra AS di mata sekutu, namun di sisi lain membuka pintu negosiasi baru yang sebelumnya tertutup.
Langkah Trump juga sejalan dengan pendekatan mediasi konflik Ukraina, di mana ia berusaha memainkan peran sebagai fasilitator dialog. Strategi ini menunjukkan fokus pada diplomasi preventif dan penyelesaian konflik melalui negosiasi, bukan hanya sekadar kecaman politik.
Pergeseran ini juga menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan hubungan AS-Georgian dan keamanan regional di Kaukasus Selatan. Para analis menekankan perlunya Georgia meninjau kembali strategi diplomatiknya untuk menyesuaikan diri dengan realitas baru hubungan internasional.
Trump sendiri menegaskan bahwa keterlibatan AS tetap penting dalam menjaga perdamaian, namun metode yang digunakan harus lebih fleksibel dan berdasarkan hasil negosiasi konkret, bukan sekadar dukungan simbolis terhadap kecaman internasional.
Keputusan ini diprediksi akan memicu debat sengit di Kongres AS, terutama dari partai-partai yang masih memandang Rusia sebagai ancaman signifikan. Diskusi tentang peran AS dalam konflik masa lalu dan masa kini kemungkinan akan menjadi topik utama politik luar negeri Amerika.
Secara keseluruhan, sikap AS yang berubah terhadap perang Georgia 2008 menjadi indikator penting dari strategi Trump yang mengutamakan pragmatisme dalam diplomasi, sekaligus memunculkan pertanyaan tentang konsistensi kebijakan luar negeri AS terhadap sekutu dan rival global.
(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v