Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan tidak pernah bertemu dengan relawan mantan Presiden Joko Widodo, Silfester Matutina, untuk membahas persoalan vonis Silfester Matutina terkait kasus fitnah. Dalam pernyataannya kepada Tempo pada Sabtu, 9 Agustus 2025, Kalla menampik klaim adanya pertemuan maupun permintaan maaf dari Silfester. “Tidak pernah bertemu. Ke saya juga tidak ada minta maaf karena tidak pernah bertemu,” ujarnya melalui sambungan telepon.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Kalla menyatakan, ia juga tidak menerima permintaan maaf secara tidak langsung melalui orang terdekatnya. Ia menyerahkan sepenuhnya penyelesaian perkara ini kepada pengadilan. “Hanya keluarga yang keberatan,” katanya, menanggapi ucapan Silfester yang disampaikan pada 2017.
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, majelis hakim memutuskan Silfester bersalah melakukan tindak pidana fitnah terhadap Jusuf Kalla. Putusan ini disampaikan setelah mempertimbangkan bukti dan keterangan saksi di persidangan.
Pernyataan yang menjadi dasar vonis itu disampaikan Silfester dalam sebuah unjuk rasa. Ia mengatakan, “Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Jusuf Kalla. Mari kita mundurkan Jusuf Kalla karena Jusuf Kalla menggunakan rasisme, isu SARA, untuk memenangkan Anies-Sandi ‘betul’ dan untuk kepentingan politik Jusuf Kalla tahun 2019 dan untuk kepentingan korupsi keluarga Jusuf Kalla,” seperti tercantum di SIPP PN Kejari Jakarta Selatan.
Majelis hakim pada 30 Juli 2018 menjatuhkan vonis satu tahun penjara kepada Silfester. Putusan itu kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi pada 29 Oktober 2018. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperberat hukuman menjadi satu tahun enam bulan penjara.
Hingga Kamis, 7 Agustus 2025, putusan kasasi tersebut belum dieksekusi. Kejaksaan mengakui belum merealisasikan penahanan Silfester. Sosok ini dikenal sebagai relawan garis depan pendukung Joko Widodo, kerap tampil di televisi untuk membela mantan presiden tersebut.
Sebagai ketua organisasi Solidaritas Merah Putih, Silfester aktif merespons kritik terhadap Jokowi. Ia juga sering memberikan pernyataan publik yang membela kebijakan mantan kepala negara itu. Aktivitasnya menjadikan dirinya tokoh yang cukup dikenal di kalangan pendukung Jokowi.
Pernyataan Silfester soal Eksekusi
Menanggapi rencana eksekusi, Silfester menyatakan siap menjalani proses hukum. “Enggak ada masalah (kalau akhirnya dipenjara),” ucapnya kepada wartawan di Polda Metro Jaya pada Senin, 4 Agustus 2025. Meski demikian, ia mengaku belum menerima surat resmi penahanan dari kejaksaan.
Silfester menuturkan, permasalahannya dengan Jusuf Kalla sebenarnya telah selesai di luar pengadilan. Ia mengklaim sudah berdamai dengan mantan Ketua Umum Partai Golkar itu. “Itu sudah selesai dengan adanya perdamaian. Bahkan saya beberapa kali bertemu dengan Jusuf Kalla dan kami berhubungan baik. Dan proses hukum juga sudah saya jalani,” katanya.
Pernyataan tersebut dibantah langsung oleh Kalla. Menurutnya, tidak pernah ada pertemuan maupun kesepakatan damai seperti yang disampaikan Silfester. Hal ini memunculkan perbedaan keterangan di ruang publik.
Sikap Kejaksaan
Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum, Anang Supriatna, menyampaikan bahwa eksekusi terhadap Silfester akan segera dilakukan. “Informasi dari pihak Kejari Jakarta Selatan, hari ini diundang yang bersangkutan. Kalau dia enggak datang ya silakan saja, kami harus eksekusi,” ujar Anang di gedung Kejagung pada Senin, 4 Agustus 2025.
Anang menegaskan, proses eksekusi merupakan kewajiban jaksa setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Ia juga menyampaikan bahwa tidak ada alasan hukum untuk menunda pelaksanaan putusan tersebut.
Kasus vonis Silfester Matutina ini mendapat perhatian publik karena melibatkan tokoh politik nasional. Selain itu, perbedaan keterangan antara terdakwa dan pihak yang merasa dirugikan menambah sorotan terhadap proses hukum.
Publik menunggu langkah konkret dari kejaksaan dalam menegakkan hukum. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah inkrah menjadi tolok ukur kepastian hukum di mata masyarakat.
Polemik yang muncul memperlihatkan adanya jarak antara pernyataan di ruang publik dan fakta hukum di pengadilan. Dalam hal ini, dokumen resmi pengadilan menjadi rujukan utama untuk memastikan kejelasan perkara.
Kasus ini juga mengingatkan kembali tentang konsekuensi hukum dari pernyataan publik. Penyampaian pendapat yang menyerang kehormatan orang lain dapat berujung pada pidana jika terbukti memfitnah.
Proses panjang yang dimulai sejak 2017 menunjukkan betapa kompleksnya perjalanan perkara di Indonesia. Dari pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga tahap eksekusi, semua memerlukan prosedur yang tidak singkat.
Ketegasan pihak berwenang dalam menjalankan eksekusi vonis diharapkan dapat memberikan rasa keadilan. Hal ini juga diharapkan menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan di ruang publik.
Perbedaan keterangan antara Jusuf Kalla dan Silfester Matutina menambah lapisan kontroversi. Publik akan menilai berdasarkan langkah selanjutnya dari aparat penegak hukum.
Jika eksekusi segera dilakukan, kasus ini dapat menjadi penutup bab panjang sengketa hukum antara kedua pihak. Namun, jika kembali tertunda, kemungkinan munculnya spekulasi di masyarakat akan semakin besar.
Kesimpulannya, kasus vonis Silfester Matutina adalah pengingat pentingnya proses hukum yang konsisten dan transparan. Kepastian hukum tidak hanya menjaga keadilan bagi pihak yang dirugikan, tetapi juga menjaga kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Ke depan, penting bagi aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa setiap putusan yang berkekuatan hukum tetap dapat segera dilaksanakan. Ini akan memperkuat integritas sistem peradilan dan menghindari kesan tebang pilih.