Jakarta EKOIN.CO – Seruan moratorium kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) kembali mengemuka di tengah kekhawatiran meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri rokok. Permintaan untuk menghentikan kenaikan tarif cukai rokok selama tiga tahun ke depan disuarakan berbagai pihak, termasuk asosiasi industri dan serikat pekerja. Kenaikan tarif cukai rokok yang telah diberlakukan pemerintah sejak 2023 dinilai memberikan tekanan berat terhadap industri, terutama pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) serta buruh pabrik rokok.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Pemerintah Indonesia telah menaikkan tarif cukai rokok secara bertahap dengan rata-rata 10 persen per tahun sejak 2023 dan direncanakan berlangsung hingga 2024. Kenaikan tersebut diklaim sebagai upaya pengendalian konsumsi rokok serta peningkatan pendapatan negara. Namun, sejumlah pihak menilai kebijakan ini berdampak negatif terhadap sektor ketenagakerjaan, terutama di industri rokok berskala kecil.
Desakan moratorium dari berbagai elemen industri
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto, menyampaikan kekhawatirannya bahwa kebijakan kenaikan cukai rokok tanpa jeda dapat memperburuk kondisi pekerja pabrik rokok. “Kami meminta pemerintah menghentikan sementara kenaikan cukai agar tidak terjadi gelombang PHK,” ujar Sudarto seperti dikutip dari berbagai media.
Selain serikat pekerja, desakan juga datang dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) yang menilai bahwa moratorium selama tiga tahun dapat memberi ruang adaptasi bagi industri rokok nasional. Gappri menilai kebijakan tarif saat ini terlalu membebani produsen, terutama pabrik-pabrik kecil yang tidak mampu bersaing dalam harga jual akibat tarif cukai yang tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir, sektor industri hasil tembakau mencatat penurunan produksi. Data dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia menunjukkan bahwa penurunan produksi juga berdampak pada pendapatan petani tembakau, yang kehilangan pasar akibat berkurangnya kapasitas pabrik. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Soeseno, mengungkapkan bahwa ketidakpastian harga dan penyerapan bahan baku menjadi persoalan serius.
Pemerintah mempertahankan kebijakan pengendalian konsumsi
Di sisi lain, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa kenaikan tarif cukai rokok merupakan bagian dari strategi nasional pengendalian konsumsi rokok dan peningkatan penerimaan negara. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, menyebutkan bahwa pemerintah tetap mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial dalam merumuskan kebijakan tarif cukai. “Kenaikan tarif dilakukan bertahap dan dengan mempertimbangkan daya beli serta keberlangsungan industri,” kata Askolani.
Pemerintah juga menyampaikan bahwa penerimaan negara dari cukai rokok merupakan salah satu komponen penting dalam pendanaan program kesehatan nasional. Menurut Kementerian Keuangan, sekitar 50 persen Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) digunakan untuk mendanai layanan kesehatan, termasuk program jaminan kesehatan nasional (JKN).
Namun, berbagai organisasi masyarakat sipil menyuarakan dukungan terhadap kebijakan kenaikan cukai. Mereka menilai bahwa konsumsi rokok memiliki dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dan remaja. Koalisi masyarakat anti rokok mendesak agar pemerintah tetap konsisten dengan rencana kenaikan tarif cukai sebagai instrumen pengendalian.
Seiring meningkatnya ketegangan antara industri dan pemerintah, seruan untuk dialog dan evaluasi kebijakan pun menguat. Beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar pemerintah membuka ruang diskusi dengan pelaku industri dan pekerja sebelum menetapkan kebijakan tarif berikutnya.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menilai bahwa pemerintah perlu menyeimbangkan antara kepentingan kesehatan dan ekonomi. “Moratorium bisa menjadi opsi agar industri tidak kolaps, tapi tetap perlu insentif pengendalian konsumsi,” ujar Huda.
Hingga saat ini, belum ada keputusan final dari pemerintah terkait usulan moratorium tarif cukai. Namun, wacana tersebut diperkirakan akan menjadi topik penting dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, di mana komponen cukai menjadi salah satu pilar penerimaan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, industri rokok menyerap sekitar 5 juta tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk petani tembakau dan cengkeh. Kondisi ini menunjukkan pentingnya keberlangsungan industri dalam menjaga stabilitas ekonomi lokal, khususnya di daerah sentra produksi tembakau.
Secara terpisah, Lembaga Demografi Universitas Indonesia menyampaikan bahwa kebijakan fiskal seperti cukai rokok harus dirumuskan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara penerimaan negara, perlindungan tenaga kerja, dan tujuan kesehatan masyarakat.
wacana moratorium cukai mencerminkan kompleksitas persoalan antara kesehatan publik dan kelangsungan sektor ekonomi. Pemerintah menghadapi tantangan dalam mengakomodasi kepentingan beragam pihak yang terlibat langsung dalam industri hasil tembakau.
Keputusan untuk menangguhkan kenaikan cukai rokok atau tetap melanjutkannya akan sangat mempengaruhi nasib jutaan pekerja dan pelaku usaha kecil yang menggantungkan hidup dari industri tersebut.
Seruan moratorium menunjukkan adanya kebutuhan akan penyesuaian kebijakan berbasis bukti, yang mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ketenagakerjaan dan ekonomi lokal.
Pada saat yang sama, peran negara dalam menjaga kesehatan masyarakat tetap penting, sehingga kebijakan fiskal seperti cukai rokok tidak hanya menjadi alat penerimaan, tetapi juga instrumen pengendalian konsumsi.
Pemerintah diharapkan mampu menemukan titik keseimbangan antara perlindungan tenaga kerja dan perlindungan kesehatan masyarakat dalam menetapkan arah kebijakan cukai ke depan. (*)


























