Jakarta, Ekoin.co – Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), serta Forum Pengada Layanan (FPL) melaporkan jumlah kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2024 mencapai 35.533 kasus. Angka ini meningkat 2,4 persen dibandingkan laporan tahun 2023. Data tersebut disampaikan dalam kegiatan rilis laporan tahunan di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa (19/8/2025).
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Kelembagaan Kementerian PPPA, Indra Gunawan, menjelaskan peningkatan angka laporan ini memiliki dua sisi. Menurutnya, di satu sisi menunjukkan semakin banyak korban yang berani melapor, namun di sisi lain tantangan perlindungan masih besar.
“Sepanjang Januari sampai Desember 2024, kurang lebih sudah tercatat 35.533 laporan kekerasan terhadap perempuan. Ini angkanya meningkat 2,4 persen dari tahun sebelumnya,” ujar Indra.
Indra menambahkan bahwa peningkatan laporan ini sekaligus memperlihatkan adanya kesadaran masyarakat untuk tidak diam. Namun, masih terdapat hambatan struktural, budaya, hingga substansi perlindungan yang perlu dihadapi bersama.
“Tentu di satu sisi korban semakin berani melaporkan, namun tantangan budaya, struktural, dan substansi perlindungan masih besar untuk kita hadapi,” katanya.
Kasus Tertinggi di Provinsi Besar
Dalam pemaparannya, Indra menyebut Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta sebagai tiga provinsi dengan laporan kasus terbanyak. Hal ini menurutnya karena akses pelaporan di wilayah tersebut relatif lebih mudah dibandingkan daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
“Provinsi-provinsi besar seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta tentu menjadi wilayah dengan kasus-kasus yang cukup tinggi dilaporkan,” kata Indra.
Sementara itu, ia menyoroti hambatan yang masih dialami korban di wilayah 3T. Kendala infrastruktur, keterbatasan pendampingan, dan akses pengaduan membuat banyak kasus tidak terlaporkan.
Data juga menunjukkan bahwa korban kekerasan paling banyak berasal dari kelompok usia anak dan remaja. Angkanya mencapai 46,38 persen dari total laporan.
Mayoritas korban adalah pelajar, dengan persentase 40,26 persen. Menurut Indra, kondisi ini memperlihatkan bahwa sekolah masih menjadi ruang yang rentan terhadap kasus kekerasan.
“Dari sisi aktivitas, mayoritas korban adalah pelajar kurang lebih 40,26 persen, kemudian disusul perempuan bekerja 19,47 persen dan ibu rumah tangga 18,86 persen,” jelasnya.
Jenis Kekerasan dan Kelompok Rentan
Laporan gabungan Komnas Perempuan, Kemen PPPA, dan FPL mencatat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati angka tertinggi dengan 7.587 kasus. Disusul kekerasan seksual sebanyak 12.398 kasus yang sebagian besar dilakukan oleh orang terdekat korban.
Selain itu, terdapat 489 laporan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Banyak di antaranya sulit diungkap karena kendala pelaporan dan minimnya akses perlindungan.
Laporan juga mengungkap kerentanan kelompok marginal. Perempuan dengan disabilitas tercatat mengalami 546 kasus kekerasan, korban dengan HIV-AIDS sebanyak 141 kasus, pekerja seks 161 kasus, korban dengan keragaman gender 23 kasus, pekerja migran 17 kasus, dan korban NAPZA sebanyak 6 laporan.
Fenomena kekerasan berbasis gender online (KBGO) juga meningkat tajam. Sepanjang 2024, tercatat 2.866 kasus, hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Korban terbanyak adalah perempuan dewasa.
Menurut Indra, hal ini menunjukkan perkembangan teknologi digital juga membawa tantangan baru dalam upaya perlindungan. Kekerasan di ruang siber semakin marak dan memerlukan penanganan yang lebih adaptif.
Sebagai upaya memperkuat koordinasi, Kemen PPPA, Komnas Perempuan, dan FPL memperbarui Kesepakatan Bersama mengenai sinergi data kekerasan terhadap perempuan. Kesepakatan ini pertama kali ditandatangani pada 21 Desember 2019 dan tahap awal berakhir pada 2024.
Kini, kerja sama tersebut diperpanjang untuk periode 2024-2029. Tujuannya adalah memperkuat pendokumentasian, laporan bersama, serta koordinasi penanganan kasus.
“Kesepakatan ini menjadi instrumen penting untuk memperkuat kebijakan perlindungan hak asasi perempuan di Indonesia,” jelas Indra.
Dengan adanya sinergi data, diharapkan proses penanganan kasus dapat lebih cepat, terintegrasi, dan tepat sasaran. Pemerintah bersama lembaga terkait menekankan pentingnya dukungan dari semua pihak.
Ke depan, laporan tahunan ini diharapkan tidak hanya menjadi catatan angka, melainkan dasar bagi pembuat kebijakan untuk menekan kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh wilayah Indonesia.